Monday, November 27, 2006

Tragedi Kacamata Cengdem


Hari Senin ini benar-benar jadi hari yang enggak melupakan buat gue. Gara-gara nonton bola sampai pagi, saya jadi bangun kesiangan.
Parahnya, saya lupa kalau ada agenda sidang cerai artis di Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang, Banten. Saya benar-benar lupa karena saya benar-benar butuh waktu tidur lebih lama setelah begadang semalaman.
Beruntung, saya punya teman sebaik Udin. Dia menelpon saya tepat jam 9 pagi dan menyuruh saya ke RCTI kalau mau ikut berangkat ke Tigaraksa.
Saya memang terbiasa menumpang mobil RCTI setiap kali ke sana. Soalnya, saya tentu tidak mau cape-cape ngendarain motor ke Tangerang.
Masih setengah sadar, saya langsung buru-buru masuk kamar mandi. Saya enggak enak nanti ditunggu lama Udin di RCTI. Kali ini mandinya pun cukup singkat, kalau dihitung-hitung hanya 5 menit. Cukup membasuh badan, mencuci muka dan gigi sebagai penutup.
Proses memilih baju pun berlangsung singkat. Saya tidak pilih-pilih lagi baju yang saya kenakan. Apa saja yang saya lihat langsung saya pakai.
Hanya saja otak saya masih berpikir sedikit ketika melihat sebuah kacamata yang ada di laci kamar kakak saya.
“Wah keren juga nih pake kacamata. Lumayan buat ngindarin abu waktu naik motor,” pikir say waktu itu.
Tak pikir panjang, akhirnya saya langsung memasukkan kacamata itu ke dalam saku saya. Begitu naik motor, setelah memakai helm, saya pun dengan jumawanya memakai kacamata cengdem itu.
Selama perjalanan ke RCTI, meski sudah memakai kacamata saya justru keheranan. Kenapa, kok mata sebelah kiri saya terasa kedut-kedutan. Tapi waktu itu saya tenang-tenang saja. Sebab, saya pikir ini mungkin karena baru pertama pakai kacamata keren.
“Ah, palingan posisinya doang nih enggak benar,” kata saya sambil terus berusaha membetulkan posisi kacamata itu.
Ketika berada di perampatan Jalan Relasi, saya terhenti karena lampu merah. Waktu itu banyak pengendara motor yang ada di samping saya ngelihatin saya terus. Saking buru-burunya saya cuek.
Ternyata bukan hanya mereka saja yang senyum-senyum melihat saya. Satpam penjaga gerbang RCTI juga ikut-ikutan senyum melihat saya.
Akhirnya, jawaban dari senyum dan tatapan aneh itu terjawab juga. Ketika saya memarkirkan motor, saya pun melepaskan kacamata.
Begitu melihat kacamata saya bener-bener paham kenapa semuanya jadi aneh ketika melihat saya.
“Masya Allah kenapa nih kacamata bolong satu yah,”.

Sunday, November 26, 2006

Desember Ceria

Meski masih lama, saya terbiasa untuk melihat jadwal kerja di bulan-bulan berikutnya. Dan hebatnya, baru kemarin saya ngecek tenryata jadwal agenda di bulan Desember itu benar-benar luar biasa. Padat banget dan itu semua bukan jadwal liputan.

Dari awal bulan hingga akhir tahun nanti, semua jadwal sudah padat dengan acara pernikahan. Lokasi acaranya pun macam-macam, mulai dari yang terdekat di daerah Senayan hingga yang terjauh di Yogyakarta.

Entah kenapa, bulan Desember ini memang sepertinya jadi bulan favorit bagi teman-teman gue menikah. Yang pasti, awal bulan ini gue langsung mengitung ulang lagi persediaan di kantong.
Jangan sampai mengecewakan teman karena kita tidak datang.

Friday, November 24, 2006

Friends

Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua

Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. (Sheila on 7)


Hidup pasti banyak perubahan. Itu pasti dan sulit untuk kita hindari.

Contohnya saat ini banyak sekali perubahan yang terjadi di sekitaran saya. Mulai dari lingkungan kerja, lingkungan pergaulan hingga lingkungan keluarga.

Perubahan yang sangat saya rasakan ada di lingkungan pekerjaan saya. Perlahan-lahan teman-teman mulai banyak yang pergi.

Satu per satu mereka pergi dan meninggalkan saya bertarung sendirian di dunia tanpa koma ini. Sedih pasti, dan saya seperti kehilangan motivasi.

Mereka, yang dulu sering saya jadikan tempat berbagi segala hal kini perlahan-lahan mulai mengurusi dunia baru mereka. Ada yang yang berurusan dengan darah dan lendir, ada juga yang berurusan dengan gaya metropolis Jakarta, hingga yang paling saya kejutkan adalah perubahan seorang teman yang akan berubah status jadi ibu rumah tangga.

Mungkin, ke depan tidak akan pernah ada lagi kebersamaan seperti dulu. Jarak dan jam tugas membuat kita semakin sulit untuk bergabung.

Kita yang dulu sering beradu tajam menulis berita atau adu kerenan suara ketika karaoke bersama kini sudah tinggal kenangan.

Parahnya, apa yang terjadi di luar kantor juga terjadi di dalam kantor saya juga. Satu per satu teman yang dulu berada dalam satu garis perjuangan kini mulai menghilang.

Barisan meja yang dulu ramai, kini hilang tak berbekas. Saya pun mulai membiasakan diri untuk mengenal satu per satu orang yang mengisi meja-meja yang ada di samping saya.

Entah apa yang harus saya lakukan saat ini. Jujur, teman adalah segalanya buat saya. Saya tidak terbiasa untuk meninggalkan teman begitu saja, apalagi kenangan yang terjadi setelahnya.

Saya kadang termenung atau sedih jika melihat ke belakang betapa banyak teman yang datang dan pergi dalam hidup saya. Ada yang meninggalkan banyak kenangan atau ada yang menghilang seperti bayangan.

Tuesday, November 21, 2006

The Day of Our Life

Setiap orang pasti punya gaya masing-masing ketika mengucap ikrar cinta. Dulu teman akrab saya pernah mengikrarkan kata cinta di sebuah becak.

Peristiwa itu terjadi ketika dia bersama kekasihnya yang kuliah di Purwokerto hendak pulang ke Jakarta. Hebatnya, entah karena becak itu mujarab atau tidak ikrar cinta itu pun berhasil.

Apa yang dilakukan teman saya itu memang sangat menginspirasikan. Alhasil, saya ingin melakukan hal yang sama kepada wanita yang saya cintai.

Enam tahun yang lalu, saya punya kesempatan yang sama untuk melakukan hal yang sangat istimewa dalam hidup saya.

Tepatnya tanggal 22 November 2002. Waktu itu saya ada janji ketemu dengan seorang wanita yang sudah lama saya kenal di Perpustakaan Universitas.

Setelah sekian lama berkenalan, saya berpikir saat itu adalah waktu yang tepat untuk meresmikan hubungan kita berdua. Hanya saja saya benar-benar butuh hal yang sangat istimewa agar bisa jadi kenangan yang sulit saya lupakan.

Setelah bertemu di perpustakaan, saya berdua akhirnya memutuskan untuk untuk mengantar dia pulang ke rumahnya. Akhirnya, kami berdua pun langsung naik ke mobil angkutan kota.

Ketika berada di dalam angkot, terpintas ide gila saya untuk mengucapkan ikrar cinta. Soalnya, teman saya sudah punya hak cipta dengan menggunakan becak, maka giliran saya bikin hak cipta baru ucapkan ikrar cinta di dalam angkot.

Kalau pun banyak orang saya sudah siap-siap malu. Yang penting ini akan jadi kenangan yang istimewa.

Setelah siap-siap berbicara, ternyata entah kenapa satu per satu penumpang yang ada di dalam angkot turun hingga tersisa saya, dia dan supir angkot.

Entah kenapa juga, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Otomatis, tidak akan ada lagi calon penumpang yang mau naik angkot di hujan deras kayak gitu.

Melihat keadaan ini saya jadi lebih berani untuk berbicara. Setelah berbicara ke sana-sini akhirnya saya mengucapkan kalimat yang terkenal dalam hidup saya.

“Eh, tahu enggak, kamu ngelakuin kesalahan yang fatal nih sama saya,” kata saya.

Mendengar pertanyaan itu teman wanita saya itu langsung kebingungan. Sadar akan kebingungan saya, akhirnya saya langsung berbicara lagi.

“Kamu udah mencuri hati saya. Itu kesalahan yang sangat fatal buat saya karena saya enggak bisa lagi lihat wanita lain selain kamu,” kata saya. Jujur waktu itu sang supir, saya lihat sudah senyum-senyum saja. Enggak tahu sih apa yang dia pikirkan.

Yang pasti bukan hanya si supir saja yang senyum-senyum. Teman wanita saya juga senyum-senyum juga. Sayangnya, dia enggan untuk menjawab perkataan saya. Dia justru langsung bilang nanti saja ketika saya menagih jawaban.

Akhirnya selama di dalam angkot itu kita bertiga (termasuk si supir) akhirnya berdiam diri saja. Setelah sampai di tujuan, hujan masih sangat lebat tapi kita harus turun dari angkot.

Saya pikir, mungkin momen itu sudah selesai dan jawaban yang saya tunggu tak akan pernah ada. Soalnya, dia juga sepertinya tidak tertarik dengan perkataan-perkataan saya.

Akhirnya di tengah hujan lebat dan di bawah lindungan payung kecil, saya kembali mengutarakan keinginan saya.

Waktu itu hujan benar-benar lebat, dan baju saya pun sudah sebagian basah kena air hujan. Suasana harusnya dingin, tapi hati dan badan saya justru benar-benar panas ketika terpaksa menanyakan kembali kesediannya untuk jadi pacar saya.

Dan di tengah hujan lebat itu dia pun memenuhi keinginan saya. Ia hanya berucap pendek.

“Iya,”

Jawabannya memang tidak sedramatis atau seromantis yang saya kira. Tapi, yang penting jawaban itu benar-benar memadamkan segala kegundahan di hati saya.

Seandainya ini sebuah film India, tentu saya akan menarin-nari di derasnya hujan. Tapi, saya ingat saya enggak punya baju dan celana dalam cadangan waktu itu akhirnya saya hanya bisa memeluk erat badannya.Sangat erat, agar janji ini terus kita pegang sampai nanti.

Hari itu memang sudah enam tahun berlalu, alhamdulillah dia masih berada di samping saya hingga kini.

Friday, November 10, 2006

Mantra Magis Christopher Nolan

Judul : The Prestige
Sutradara : Christopher Nolan
Pemain : Christian Bale, Hugh Jackman, Michael Caine, Scarlet Johanson

Bagi Christopher Nolan film adalah sebuah keajaiban. Film adalah mantra magis yang mampu membius para penontonnya hingga mereka bisa sekedar berguman bingung atau langsung berdecak kagum.

Film adalah tempat untuk menghadirkan sesuatu yang spesial, menghibur, menjebak dan terakhir menipu.

Ibarat sebuah mantra yang sangat ampuh, Nolan adalah seorang pesulap selalu menghadirkan kejutan-kejutan baru yang selalu menghadirkan decak kagum bagi para penggemarnya. Bak pesulap handal, Nolan berusaha terus menerus untuk memuaskan para penggemarnya, ia tak pernah berhenti menghadirkan keajaiban-keajaiban baru. Dan ajian teranyar Nolan ada di film terbarunya berjudul The Prestige.

The Prestige bercerita tentang kehidupan dua orang pesulap bernama Alfred Borden dan Robert Ainger di London, Inggris. Keduanya bersahabat sebagai pesulap magang di tempat yang sama. Meski bersahabat keduanya memendam bara persaingan yang sangat panas.

Keduanya mempunyai pemahaman yang berbeda akan makna sulap. Ainger menganggap sulap adalah pekerjaan yang hanya mengundang decak kagum para penontonnya. Sedangkan Borden beranggapan bahwa pesulap bertugas memberikan jurus-jurus baru yang bisa membuat pesulap lainnya tersenyum malu atau bahkan merasa iri karenanya.

Bara yang awalnya kecil itu akhirnya membara setelah peristiwa naas terjadi pada istri Ainger dalam sebuah pertunjukan sulap. Persaingan yang tak berujung itu pun akhirnya dimulai. Tak berujung karena semuanya dipicu akan sebuah obsesi.

Seperti sulap, film yang diperani oleh Christian Bale dan Hugh Jackman ini memang sangat sulit untuk dilupakan bahkan setelah kita meninggalkan bangku bioskop. The prestige adalah keajaiban sulap. Film ini benar-benar memenuhi syarat magis The Pledge, The Turn, dan The Prestige, yang disebutkan Cutter (Michael Caine) di awal film.

The first, the pledge, Nolan mampu menghadirkan sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Film yang intinya bercerita tentang persaingan ini menjadi menarik ketika ditempelkan dengan persaingan seorang pesulap. Nolan menunjukkan bahwa dunia sulap adalah dunia yang sangat menarik. Penuh dengan trik dan manipulasi tekhnologi.

Kedua, The Turn. Nolan menghadirkan kedua sosok pesulap yang benar-benar terobsesi akan kejayaan. Obsesi yang akhirnya tak bisa mereka kontrol lagi. Obsesi dan persaingan itu semakin dipermanis dengan alur cerita yang saling bertabrakan.

Berbeda dengan Memento yang alurnya sangat runtut dari belakang ke depan, The Prestige adalah film yang benar-benar harus diperhatikan dengan cermat. Sekali saja terlempar dari alur, maka selanjutnya akan sulit untuk menikmati film satu ini.

Dan terakhir The Prestige atawa sang klimaks. Nolan benar-benar menghadirkan kejutan-kejutan yang mampu membuat kita terkesima. Twist dan turn yang ada hadir di ujung film akan membuat kita terkesima akan kecerdasan Nolan menentukan celah-celah misteri yang jadi jawaban di film ini.

Dan ibarat sebuah mantra magis, film ini akan membuat kita akan bertepuk tangan dan menyadari bahwa kita telah tertipu. Kita pasti sadar telah ditipu, namun kita ingin mengulanginya lagi untuk kena tipu. Seperti yang dikatakan Cutter di akhir film ini.

“Mereka sadar telah kena tipu. Tapi, mereka ingin merasakannya lagi untuk kena tipu,”

Ironi Kampung Bali

Dua puluh enam tahun yang lalu, saya besar di sini. Sebuah kampung, yang dulunya sangat rimbun akan ilalang.

Dulu, yang saya ingat Kampung Bali terkenal akan kalinya yang masih sangat dalam. Kali yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon pisang dan ladang-ladang milik para petani kampung yang rindu akan kampung halaman.

Ketika saya masih kecil, kampung Bali adalah tempat yang sangat besar untuk saya jelajahi. Semua tempat yang ada mempunyai kesan dan pengalaman baru yang tak pernah akan berhenti.

Mulai dari gang yang mengambil nama sebuah binatang, hingga pabrik baut yang telah lama mati. Kedua tempat itu memberikan banyak cerita pada saya dan teman-teman. Mulai dari misteri, dan tempat bermain yang selalu menyajikan fantasi-fantasi liar buat kami anak-anak Kampung Bali.

Ya, Kampung Bali dulu jadi indah karena kami, anak-anak kampung bali. Kami, adalah anak-anak yang tak pernah berhenti riang dan optimis akan masa depan. Setiap hari kami lalui dengan pergi bersekolah, siang hari pergi mengaji dan malam hari bermain galaksin.

Di waktu itu saya dan teman-teman tidak akan pernah ragu akan masa depan. Kita yakin dan percaya bahwa setiap kita mempunyai masa depan yang indah. Seindah jembatan kayu yang melintasi kali di kampung kami.

Dulu, kami yakin jembatan kayu itu akan mampu menahan berat dari ratusan orang yang hendak masuk menuju kampung kami. Bahkan, teman saya pernah berkelakar kalau jembatan itu sangat kuat, saking kuatnya, banyak cerita mistis sekitar jembatan itu.

Hanya saja keperkasaan dan kegagahan jembatan kayu itu tidak sanggup bertahan akan gempuran modernisasi. Ketika Pabrik Baut jadi sebuah stasiun televisi, dan ladang dan kebun pisang jadi sebuah mall, jembatan kayu itu pun abruk tergantikan jembatan beton.

Seiring dengan runtuhnya jembatan kayu itu, masa depan anak-anak kampung bali pun luruh. Modernisasi ternyata ibarat pedang bermata dua. Memberikan kemajuan sekaligus memberikan kehancuran.

Perubahan yang terjadi di Kampung Bali awalnya memberikan kami harapan bahwa kampung kami sedikitnya mengalami banyak kemajuan. Hadirnya mall juga membuat kami optimis tidak akan gagap akan hiburan. Adanya stasiun televisi memberi kami dugaan bahwa suatu saat kita bisa mencari sesuap nasi di sana.

Hanya saja harapan tinggal harapan, saya ingat ketika banyak teman-teman tidak diterima bekerja di sana. Saya ingat betapa banyak orang-orang impor berkulit pucat seliweran di kampung kami.

Yang bisa masuk ke posisi terhormat kurang dari hitungan satu tangan. Yang masih bisa tersenyum, sampai kini hanya jadi penjaga keamanan.

Situasi pun makin diperparah ketika jumlah diskotik bertambah. Mereka beranak pinak seperti tak kenal waktu. Setiap sudut yang ada di tempat kami, hampir tak tersisa dengan tempat-tempat penuh lender itu.

Saya ingat betapa muramnya kampung kami waktu itu. Ketika stasiun televisi itu bermandikan cahaya, rumah-rumah kami justru kehilangan akan asa. Dan ketika anak anak-anak kampung bali kehilangan harapan, kita pun turun ke jalan. Dan satu-satunya tujuan, menjaja kehormatan dan menjadi preman.

Anak-anak kampung bali pun seperti tak punya masa depan. Kami yang dulu sangat bersemangat mencari tantangan kini hanya berbicara seputar selangkangan dan betapa indahnya bius obat-obat terlarang.

Kini, 26 tahun yang berlalu, anak-anak kampung bali tak seperti yang saya kenal dulu. Ketika kami melewati semua ini, ternyata ironi masih menerpa anak-anak di bawah kami.

Anak-anak lelaki Kampung Bali ketika kecil jadi jagoan, sudah besar jadi preman, dan tuanya jadi tahanan.

Thursday, October 19, 2006

Apa Sih Raja Batak?

Photobucket - Video and Image Hosting

Judul Buku : Raja Batak (Dari Sorimangaraja dan Tuanku Rao Hingga I.L Nommensen
Penulis : Sadar Sibarani
Jenis : Sejarah-Antropologi

Membuat sebuah buku secara independent tentu tidak mudah. Hal itu sudah dibuktikan sendiri oleh seorang penulis bernama Sadar Sibarani. Eks wartawan, die hard wannabe politicus, dan paling utama bapak saya ini, telah merasakan betul betapa susahnya menerbitkan sebuah buku dengan kerja kerasnya sendiri.

Proses kerja keras dan semangat yang terkandung di dalam buku ini lah yang membuat buku setebal 302 halaman ini jadi sangat istimewa.

Buku ini dikerjakan sejak saya masih berada dalam kandungan mama saya hingga kemarin berhasil dicetak melalui perusahaan percetakan setelah saya sudah berumur 26 tahun.

Proses pembuatan buku ini memang mengalami banyak metamorfosis. Dari sekedar dijilid oleh warung foto copy pinggiran dekat rumah saya hingga kemarin bisa dipermak dengan baik oleh perusahaan percetakan yang juga masih kelas pinggiran.

Meski pinggiran, semangat yang diusung oleh bapak berumur 66 ini memang sangat luar biasa. Niatan lelaki yang pernah menjadi salah satu Ketua Umum Partai Politik yang gagal ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2005 ini memang mulia.

Keinginannya cuma satu yakni mengenalkan khasanah Batak kepada masyarakat Indonesia umumnya dan secara khusus bagi orang-orang Batak yang ada di mana saja. Sampai saat ini memang saya bisa akui sendiri bahwa buku-buku yang membahas tentang suku Batak memang tidak banyak.

Padahal, banyak hal menarik yang bisa dikupas mengenai suku Batak. Mulai dari perbedaan antara Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing dan sebagainya. Hingga yang paling menggelitik adalah siapa jati diri sesungguhnya dari Raja Batak itu.

Semua hal yang saya sebutkan di atas terjawab tuntas dalam buku ini. Buku ini berhasil mengenalkan kepada masyarakat siapa kah Raja Batak itu.

Melalui buku ini, Raja Batak, ternyata bukanlah seorang Raja yang saya pernah bayangkan dulu. Seorang Raja yang meneruskan banyak keturunan bagi orang-orang Batak. Raja Batak yang diperkenalkan dalam buku ini justru lebih luas lagi.

Raja Batak adalah orang-orang Batak yang berhasil memberikan sumbangsih bagi orang-orang Batak. Tidak heran kalau Raja Batak dalam buku ini pantas disebutkan kepada orang-orang luar negeri seperti Nommensen, hingga orang Batak yang sering kita kenal dari Si Singamangaraja hingga Jenderal AH Nasution.

Buku ini dituliskan dengan cara yang sangat sederhana bahkan kebanyakan dituliskan dengan gaya bertutur. Cerita-cerita, mitos hingga legenda yang terjadi di Tanah Batak terangkum dengan baik di buku ini.

Hanya saja buku ini memang sedikit banyak mengalami kekurangan dalam tata bahasa dan kerapihan struktur halaman. Hal ini bisa dianggap wajar mengingat buku ini dikerjakan melalui waktu yang sangat panjang, dikerjakan secara independent dan penulisnya juga makin tua usianya.

Yang pasti, secara pribadi buku ini adalah buku yang benar-benar sangat istimewa bagi saya. Selain karena buatan bapak saya sendiri, membaca buku ini membuat saya tergerak mempelajari apa sebenarnya Batak itu.

Friday, September 29, 2006

Cukup Nominator

Semua orang memang selalu pengen jadi juara. Tapi, di tahun ini gue punya keinginan cuma satu aja yakni hanya jadi seorang peserta atau nominator saja.

Yup, tahun 2006 ini Festival Film Indonesia pasti digelar. Dan biasanya, di ajang ini pasti ada nominasi untuk resensi film terbaik.

Untuk menjadi juara di kriteria tersebut memang tidak mungkin. Toh, banyak wartawan atau reviewer film yang jauh lebih baik dari saya.

Makanya, target yang paling realistis bagi saya adalah menjadi nominator saja.

Beberapa kali keinginan ini saya sampaikan pada teman-teman saya sekantor. Mereka memang menyambut baik keinginan saya ini.

Kenapa sih, saya nekat untuk mau ikut di kriteria tersebut. Prestise? Enggaklah, karena saya enggak punya kualifikasi sebagai orang yang layak memiliki prestise.

Alasannya, klise, sebagai wartawan hiburan tentu saya enggak bakalan bisa dapat gelar sebagai penulis atau wartawan gosip terbaik bukan.

Tuesday, September 26, 2006

Dulunya Preman Mas?

Pertanyaan di atas selalu aja gue dengar setiap kali menggunting rambut. Sumber masalahnya memang ada di kepala saya, yaitu pitakan.

Pitak yang ada di kepala saya memang enggak tanggung-tanggung. Satu aja udah bikin malu, parahnya di kepala saya ada tiga pitak.

Jadi tidak heran kalau tukang cukur yang selalu saya datangi benar-benar takjub ketika mendapati pitak-pitak yang ada di kepala saya itu.

Masalahnya, setiap kali mereka kaget dengan pitak-pitak itu, pertanyaannya selalu saja sama. “Dulunya preman mas? Atau yang lebih sopan lagi, “Badung banget waktu sekolah ya mas” atau yang lebih akrab lagi, “STM dimana Mas?”

Saya yang mendengar pertanyaan itu memang cuma senyum-senyum aja. Saya enggak bisa berbohong kalau saya adalah jagoan yang pantas mendapatkan tiga pitak di kepala.

Tapi, saya juga terlalu malas untuk bicara jujur bahwa pitak itu saya dapat bukan karena jadi preman, jeger di sekolahan atau jagoan pengkolan. Pitak itu justru saya dapat karena bisulan, kejedot dinding sekolah dan ketiban piring.

Alhasil, daripada pusing-pusing mikiran jawaban itu. Saya cuma bisa berkata pendek. “Biasaaa,” kata saya.

Maksudnya, “biasa waktu anak-anak mas, kurang gizi makanya bisulan,” kata saya dalam hati.

Thursday, September 07, 2006

Lambat

Lama-lama hidup saya seperti bergerak pelan. Semua yang ada di dalam hidup saya seperti berjalan lambat.

Jalan yang saya hendak tempuh pun semakin buram. Tak ada lagi tujuan yang bisa saya jadikan pedoman.

Mencoba untuk meraba pun sulit untuk dilakukan. Tak ada dinding yang mampu menahan kebingungan saya.

Berusaha untuk diam dan melepaskan semuanya agar cepat berlalu tak pernah bisa saya lakukan. Waktu ini semakin mencengkram erat badan dan jiwa. Pelan-pelan mereka menusuk saya dengan kuat seperti pisau yang menancap keras agar lawannya cepat meregang.

Cepat-cepat terhempas. Ya, terhempas, mungkin ini yang harus saya lakukan dengan segera. Ketika semua diam, cepat-cepat lah terhempas. Agar semuanya menghilang dan kemudian menemukan jalan yang baru, lebih terang dan benderang.

Wednesday, August 30, 2006

Sepeda dan Senyuman

Saya ingat ketika saya pertama kali dibelikan sepeda oleh bapak saya. Sebuah sepeda mini yang dibelikan di sebuah toko dekat pasar kopro.

Kala itu bapak berpesan kepada saya. “Jaga baik-baik sepeda mu,” ucapnya.

Melihat sepeda itu, saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia saya. Bapak bahkan merelakan saya langsung menggoes sepeda itu pulang ke rumah.

Setiap kali pedal sepeda saya goes, senyuman saya pun terus-terusan mengembang. Tiada rasa seindah waktu itu.

Lima belas tahun terlewat, kali ini giliran saya memberikan sebuah senyuman kepada ponakan saya. Di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan senyuman itu menempel ceria di mukanya ketika sebuah sepeda saya berikan kepadanya.

Senyuman dan keceriaan itu memang sedetik adanya. Tapi, abadi di hati saya.

Selamat bersepeda Ara…

Thursday, August 24, 2006

So Sick...!!

Enam jam sebelum gue berangkat pergi ke tanah seberang. Justru tugas tiba-tiba datang layaknya perang.

Awalnya, saya berniat baik untuk menulis berita di kantor dan menyerahkan tugas yang tersisa. Saya memang harus menyelesaikan tugas secepat mungkin sebelum berangkat.

Apalagi, saya memang tidak pernah mau mengecewakan desk saya. Minimal saya sedikit berpartisipasi sebelum pergi ke sana.

Sialnya, niat baik saya justru jadi malapetaka. Begitu sampai di kantor saya justru di suruh menulis berita ultah ke 17 RCTI.

Saya benar-benar merasa kecewa dengan perintah tersebut. Bukan apa-apa, saya merasa heran karena jelas ini bukan tanggungjawab saya. Yang bikin hati saya tambah mengkel, seluruh crew desk yang bertanggungjawab justru tidak ada yang tinggal di kantor.

Parahnya lagi, sebelum diperintahkan saya sudah bertanya kepada salah satu teman yang memang berurusan dengan desk tersebut. Lucunya, begitu saya bertanya dia justru langsung cepat-cepat meninggalkan kantor. Sialan memang.

Kini, enam jam sebelum berangkat, saya benar-benar merasa kecewa. Dan saya yakin perjalanan pergi saya adalah sebuah malapetaka.

Shit..

So Sick...!!

Enam jam sebelum gue berangkat pergi ke tanah seberang. Justru tugas tiba-tiba datang layaknya perang.

Awalnya, saya berniat baik untuk menulis berita di kantor dan menyerahkan tugas yang tersisa. Saya memang harus menyelesaikan tugas secepat mungkin sebelum berangkat.

Apalagi, saya memang tidak pernah mau mengecewakan desk saya. Minimal saya sedikit berpartisipasi sebelum pergi ke sana.

Sialnya, niat baik saya justru jadi malapetaka. Begitu sampai di kantor saya justru di suruh menulis berita ultah ke 17 RCTI.

Saya benar-benar merasa kecewa dengan perintah tersebut. Bukan apa-apa, saya merasa heran karena jelas ini bukan tanggungjawab saya. Yang bikin hati saya tambah mengkel, seluruh crew desk yang bertanggungjawab justru tidak ada yang tinggal di kantor.

Parahnya lagi, sebelum diperintahkan saya sudah bertanya kepada salah satu teman yang memang berurusan dengan desk tersebut. Lucunya, begitu saya bertanya dia justru langsung cepat-cepat meninggalkan kantor. Sialan memang.

Kini, enam jam sebelum berangkat, saya benar-benar merasa kecewa. Dan saya yakin perjalanan pergi saya adalah sebuah malapetaka.

Shit..

Cinta Rasa Beda

Film : Betina
Produser : Lola Amaria
Sutradara : Lola Amaria
Pemeran : KInaryosih, Tuti Kirana, Agastya Kandau.

Cinta dan pengorbanan adalah dua sisi mata uang. Keduanya tak kan pernah terpisahkan dan selalu seiring sejalan.

Tema besar di atas adalah tema utama yang diusung oleh Lola Amaria ketika membesut film berjudul film Betina. Hanya saja cinta dan pengorbanan yang dibawa oleh kekasih sutradara Aria Kusumadewa ini bukanlah kisah yang penuh dengan warna-warna cinta yang kita kenal selama ini, cerah dan motivating.

Di film Betina, cinta hadir dengan nafas kesuraman. Tiada tawa, canda apalagi rayuan maut sang pecinta. Yang ada justru cemburu, kemarahan hingga kematian.

Mengambil setting antah berantah, film debutan Lola sebagai sutradara ini bercerita tentang sosok perempuan bernama Betina yang banyak mengalami kesuraman hidup. Mulai dari ayahnya yang diculik paksa, hingga ibunya yang sedikit mengalami gangguan jiwa.

Kesunyian dan kegelisahan Betina banyak dicurahkan kepada sahabat satu-satunya, seekor sapi bernama Dewa. Namun, kehidupan Betina berubah 180 derajat ketika dia bertemu dengan seorang penjaga kuburan (Agastya Kandau) yang muncul setiap prosesi penguburan dilaksanakan.

Sejak bertemu dengan penjaga kuburan, Betina mengalami perasaan yang jauh berbeda. Dirinya benar-benar diliputi rasa cinta. Hanya saja, perasaan yang ada di dalam jiwa Betina justru tak pernah hinggap di raga si penjaga kuburan. Tak mau menyerah untuk mengungkapkan cintanya, Betina pun berusaha berkorban untuk mendapatkan hati si penjaga kuburan.

Seperti Betina yang berusaha mati-matian menunjukkan cintanya. Lola Amaria memang berusaha mati-matian agar film perdananya ini tidak mengecewakan.

Dari segi tema, Lola memang tergolong sangat berani. Sebagai sutradara baru Lola berani mengambil langkah tidak populer yakni menggarap film surealis seperti Betina.

Maklum saja, jika melihat orang yang ada di belakangnya, Aria Kusumadewa (Beth, Novel Tanpa Huruf R), wajar jika Lola memilih film jenis ini. Apalagi, Aria memang tergolong sutradara yang akrab menggauli film-film yang sekarang dibawakan Lola.

Selain keberanian membawakan ide yang berbeda ada satu hal lagi yang patut dipuji dari Lola. Yaitu imajinasi Lola yang tinggi. Kuburan yang penuh dengan nisan segitiga benar-benar menebar aura kegelapan. Apalagi hal itu ditunjang oleh pakaian-pakaian pengiring jenazah. Hanya saja ada sedikit miss ketika ada satu saat Betina memakai baju yang sangat indah ketika hendak memeras susu sapi.

Meski patut dipuji akan sisi imajinatif dan keberanian, bukan berarti Lola menghadirkan film yang tanpa cela. Di menit-menit pertama film Betina dimulai, kekurangan itu justru langsung terbuka lebar dan menganga.

Betina seolah hadir untuk dirinya sendiri, tanpa menghadirkan sebuah cerita bagi para penonton yang sudah duduk setia di menit-menit awal film dimulai.

Ketidakhadiran sebuah cerita tentu saja membuat alur film jadi berantakan.Satu per satu tokoh yang ada dalam film Betina hadir secara tiba-tiba. Bahkan, kehadiran Fahmi (Fahmi Alatas) justru baru terasa pada menit-menit akhir film. Padahal, Fahmi memegang peranan penting dalam film ini.

Cerita sendiri baru benar-benar terasa ketika film mendekati situasi konflik. Yakni ketika ibu Betina (Tuti Kirana) bertemu dengan penjaga kuburan. Dari situlah cerita kemudian mengalir dan sudah tertata rapi.

Sebagai sutradara baru, Lola memang pantas untuk mendapatkan apresiasi yang baik. Keberanian dan imajinasinya yang tinggi adalah asset yang baik untuk dunia film Indonesia. Mudah-mudahan saja Betina-betina lain yang akan dihasilkan Lola lebih sederhana dan kreatif. (wahyu sibarani)

Tuesday, August 22, 2006

Mau Antar Surat Pak?

Liputan hari ini memang benar-benar konyol bagi saya. Keajaiban demi keajaiban terjadi di kantor SONY BMG ketika saya hendak mewawancara seorang Malaysian Idol bernama Jaclyn Victor.

Awalnya, saya memang sempat lupa akan janji liputan ini. Tapi, setengah jam sebelum wawancara dimulai, Sundari dari SONY BMG sudah mengingatkan saya untuk datang.

Ketika mendengar keterangan itu saya sebenarnya terkejut. Soalnya, saya sudah hampir lupa dengan janji yang dibuat di awal bulan Agustus lalu.

Mengingat kerjasama baik yang sudah terjadi dan untuk ke depan nanti, akhirnya saya memutuskan untuk datang. Padahal di saat yang bersamaan ada undangan pre-screening film Koper di Planet Hollywood.

Karena waktu yang sudah mepet akhirnya saya pun dengan semangat 45 memacu motor saya ke kantor SONY BMG yang memang tidak jauh dari kantor saya.

Setelah sampai, keajaiban pertama pun terjadi. Ketika mau memarkirkan motor tiba-tiba seorang satpam menegur saya.

“Mau antar surat ke siapa Pak?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu saya yang masih di atas motor langsung tertawa. Saya bingung juga saya niat baik-baik untuk memenuhi undangan wawancara kok tiba-tiba malah disangka kurir surat.

“Mau wawancara pak,” ujar saya.

Saya memang tidak mau marah kepada satpam yang lugu itu. Saya berusaha mengoreksi diri sendiri, apakah baju yang saya kenakan memang mirip dengan seorang kurir atau tidak.

Tidak mau berlama-lama di ruangan parkir, akhirnya saya langsung masuk ke ruangan Sundari. Di sana sudah ada beberapa rekan wartawan lainnya.

Begitu ketemu mereka saya pun langsung menceritakan peristiwa yang saya alami dengan satpam tersebut. Seperti saya, mereka juga tertawa mendengar cerita saya. Mungkin bisa jadi mereka setuju pakaian yang saya pakai memang mirip kurir.

Bahkan, Sundari pun mengatakan kepada saya, kalau tas yang saya pakai memang mirip dengan petugas kurir. “Gede banget gitu lho,” katanya.

Itu baru keajaiban pertama. Berikutnya, keajaiban kedua justru terjadi usai sessi wawancara dengan Jaclyn. Tiba-tiba saja seorang reporter TV3 Malaysia berikut kameramennya mengeluarkan microphone dan langsung mewawancarai saya beserta wartawan lainnya.

Saya kaget bukan kepalang. Sebab, saya enggak pernah tuh diwawancarai ada juga saya yang mewawancarai.

Tapi, rasanya perasaan senang masuk televisi itu jauh lebih besar dibandingkan keheranan saya. Akhirnya, saya pun dengan senyum-senyum malu menjawab semua pertanyaan mereka tentang dunia musik Indonesia dan Malaysia.

Di akhir wawancara, seperti artis kurang terkenal saya justru bertanya kepada mereka. “Cik, kapan muncul di televisinya yah,” kata saya senyum-senyum kecil.

Cuma satu yang saya sesalkan dalam wawancara itu. Gara-gara ucapan satpam itu saya jadi tidak pede dengan baju yang saya kenakan. Jangan-jangan saya terlihat seperti kurir bukan seorang wartawan.

“Sial aturan gue pakai baju lainnya nih,” kata saya dalam hati.

Monday, August 14, 2006

Kenekatan Bokap

Apa yang paling saya banggakan dari Bokap saya? Cuma satu yaitu kenekatannya. Ya, dibandingkan sifatnya yang bisa bikin kesal, sikap bokap saya yang cenderung terobos sana-terobos sini justru sering bikin saya angkat topi.

Bokap memang sering bertindak nekat. Terutama jika hal itu berhubungan dengan prestasi yang berhasil di cetak anak-anaknya.

Saya punya cerita tersendiri soal kenekatan bokap. Bahkan, kalau saya ingat-ingat lagi saya bisa senyum-senyum sendiri.

Peristiwa itu terjadi ketika saya diwisuda. Seperti acara wisuda lainnya, kedua orang tua saya juga ikut hadir.

Awalnya, saya mengira bapak hanya menunggu dan melihat saya di deretan tamu undangan dan orangtua. Ternyata dugaan saya langsung meleset.

Ketika saya berbaris untuk menuju panggung. Tiba-tiba saya melihat di arah pintu depan panggung berdiri bokap saya sambil menenteng kamera.

Sontak saja saya langsung bingung. Ketika pas bersampingan dengan bapak, saya langsung bertanya kenapa bapak meninggalkan kursinya. Jawabannya justru membuat saya kaget bukan kepalang.

“Saya mau motret kamu dari depan,” kata Bapak.

Begitu mendengar jawaban bapak, saya cuma bisa bengong. Saya berpikir saya akan cetak sejarah nih di kampus. Saya akan jadi orang pertama difoto oleh bapaknya sendiri di depan rektor.

Waktu itu saya memang enggak bisa melarang bapak untuk melakukan hal itu. Akhirnya, begitu nama saya dipanggil. Peristiwa yang tidak pernah saya bayangkan itu pun terjadi.

Ketika saya sampai di depan, bapak juga sudah berada di samping saya. Untungnya, universitas saya adalah sebuah universitas yang memang tidak terlalu memusingkan protokoler yang serba ketat dan abracadabra. Bapak pun dengan santai dan cuek bisa memoto saya beberapa kali.

Walau Rektor dan Dekan saya bingung, tapi mereka justru berusaha menyimpan kebingungan mereka ketika melihat bapak saya beraksi. Saya sendiri berusaha untuk tetap tenang dan mengeluarkan senyuman maut saya kepada mereka.

Hanya saja, rasa heran teman-teman dan seluruh wisudawan dan wisudawati yang ada di kampus justru tetap menggelayut di muka mereka. Mereka bingung, ternyata orang tua bisa memoto di sampai ke depan panggung.

Mungkin, mereka pikir jika tahu bisa begini, mungin mereka akan menyuruh orang tuanya melakukan hal yang sama.

Saya memang benar bangga dengan bapak saya.

Thursday, July 06, 2006

Superman Yang Hilang

Judul : Superman Returns
Sutradara : Bryan Singer
Pemain : Brandon Routh, Kate Bossworth

Sepulang menonton Superman Returns bersama teman-teman di Puri Indah 21, lagi-lagi saya dan teman-teman terlibat dalam perdebatan kecil. Banyak di antara teman saya yang mengatakan bahwa Superman garapan sutradara Bryan Singer ini kurang eksplosif.

Pada intinya mereka bilang Superman Returns benar-benar mengecewakan. Kekecewaan mereka terbentuk karena minimnya aksi yang ada dalam film tersebut. Mereka juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa Superman ternyata punya seorang anak. Mereka juga kecewa karena Brandon Routh benar-benar tidak punyar kharisma untuk memerankan sosok Superman atau Clark Kent.

Dan kekecewaan yang paling amat sangat terjadi adalah betapa sederhananya adegan puncak perseteruan antara Superman dan Lex Luthor.

Kekecewaan teman-teman saya juga sangat terasa ketika saya membaca review-review lain. Bahkan reviewer film sekelas Roger Ebert memberikan dua bintang untuk film ini.

Benarkah film ini begitu mengecewakan? Bagi saya sepenuhnya tidak.

Saya akui memang dari segi biaya film ini memang sangat tidak sebanding. Dengan biaya miliaran rupiah, Bryan Singer harusnya bisa memberikan kejutan yang luar biasa untuk film ini.

Dari 2,5 jam film berjalan, aksi yang menurut saya mengundang decak kagum hanyalah ketika Superman beraksi menyelamatkan pesawat yang hendak jatuh. Selebihnya, hanyalah aksi-aksi biasa dan tidak sering kita lihat.(Superman bisa terbang, udah dari dulu. Superman anti peluru, yah anak kecil juga udah tahu. Superman lemah akan kryptonite, basi banget).

Tapi yang membuat saya menjadi sangat istimewa adalah bagaimana Bryan Singer menunjukkan sisi-sisi emosi Superman di dalam film ini. Bahkan, seorang Superman pun bisa sangat sedih ketika banyak orang yang menganggap dirinya bukan bagian penting di dunia ini.

Superman ternyata bisa ngambek dan merasa dirinya tidak berarti. Bahkan, seperti seorang anak remaja yang tengah mencari jati diri, Superman berkeliling dunia menyelamatkan siapa saja untuk membuktikan dirinya adalah bagian penting dari dunia.

Lihat saja bagaimana raut muka Superman yang terlihat sangat bahagia ketika tepuk tangan riuh penonton baseball sangat bergemuruh menyambut aksinya menyelamatkan pesawat yang jatuh.

Dari sisi emosi Superman, Singer memang berhasil menunjukkan sisi-sisi lain Superman. Hanya saja perlu ditekankan lagi Superman bukanlah apa-apa tanpa kehadiran Lois Lane begitu juga Spiderman tanpa kehadiran Mary Jane.

Kedekatan Lois Lane dan Superman bukan hanya kedekatan biasa. Kedekatan mereka berdua adalah kedekatan yang sangat emosional melebihi cinta-cinta orang terkenal lainnya.

Tidak seperti Peter Parker dan Mary Jane yang bisa saling mencintai secara utuh. Superman terpaksa membatasi dirinya untuk mencintai Lois karena dirinya adalah seorang outsider di bumi ini.

Sayang, di film ini Singer kurang menggarap hubungan itu dengan baik. Kisah cinta antara Lois Lane dan Superman sama sekali tidak terasa.

Dalam film ini Superman dan Lois hanyalah seperti seorang stranger yang berusaha mengatasi kekikukan mereka satu sama lain. Saking kikuknya, adegan terbang mereka berdua sama sekali tidak memberikan kesan yang mendalam bagi saya.

Secara keseluruhan film ini memang tidak akan memberikan kejutan yang luar biasa bagi para penggemar Superman. Hanya saja dari film ini kita bisa mengetahui sisi lain seorang Superman. Mulai dari emosinya, masalahnya hingga perasaan dia yang terdalam tentang keluarga.

Tuesday, June 27, 2006

Being Wartawan Hiburan

Sebenarnya rasa aneh ini sudah lama saya pendam. Titel sarjana hukum seharusnya memang berkutat dengan hal-hal yang sifatnya yuridis. Tapi, toh ternyata saya, seorang sarjana hukum dari sebuah universitas negeri di Jawa Tengah justru malah berkutat dengan hal-hal yang sifatnya jauh dari bayangan seorang sarjana hukum yakni gossip.

Perasaan aneh itu makin terasa ketika saya bertemu teman-teman kampus saya beberapa waktu lalu. Pertemuan itu terjadi karena kebetulan ibu dari teman saya meninggal dunia.

Karena dia adalah teman yang istimewa banyak teman yang menyempatkan waktu untuk datang. Kebetulan juga saya dan teman-teman sudah lama tidak bertemu.

Acara dukacita itu pun secara mendadak jadi ajang untuk bersilaturrahmi. Tukar menukar nomor handphone, bertanya-tanya kabar, hingga satu hal yang paling tidak saya sukai, berbicara soal pekerjaan.

Di antara teman-teman, memang hanya saya saja yang memilih untuk berkecimpung di dunia jurnalistik. Mereka rata-rata bekerja jadi jaksa, hakim atau paling minim pekerja kantoran lah yang saya enggak tahu sebutannya.

Dulu, saya memang sedikit bisa berbangga karena saya adalah wartawan politik. Sedikitnya saya masih punya positioning atau alasan yang membuat saya merasa lebih penting dibandingkan mereka yang telah memilih untuk eksis sesuai latar belakang akademik mereka.

Hanya saja kali ini saya adalah seorang wartawan hiburan. Wartawan yang sehari-harinya hanya bertugas menuliskan berita tentang kehidupan selebritas berikut isyu-isyu terbaru yang terjadi di kehidupan mereka.

Perubahan ini memang berimbas pada perubahan pandangan mereka. Ketika berbicara tentang pekerjaan saya mereka selalu membicarakan hal itu dengan guyonan atau tertawa.

Entah apa yang membuat mereka tertawa. Apakah pekerjaan saya adalah sesuatu yang lucu atau memang pekerjaan saya memang pantas ditertawakan.

Saya sadari memang pekerjaan wartawan hiburan memang adalah sesuatu pekerjaan yang memang khusus. Bukan karena dibutuhkan keahlian khusus, melainkan karena memang hanya dibutuhkan sebagai pelengkap saja.

Begitu juga dari segi jurnalistik, berita-berita hiburan memang berada dalam posisi yang kurang sepadan dengan berita-berita umum. Minimnya pengaruh atau efek pada publik membuat berita hiburan hanya dianggap sebagai pelengkap.

Awalnya saya memang selalu berusaha menerima pelabelan tersebut. Hanya saja masalahnya menjadi sangat krusial bagi saya karena saat ini saya justru mendapatkan nada-nada sumbang soal pekerjaan saya ini.

Teman saya sudah meminta kepada saya untuk memikirkan masa depan saya dengan secepat mungkin pindah desk halaman. Kakak saya lebih parah lagi, dia bilang otak saya sudah enggak bisa lagi diajak untuk berpikir keras. Apalagi jika membahas soal fenomena-fenomena hukum yang terjadi saat ini.

Hal itu semakin diperparah lagi karena kebetulan pada saat yang bersamaan adik saya, justru semakin terasah pemahaman hukumnya karena dia memang bekerja di sebuah situs berita yang memang concern membahas masalah hukum.

Saya akui saya memang mengalami kemunduran jika membahas hal-hal yang bersifat tekhnis hukum. Saya akui juga saya memang agak sedikit terbelakang karena selalu ketinggalan berita-berita umum.

Dulu, saya pernah membela diri kepada teman-teman saya agar bisa sedikit berbangga karena memiliki status sebagai wartawan hiburan. Menurut saya, melalui dunia hiburan saya dan teman-teman bisa mengetahui segala hal yang tidak diketahui ketika bekerja sebagai wartawan umum.

Kita jadi fasih berbicara KUHP seperti fasihnya wartawan kriminal. Kita juga fasih berbicara soal pernikahan dan perceraian seperti fasihnya seorang hakim dan pengacara hukum. Kita juga bisa berbicara soal hukum karena memang artis-artis juga sering terlibat pertikaian hukum. Terakhir, kita juga bisa concern atas Rancangan Undang-undang yang dilakukan di DPR seperti concern-nya wartawan politik atas rancangan tersebut. Jadi sebagai wartawan hiburan kita juga bisa mengerti apa yang dibutuhkan oleh negara saat ini.

Hal itu terjadi karena kita, wartawan hiburan, selalu berhubungan dengan tingkah laku manusia terutama artis. Seperti kita ketahui tingkah laku manusia memang tidak terbatas. Mereka selalu menyentuh segala aspek kehidupan mulai dari hukum, politik, kriminalitas, achievement hingga murni hiburan sendiri. Jadi kalau disadari kita selalu mendapatkan nilai lebih dari pekerjaan kita sendiri.

Sayangnya, pekerjaan ini memang tidak pernah mendapatkan posisi terhormat di mata masyarakat. Dari namanya memang sudah susah juga, wartawan hiburan, yah posisinya emang sebagai penghibur saja bukan pelaku utama.

Posisi dilematis ini memang membuat saya kadang terenyuh sendiri. Apalagi, saya kadang teringat betapa susahnya meluluskan diri dari sebuah fakultas hukum. Bahkan ketika beberapa waktu lalu saya membaca skripsi saya, saya hanya bisa tersenyum sendiri karena memang saya sudah jauh sekali dari awal saya bermula.

Lagi-lagi

Tadi malam saya menghadiri konferensi pers Taufik Hidayat menanggapi tuduhan telah mempunyai anak bernama Excel di Lantai 12 Gedung Patra Jasa, Jakarta Selatan.

Sebenarnya berita Taufik itu tidak akan masuk ke koran saya. Mengingat, mertua Taufik, Agum Gumelar adalah Komisaris MNC Grup. Jadi akan sangat tidak sopan jika koran saya ikut-ikutan memberitakan berita tersebut.

Namun karena alasan ingin tahu akhirnya saya datang juga ke kantor pengacara Roesmanhadi and Associates itu.

Begitu datang, saya sudah menduga bahwa ruangan yang dipakai untuk konferensi pers tidak akan mencukupi jumlah infotainment dan wartawan hibura yang datang ke konpers tersebut.

Untungnya, konferensi pers dimulai 30 menit lebih awal. Jadinya, banyak infotainment yang datang terlambat.Kalaui tidak, saya enggak bisa membayangkan bagaimana bentuk dari ruangan konpers itu karena kelebihan muatan dari para krew infotainment.

Ketika konferensi pers dimulai memang sudah menjadi dugaan wartawan dan infotainment sebelumnya, Taufik sangat irit berbicara. Pebulutangkis nasional ini hanya mengatakan akan melakukan usaha hukum baik pidana dan perdata terkait berita yang cenderung ke arah fitnah tersebut. Tidak lupa, Taufik melalui kuasa hukumnya mengatakan bahwa dia tidak mempunyai hubungan hukum dengan Fanny atau Excel sesuai dengan Undang-undang perkawinan.

Pekerja infotainment memang sepertinya tidak terlihat puas dengan jawaban tersebut. Sayangnya berkali-kali pertanyaan atau desakan wartawan justru tidak digubris dengan baik oleh Taufik.Alhasil, konpers pun berakhir cepat dan sama sekali tidak memuaskan.

Setelah konpers selesai, seperti biasa para pekerja infotainment sepertinya tidak mau melepaskan buruannya. Ibarat anjing pemburu yang lapar, mereka masih terus-terusan mengejar Taufik.

Taufik sendiri langsung mengamankan diri di sebuah ruangan kantor tersebut. Parahnya, pekerja infotainment juga bertahan di muka pintu ruangan tersebut.

Di sinilah bencana dimulai. Mungkin tepatnya bukan bencana, soalnya semua ini adalah hal yang sangat biasa terjadi ketika semua para pekerja infotainment bekerja.

Ketika Taufik berusaha meninggalkan gedung Patra terjadi aksi penggerubungan dan dorong mendorong antara pekerja infotainment dan pengawal Taufik. Akibatnya, jalur jalan yang ada di lantai 12 gedung Patra penuh sesak dan penuh dengan aura panas yang keluar dari infotainment dan pengawal.

Saling sikut dan singgung-menyinggung itulah akhirnya terjadi kecelakaan yang dialami oleh seorang crew cameramen dari salah satu infotainment ternama. Lampu kamera yang ia gunakan pecah.Kerugian dihitung berkisar jutaan rupiah.

Entah, kejadian tadi malam adalah kejadian yang keberapa kali. Sepertinya, kejadian dorong-mendorong atau ribut mulut adalah hal yang harus dilakukan ketika konferensi pers artis terutama yang berkasus terjadi.

Saya sendiri sering kebingungan ketika menghadapi masalah seperti ini. Jika terus-terusan peristiwa seperti itu terjadi yang rugi bukan hanya kita saja. Tapi, semua orang mulai dari artisnya, wartawannya hingga masyarakatnya.

Artisnya dirugikan karena hak-hak privasi mereka dilanggar. Kenyamanan mereka terganggu hingga nyawa mereka terancam hanya karena tidak mau lagi memberikan komentar usai konferensi pers.

Bagi kita para wartawan atau pekerjaan infotainment hal itu memang sangat dirugikan. Selain karena sering mengalami kerugian materiil seperti rusaknya kamera atau alat perekam, kedudukan kita di mata artis juga mengalami degradasi. Tidak heran kalau saat ini lebih banyak artis sulit diwawancara, bahkan ketika mereka tidak berkasus.

Masyarakat juga dirugikan karena berita yang keluar di masyarakat cenderung adalah berita yang sangat tendensius. Berita yang keluar tidak lain adalah berita yang sama sekali tidak balance dan dibuat seakan-akan dibuat untuk memojokkan orang tertentu.

Contohnya, ketika pagi harinya berita yang keluar tentang Taufik justru aksi dorong mendorong diberikan porsi yang lebih besar ketimbang pernyataan Taufik sendiri.

Saat ini memang sudah banyak orang atau pengamat yang mengkritisi kebiasaan-kebiasaan ini. Hanya saja semakin banyak kritikan yang keluar justru tidak pernah merubah kebiasaan tersebut.

Sulit memang untuk merubah pandangan para pekerja infotainment agar selalu bisa meletakkan segala sesuatunya dalam proporsi yang benar. Sebab, bagi mereka berita yang keluar bukanlah sebuah produk jurnalisme melainkan adalah sebuah kemasan produk yang mereka inginkan.

Jadinya tidak heran ketika proses pekerjaan membuat berita itu akhirnya juga dilakukan dengan cara-cara pemaksaan. Soalnya, produk yang mereka inginkan tentu tidak akan terjadi jika sang narasumbernya tidak memberikan jawaban-jawaban yang mereka inginkan.


Monday, June 26, 2006

Ujian Nasional

Judul di harian Warta Kota beberapa waktu lalu bikin hati saya miris. Saya sudah lupa judulnya, hanya saja waktu itu disebutkan lebih dari 6 ribu pelajar SMA dinyatakan tidak lulus ujian nasional.

Awalnya, saya hanya bisa miris dan mencoba melupakan seolah tidak mau peduli. Toh itu memang urusan mereka. Namun, saya tidak bisa untuk tidak peduli ketika salah satu keponakan saya, Rintar, juga tengah menunggu hasil ujian nasional tingkat SMP.

Saya merasa cemas dan takut. Saya tidak bisa membayangkan keponakan saya bisa jadi korban dari ganasnya sistem baru tersebut.

Kecemasan saya jadi ketakutan yang sangat menjadi-jadi, mengingat keponakan saya itu memang bukan tipe anak yang suka belajar. Secara akademik pun prestasi yang ia cetak selama ini biasa-biasa saja.

Ternyata kecemasan itu bukan hanya saya saja yang merasakan. Seluruh keluarga saya terutama kedua orang tua saya benar-benar cemas dengan pengumuman kelulusan tersebut.

Berkali-kali orang tua saya meminta saya untuk mencari informasi seputar ujian nasional SMP. Pertanyaannya pun selalu sama, apakah kriteria yang ada dalam ujian nasional tingkat SMA juga diterapkan pada ujian nasional tingkat SMP.

Jika memang diterapkan sama, maka jawabannya adalah bencana. Kita semua enggak bisa memikirkan apakah keponakan saya yang gemuk satu itu bisa sukses mendapatkan nilai lebih di atas 4,26 untuk semua mata pelajaran khususnya matematika.

Matematika memang jadi momok menakutkan bagi Rintar. Menghitung memang bukan pekerjaan yang ia suka. Seperti saya, ia lebih suka menyanyi. Setiap hari setiap waktu selalu ia habiskan dengan bernyanyi dan bernyanyi.

Tidak heran, kalau bayang-bayang ketidak lulusan justru lebih banyak bergayut di benak saya dan keluarga saya. Kita semua tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika Ririn benar-benar tidak lulus.

Bagi keluarga kami ketidaklulusan memang bisa dikatakan adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua kakak dan adik saya menjalani studi akademiknya dengan baik.

Ketakutan saya semakin menguat ketika saya berbicara kepada teman saya di desk nasional. Menurut dia, sistem yang digunakan oleh ujian nasional SMP sama dengan ujian nasional SMA.

Sama-sama hanya tiga mata pelajaran yang diujikan dan juga sama-sama menggunakan koefisien tertentu untuk menentukan kelulusan seseorang.

Keterangan teman saya itu membuat saya semakin berat untuk mengatakan kepada keluarga saya tentang sistem ujian nasional SMP itu. Alhasil, saya terpaksa berbohong kepada kedua orangtua saya dengan mengatakan bahwa semua anak SMP dipastikan lulus. Sedangkan tiga mata pelajaran itu hanya dijadikan standar untuk menentukan apakah keponakan saya itu bisa diterima di SMA negeri atau tidak.

Mama memang terlihat senang dengan keterangan saya waktu itu. Sebab, dengan keterangan itu dia bisa merasa bahagia melihat cucu tersayangnya itu tidak dilanda kesedihan karena tidak lulus ujian.

Meski demikian kekalutan itu toh tetap datang juga. Pagi hari tadi, semua keluarga sudah berkumpul semua di ruang keluarga untuk menunggu hasil ujian nasional.

Bahkan setahu saya tadi malam Kak Wulan, ibu Rintar, sudah tadi malam mencoba lewat SMS untuk mengetahui hasil ujian tersebut. Sayang, cara itu justru tidak berguna sama sekali. Soalnya, yang keluar hanyalah permintaan-permintaan aneh untuk memberikan nomor-nomor yang tidak jelas.

Alhasil, pagi tadi saya bersama Rintar naik motor menuju warnet terdekat. Berbeda dengan dulu, kali ini informasi kelulusan memang bisa diakses melalui internet.

Setelah sampai di warnet ternyata bukan hanya saya dan keponakan saya juga yang sedang sibuk mencari hasil ujian. Ternyata ada beberapa anak SMP lainnya melakukan hal yang sama.

Ada perasaan was-was ketika saya mengetikkan nomor ujian Ririn di daftar search kelulusan. Saya takut menjadi orang pertama yang melihat kekecewaan di muka keponakan saya itu jika ia benar-benar dinyatakan tidak lulus.

Sialnya, begitu nomor dimasukkan dan icon search saya tekan ternyata yang keluar adalah pengumuman bahwa hasil ujian akan bisa diketahui jam 14.00 WIB.

Saya dan Rintar pun akhirnya pulang dengan perasaan hampa. Ditambah perasaan was-was yang semakin menggunung karena tidak bisa mengetahui hasil ujian.

Sepulangnya di rumah, Kak Wulan meminta saya untuk melihat hasil ujian itu melalui internet kantor. Saya sebenarnya tidak mau melakukan itu. Sebab, saya memang tidak kuat melihat hasilnya jika keponakan saya dinyatakan tidak lulus.

Namun, tanggung jawab sebagai paman memang saya harus embankan. Ketika jam kantor sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, akhirnya saya mengakses situs yang sudah diberikan keponakan saya itu.

Awalnya, memang sangat sulit untuk membuka situs tersebut. Saya menduga hal ini terjadi karena memang pada saat yang bersamaan banyak orang yang membuka situs itu.

Setelah menunggu 15 menit tampilan utama pun akhirnya keluar. Dengan hati-hati saya mengetikkan nomor ujian keponakan saya itu.

Perlahan-lahan gambar yang ada di depan computer pun keluar. Dan saya melihat sebuah kata yang saya cari-cari beberapa hari terakhir ini, LULUS di sudut kanan komputer.

Kejutannya, semua nilai yang ada di ujian tersebut benar-benar membelalakkan mata saya. Semua nilainya di atas enam. Memang belum maksimal, tapi saya bangga dengan dia. Ternyata di balik kekurangannya dia memang benar-benar berusaha semaksimal mungkin untuk jadi kebanggaan orangtuanya.

Belum lepas mata saya melihat pengumuman tersebut di komputer, handphone saya berdering dan suara di sana bertanya kepada saya, “bagaimana?”

Dengan ikhlas saya jawab dengan bahagia karena telah jadi yang pertama. “Lulus kak”.

Alhamdulillah.

Sunday, June 11, 2006

Busway, Tidak Punya Rem?

Photobucket - Video and Image Hosting

Tidak bisa dipungkiri, sebagai sarana transportasi Busway sangat berguna bagi para penggunanya. Busway berhasil mengatasi solusi kemacetan yang terjadi di
Jakarta khususnya di jalur-jalur yang memang padat akan kendaraan.

Meski masih sering berdesak-desakan, pengguna Busway masih tetap betah menggunakan busway karena keunggulannya membawa penggunanya ke tujuan dengan cepat.

Sampai saat ini saya sendiri belum pernah menggunakan busway. Kebetulan saya sehari-harinya memang menggunakan motor yang alhamdulillah sudah lunas untuk bekerja.

Berbeda dengan pengguna Busway, saya justru merasakan Busway adalah ancaman terbesar ketika saya berkendara di jalan. Kebetulan, jalur pekerjaan saya sehari-hari selalu bersinggungan dengan rute Busway khususnya di Koridor III yakni Kalideres-Pulogadung.

Koridor III Busway Kalideres-Pulogadung memang sangat berbeda dengan Koridor I Blok M-Kota. Jika diperhatikan, Koridor III Busway memang jauh lebih berbahaya dibandingkan Koridor I.

Mulai dari kerapihan rute, minimnya jembatan penyeberangan hingga banyaknya celah kosong untuk perpindahan jalur. Dari kekurangan yang saya sebutkan itu tidak heran kalau di Koridor III seringkali terjadi kecelakaan yang melibatkan busway.

Alhamdulillah, saya pribadi memang belum pernah mengalami kecelakaan dengan busway. Hanya saja saya tidak sekedar menuduh kalau saya sering membaca koran-koran kota yang memberitakan adanya kecelakaan yang melibatkan busway.

Coba saja anda Google kecelakaan Busway di internet. Pasti akan ditemukan ada beberapa berita yang mengatakan terjadi tabrakan antara pengguna lalulintas dan busway. Korban tabrakan itu pun mengalami kejadiaan bervariasi, ada yang luka ringan, luka berat hingga tewas.

Faktor minimnya fasilitas pengaman memang jadi faktor utama pemicu kecelakaan. Hanya saja saya sedikit khawatir dengan cara mengendara supir-supir Busway.

Adanya jalur khusus bukan jadi jaminan bagi para supir busway untuk mengendarai mobil dengan hati-hati. Sepanjang yang saya lihat mereka justru mengendaraka mobil dengan kencang.Tidak hanya ketika jalur benar-benar kosong atau jalur yang ternyata dilewati oleh pengguna jalan lainnya.

Saya pernah berbincang kepada adik saya Ari. Sebagai pengguna busway dia memang mencemaskan gaya berkendara para supir busway.

Dia mengatakan kepada saya supir busway sepertinya tidak pernah mau mengurangi kecepatannya ketika melintas.

Contoh nyata yang saya alami sendiri adalah di perempatan Tomang-Cideng. Di pagi hari sebelum jam 10.00 WIB, semua kendaraan yang datang dari Tomang atau Tangerang memang diperbolehkan menggunakan dua jalur. Baik Tomang-Harmoni atau sebaliknya, Harmoni-Tomang.

Biasanya semua orang yang mau pindah ke arah Tanah Abang langsung bepindah jalur. Karena perpindahan tersebut, semua pengendara harus mengawasi apakah di depan atau di belakang mereka akan melintas Busway atau tidak.

Biasanya di pagi hari memang ada beberapa petugas DLLAJR yang selalu mengawasi perpindahan lintasan tersebut. Hanya saja, sering juga beberapa petugas DLLAJR telah meninggalkan lokasi terutama ketika jam sudah mau menunjukkan pukul 10.00 WIB.

Nah, biasanya sejak ditinggal itulah perpindahan sering agak kacau. Pengemudi busway sepertinya tidak pernah rela lintasannya dilewati begitu saja. Seakan-akan untuk menakut-nakuti semua kendaraan yang ada di depannya, laju kendaraan justru semakin dipercepat.

Bagi saya tindakan pengemudi busway itu memang sangat aneh. Jalur khusus yang diberikan bukan memperbolehkan mereka untuk secepat-cepatnya menekan gas.

Jalur khusus diberikan agar para pengemudi busway bisa mengendarakan kendaraannya dengan bertanggungjawab tanpa merugikan para pengguna lalulintas lainnya. Terutama untuk sekali-kali menggunakan fasilitas yang ada di busway itu sendiri yaitu, rem.