Tuesday, May 31, 2005

Menunggu Bayaran Lunas

Sekarang zamannya kredit. Mulai dari kartu kredit, rumah kredit, mobil kredit, motor kredit, beli buah, celana dalam hingga kondom juga bisa kredit. Kredit menjadi hal yang wajar, karena negara kita ini juga punya banyak hutangan yang masih dikredit.

Mau gak mau sebagai warga negara yang taat dan patuh, gue juga harus punya barang yang masih dikredit. Yaitu, motor Supra Fit, yang lama kelamaan tagihannya bikin dompet gue makin terjepit.

Bayangin aja, tiap bulan akhirnya, yang kepikiran di otak gue itu bagaimana caranya bayar motor, dan masih punya uang sisa untuk melewatkan satu bulan ini dengan selamat. Tanpa harus minta kredit lagi dari teman-teman yang rata-rata pelit. Alasannya, sama-sama gak punya duit.

Banyak orang yang bilang kalau kredit motor atau mobil itu sama saja dengan nabung. Bedanya, kalau di bank itu kita dapat uang lebih karena bunga. Nah, kalau ngredit, kita harus mengerogoh kantong lebih dalam buat bayarin tuh bunga yang bisa bikin perut jadi melilit.

Bayangin aja, selama dua tahun gue harus membayar cicilan motor. Padahal, jatah makan gue tiap bulan aja gak lebih mahal dibandingin tuh motor. Makanya, kadang kalau gue lagi kesel, gue kagak pernah gue cuci tuh motor. Biarin, biar diberakin emprit.

Seneng sih gue kalau motor gue diberakin burung. Soalnya, ada orang yang bilang, kalau motor diberakin ama burung itu tandanya ada rejeki yang mau datang. (Buktinya, tanya ama wartawan radio Trijaya aja tuh, si Jhoni Sitorus).

Yang pasti, kalau awal bulan gue makin kesel mikirin kreditan motor gue. Selain karena kudu bayar, gue juga musti datang ke kantor WOM, tempat gue bayar kredit. Makin lama gue makin kesel datang ke kantor itu. Soalnya, setiap gue mau bayar gue pasti ngelihat ada 4 macam poster yang isinya kebanggan punya motor kredit.
Salah satu contohnya, Naik-naik ke puncak bukit, paling asyik bareng teman. Walau motor bayarnya kredit. Paling seneng kalau lunas tagihan. Parah.. asli parah.

Jadi kesimpulannya, kalau mau beli motor kredit itu sama saja kayak naik bukit. Lama-kelamaan tagihannya bisa selangit.

Monday, May 30, 2005

Lagi-lagi Sepatu

Ada yang salah dengan sepatu gue? Malam kemarin, gue dibikin malu Cuma gara-gara sepatu. Memang sih kondisi sepatu gue udah agak berantakan.

Saat itu salah satu bos Lampu Merah memberitahukan bos gue kalau gue perlu dibantu. “Bang, bantulah tuh si Wahyu. Masa sepatunya udah kayak begitu,” kata dia.

Inginnya sih dia bersimpati, tapi gaya bahasa dan bahasa tubuhnya itu yang menunjukkan bahwa dia bukan bersimpati. Tepatnya, sih menyindir. Alhasil, temen-temen di kantor gue langsung pada ngelihat emang kenapa sih sepatu gue. Pas ngelihat mereka emang langsung pada ketawa.

Bayangin aja, sol alas sepatu gue itu udah pada bolong semua. Di samping itu jaitannya udah pada lepas. Masih untung warnanya gak berubah. Coba kalau berubah, ampun dah udah jadi alamat celaan of the day nih gue.

Gue memang sengaja maksain tuh sepatu, karena gue beranggapan kalau sepatu itu masih bisa dipakai. Selain itu, gue juga agak malas untuk beli sepatu. Alasan klasiknya, gue agak susah beli sepatu karena kondisi keuangan yang memang tidak pernah memungkinkan.

Tanpa gue sadari, masalah sepatu memang jadi ciri khas tersendiri bagi gue. Mulai dari sekolah, kuliah hingga bekerja, kayaknya sepatu jadi masalah utama bagi gue.

Dulu waktu sekolah, gue pake sepatu warrior. Itu, sepatu warna hitam yang di kiri kanannya ada lambang orang manah dengan tulisan Warrior. Selain harganya murah, memang nyokap sudah lama bikin tradisi ke anak-anaknya agar make sepatu yang kagak mahal-mahal itu.

Celakanya, gue masuk sekolah yang anak-anaknya pada gaul semua. Saban hari, mereka ngomongin masalah sepatu. Sebenarnya gue gak masalah dengan sepatu gue, Cuma lama kelamaan, masalah sepatu jadi hal yang ngebingungin buat gue.

Celakanya lagi, warna sepatu gue tiap hari malah pudar. Maklum, setiap hari dicuci biar kinclong. Alhasil, tiap hari gue malah diledekin soal sepatu. Kate-kate mereka sepatu gue itu udah fosil jaman dulu.

Masa-masa kuliah gue sedikit beruntung. Soalnya, mereka gak pernah masalahin sepatu, Katanya sih makin keren kalau pake sendal jepit. Cuma gue baru kerepotan soal sepatu, ketika ujian semester akhi tiba. Peraturan mengatakan gue gak bakalan boleh masuk ruang ujian kalau gak pake sepatu.

Alhasil gue terpaksa minta teman satu kost untuk minjem sepatu. Bukan karena apa-apa, sepatu gue memang udah jebol, karena kebanyakan gue pake. Ceritanya, gue dibeliin sepatu mereka Yongki Komaladi. Karena lagi ngetrend, tuh sepatu gue pake segala kondisi dan waktu. Ya udah, akhirnya jebol juga.

Begitu masuk kerja, gue juga dibeliin sepatu. Lagi-lagi mereknya Yongki. Karena kasusnya sama, sepatu gue juga jebol. Dan inilah sepatu yang gue pake sampai saat ini.

Kadang gue pernah sih mau beli sepatu, Cuma gue rasa sepatu jebol ini udah punya banyak cerita bersama gue. Sepatu ini udah sering gue pake liputan. Mulai berlari-lari ketakutan karena ada bentrokan massa Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan polisi di depan rutan Salemba. Hingga berlari mengejar lokasi bom di Hotel Marriot. Bayangin, dah tuh sepatu. Semua keringat ama cerita bercampur jadi satu.

Jadi kalau ada orang yang prihatin sama sepatu gue, itu karena dia tidak tahu. Mengutipm kata Jesuc Kristus, Tuhanku ampunilah mereka karena mereka tidak tahu.

Saturday, May 28, 2005

25th Hour Monolog

Image hosted by Photobucket.com


Fuck me? Fuck you!
Fuck you and this whole city and everyone in it.
Fuck the panhandlers, grubbing for money, and smiling at me behind my back.

Fuck squeegee men dirtying up the clean windshield of my car.Get a fucking job!

Fuck the Sikhs and the Pakistanis bombing down the avenues in decrepit cabs, curry steaming out their pores and stinking up my day. Terrorists in fucking training. Slow the fuck down!

Fuck the Chelsea boys with their waxed chests and pumped up biceps. Going down on each other in my parks and on my piers, jingling their dicks on my Channel 35.

Fuck the Korean grocers with their pyramids of overpriced fruit and their tulips and roses wrapped in plastic. Ten years in the country, still no speaky English?

Fuck the Russians in Brighton Beach. Mobster thugs sitting in cafés, sipping tea in little glasses, sugar cubes between their teeth. Wheelin' and dealin' and schemin'. Go back where you fucking came from!

Fuck the black-hatted Chassidim, strolling up and down 47th street in their dirty gabardine with their dandruff. Selling South African apartheid diamonds!

Fuck the Wall Street brokers. Self-styled masters of the universe. Michael Douglas, Gordon Gecko wannabe mother fuckers, figuring out new ways to rob hard working people blind. Send those Enron assholes to jail for fucking life! You think Bush and Cheney didn't know about that shit? Give me a fucking break! Tyco! Imclone! Adelphia! Worldcom!

Fuck the Puerto Ricans. 20 to a car, swelling up the welfare rolls, worst fuckin' parade in the city. And don't even get me started on the Dom-in-i-cans, because they make the Puerto Ricans look good.

Fuck the Bensonhurst Italians with their pomaded hair, their nylon warm-up suits, and their St. Anthony medallions. Swinging their, Jason Giambi, Louisville slugger, baseball bats, trying to audition for the Sopranos.

Fuck the Upper East Side wives with their Hermés scarves and their fifty-dollar Balducci artichokes. Overfed faces getting pulled and lifted and stretched, all taut and shiny. You're not fooling anybody, sweetheart!

Fuck the uptown brothers. They never pass the ball, they don't want to play defense, they take fives steps on every lay-up to the hoop. And then they want to turn around and blame everything on the white man. Slavery ended one hundred and thirty seven years ago. Move the fuck on!

Fuck the corrupt cops with their anus violating plungers and their 41 shots, standing behind a blue wall of silence. You betray our trust!

Fuck the priests who put their hands down some innocent child's pants. Fuck the church that protects them, delivering us into evil. And while you're at it, fuck JC! He got off easy! A day on the cross, a weekend in hell, and all the hallelujahs of the legioned angels for eternity! Try seven years in fuckin Otisville, Jay!

Fuck Osama Bin Laden, Alqueda, and backward-ass, cave-dwelling, fundamentalist assholes everywhere. On the names of innocent thousands murdered, I pray you spend the rest of eternity with your seventy-two whores roasting in a jet-fueled fire in hell. You towel headed camel jockeys can kiss my royal, Irish ass!

Fuck Jacob Elinski, whining malcontent.

Fuck Francis Xavier Slaughtery, my best friend, judging me while he stares at my girlfriend's ass.

Fuck Naturel Rivera. I gave her my trust and she stabbed me in the back. Sold me up the river. Fucking bitch.

Fuck my father with his endless grief, standing behind that bar. Sipping on club soda, selling whiskey to firemen and cheering the Bronx Bombers.

Fuck this whole city and everyone in it. From the row houses of Astoria to the penthouses on Park Avenue. From the projects in the Bronx to the lofts in Soho. From the tenements in Alphabet City to the brownstones in Park slope to the split levels in Staten Island. Let an earthquake crumble it. Let the fires rage. Let it burn to fuckin ash then let the waters rise and submerge this whole, rat-infested place.

No. No, fuck you, Montgomery Brogan. You had it all and then you threw it away, you dumb fuck!

Wednesday, May 25, 2005

Lambaian Malam

Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com


Tadi malam pulang jam 11.30 WIB. Kemalaman di kantor karena terlalu asyik menggunakan fasilitas internet kantor yang gratis bagi karyawan.

Selain itu, ada pikiran untuk jalan-jalan santai dengan motor butut gue mengelilingi kota Jakarta. Menikmati suasana malam Jakarta yang bebas dari kemacetan dan kebisingan, dan melihat gadis-gadis malam yang ada di pinggir jalan.

Unik juga, jika melihat mereka. Mereka selalu ceria, seperti tidak ada masalah menghimpit pundak mereka. Padahal, mungkin saja mereka memilih jalan ini karena terlalu banyak masalah yang sulit dipecahkan.

Image hosted by Photobucket.com

Baju-baju mereka juga sangat mencolok, amat kontras dengan suasana malam yang serba gelap. Setiap ada motor atau mobil mendekat, mereka mengayunkan tangan untuk sekedar menyapa. “Hi, kesini aja,” ucap mereka.

Kadang, mereka bergerombol. Kadang, ada juga yang berdiri sendirian. Berdiri menjauh, entah kenapa. Mungkin, karena alasan praktis, yang menyepi sendiri biasanya cantik dan paling gampang didekati. Soalnya, mana mau sih calon pelanggan mendekati wanita-wanita tersebut yang lagi bergerombol. Bisa-bisa digaruk kita oleh mereka.

Hanya saja, ada juga yang sedikit mengganjal. Di tengah keceriwisan mereka, ada juga yang tampak masih belia. Fisik mereka memang jelas terlihat sangat berbeda. Tebalnya make up yang mereka gunakan, tak mampu menyembunyikan tatapan lugu mereka.

Entah alasan apa yang mereka gunakan untuk memilih jalan tersebut. Alasan klasik yang selalu aku baca tentu tak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Mereka punya orang tua dan mereka punya hak untuk dilindungi segala kebutuhannya. Atau memang karena himpitan ekonomi yang sangat deras membuat mereka memilih untuk hidup di dunia ini. Atau memang, alasan pergaulan musti kita terima?

Sayang semakin malam, kebahagiaan di wajah mereka justru perlahan memudar. Datangnya pagi mungkin adalah tanda bahaya bagi mereka. Tanpa datangnya pelanggan, pagi adalah suatu tanda bahwa mereka harus lebih giat, ulet, ganas lagi untuk dapat pelanggan.

Tentu mereka tak mau, satu hari tanpa adanya pemasukan dan ada orang yang mau “memasukkan”.

Sungguh sangat beda memang, ketika pagi tiba gue malah terus-terusan terlena dengan tidur. Tidak mau bekerja padahal matahari sudah mau meninggi. Sedangkan, mereka justru berharap tak datang pagi agar bisa terus bekerja.

Ah… malam, kadang memang lebih banyak menimbulkan pertanyaan dibandingkan jawaban. Semuanya tersembunyi di balik kegelapan.

Tuesday, May 24, 2005

Star Never Wars

Image hosted by Photobucket.com

Beda dengan bulan-bulan sebelumnya, bulan ini jadwal nonton film sangat padat. Habis nonton film XXX2 dan Kingdom Of Heaven, kemarin langsung nonton lagi film Star Wars Episode III: Revenge Of The Sith.

Film yang diperankan oleh Hayden Chsritensen ini sebenarnya premier secara serentak di seluruh dunia tanggal 19 Mei lalu. Pengennya sih, mau jadi orang yang pertama nonton film ini, tapi karena harganya Rp 100 ribu, jadi gak jadi nonton. Terpaksa, memilih jadi orang-orang biasa saja, alias bayar normal.

Sengaja nonton di Citra Land, karena pertimbangan lokasi yang lebih dekat. Apalagi, nontonnya juga nyolong-nyolong waktu kerja. Jam 12.15 dan keluar bioskop jam 14.30. Jadi, bisa alasan untuk keluar kantor. Untungnya, orang-orang kantor percaya.

Perjalanan ke bioskop memang cuma butuh 15 menit. Tapi, karena jalanan macet akhirnya waktu habis jadi setengah jam. Bahkan, tiba di bioskop mepet banget dengan film mulai. Gak heran, kalau nafas sedikit tersengal-sengal ketika duduk di dalam bioskop.

Selain terburu-buru, lokasi bioskop yang ada di lantai 5, membuat gue agak capek berjalan. Maklum berat badan agak menyulitkan nih. Mudah-mudahan nantinya, ada orang yang bisa nyaranin grup 21 agar jangan bikin bioskop ada di lantai teratas mall. Efisien kan, gak ada lagi orang yang lari-lari karena ketakutan ketinggalan film.

Untung, gue gak sempat kehilangan semua bagian film. Ketika duduk, film sudah dimulai dengan soundtrack themenya yang terkenal itu. Untung dah, kalau gak nyesel juga datang buru-buru.

Sialnya, selama nonton gue gak bisa nahan rasa kantuk. Kursi yang empuk, suasana yang gelap dan background film yang juga benar-benar gelap, membuat gue tiba-tiba mengantuk. Akibatnya, hampir sepanjang film beberapa kali gue terus-terusan menguap.

Bukan hanya itu saja, sepanjang film diputar, gue gak henti-hentinya melihat jam tangan. Berkali-kali gue berharap, kapan sih nih film kelar. Soalnya, filmnya kok berputar seperti video game. Tembak sana, tembak sini. Sabet sana, sabet sini. Terbang ke sana, terbang ke sini. Aduh, perasaan kok jadi kayak maen PS 2 yah.

Jujur aja gue emang gak begitu-begitu amat suka film Star Wars. Kebetulan aja gue pernah nonton film Star Wars Episode I, dan II. Jadi, mau gak mau biar lengkap yah harus nonton film ini.

Namun, secara keseluruhan film ini memang luar biasa. Gambar yang ditampilkan oleh George Lucas dkk, benar-benar sangat hidup. Antariksa yang sangat luas, kapal perang angkasa berukuran raksasa, dan permainan light sabre yang sangat mengagumkan.

Yang pasti film ini berhasil menjawab semua tanda tanya gue tentang siapa itu Darth Vadder. Siapa sebenarnya yang ada di balik topeng hitam tersebut. Walaupun sebenarnya sudah tahu, tapi kan pengen tahu jalan ceritanya.

Tapi, sebenarnya sangat jauh dari pengharapan. Gue sangat berharap, figur idola gue, Master Yoda bisa banyak memberikan petuah-petuahnya dalam film tersebut. Sayang, petuahnya hanya satu saja dalam film tersebut. Ketika Anakin bertanya kepadanya tentang belajar untuk menerima kehilangan.

Dan gue memang belajar banyak dari film tersebut. Jangan nonton film buru-buru, kalau enggak lu bakal susah nikmatin tuh film, alias bakal ngantuk karena lelah. Selain itu, belajarlah untuk menerima bahwa kebahagiaan tidak selamanya kekal dalam manusia. Hal yang sekalipun sangat kita cintai, sebenarnya tidak pernah abadi. Karena kita hidup dalam dunia yang memang tidak abadi. Segala yang kekal saat ini akan punah, segala yang punah akan kekal di hari nanti.

Btw, Sin City udah premier juga kemarin. Siap-siap lagi untuk nonton.

Friday, May 20, 2005

Oh Keretaku..!

Image hosted by Photobucket.com


Tadi malam, kita sempat direpotkan dengan berita tabrakan kereta di Lampung. Tabrakan naas yang melibatkan kereta angkut batubara, KA Babaranjang dan KA Fajar Utama itu, menyebabkan empat orang tewas seketika dan puluhan lainnya luka-luka.

Saking kencangnya tabrakan itu, satu gerbang kereta sempat mencelat keatas. Bisa dibayangkan, bagaimana sakitnya orang-orang yang ada di dalam kereta itu. Aku sendiri enggan membayangkan, karena sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa ada kereta (bisa lagi!) saling bertabrakan.

Peristiwa tabrakan ini menambah catatan hitam lainnya di dunia perkeretaapian. Hal ini bisa jadi peringatan, selain aman dan cepat, kereta juga sarana transportasi yang paling berbahaya.

Bisa jadi kereta adalah sarana transportasi yang paling membunuh. Sekali terjadi, korban yang jatuh bisa jadi sulit untuk dihitung dengan dua tangan.

Memang, dibandingkan sarana transportasi yang lain, kereta api memang sarana transportasi paling favorit. Walau selalu dipadati oleh penumpang, orang tetap mau menggunakan jasa kereta. Alasannya, praktis, murah dan cepat.

Sayang, sebagai transportasi favorit, pihak pengurus kereta api, yakni PT. KAI, tidak bisa mengurusnya dengan baik dan maksimal. Berada di dalam dan di luar kereta itu jadi sangat berbahaya.

Di dalam kereta, tingkat keamanan di kereta sangat mengkhawatirkan. Selain kerap terjadi pelecehan seksual, tindakan kriminal gampang terjadi. Lemahnya kontrol pengamanan, membuat para kriminal tidak takut beraksi.

Dulu, pernah ada dua orang mahasiswa, dari UI dan Gunadarma tewas karena ulah copet yang beraksi di dalam kereta. Tanpa rasa kemanusiaan, pencopet itu melempar seorang mahasiswa ke luar kereta, hanya karena ia tidak punya apa-apa.

Di luar kereta, sama juga bahayanya. Berdasarkan catatan PT. KAI, ada 7.545 pintu perlintasan di sepanjang jalur KA di Pulau Jawa. Total, 6.354 di antaranya atau 84% tidak berpalang pintu dan tidak dijaga petugas.

Kabar terbaru, di Jakarta dalam sebulan ini total 59 orang tewas karena ketabrak kereta. Yang paling fenomenal, belum lama ini, ketika sebuah kereta Argo Bromo menabrak warung remang-remang dan menyebabkan 6 orang WTS tewas. Jadi, bayangkan betapa berbahayanya kereta tersebut.

Dengan catatan di atas, ada baiknya kita waspada ketika melewati persimpangan kereta baik itu berjalan kaki, motor ataupun mobil.

Uniknya, walaupun banyak catatan hitam tertoreh di sejarah perkeretapian Indonesia. Pihak, PT KAI enggan untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen. Mereka seakan enggan untuk peduli pada keselamatan para pelanggannya.

Tingginya ketergantungan kita terhadap kereta, membuat pihak PT. KAI seakan-akan berdiri pada posisi yang superior. Sebab, jika toh kita menolak untuk menggunakan kereta, masih banyak orang lain yang ngantri.

Jika begini terus, sempat terpikir alangkah baiknya jika pihak swasta perlu dilibatkan dalam bisnis kereta api. Keterlibatan swasta ini bisa diharapkan guna mencegah PT. KAI,
menjadikan kereta api sebagai industri bisnis semata tanpa keselamatan yang prima.

Yah, kalau keselamatan prima, minimal kita tidak perlu repot-repot lagi menulis berita, ada kereta tabrakan, orang atau mobil tewas ketabrak kereta. Gak jaman gitu lho, kalau mau beda, sekalian aja kayak di Jepang. Kereta keluar jalur nabrak apartemen.

Wednesday, May 18, 2005

Hari ini ada orang yang kena tembak. Seorang pria, yang katanya bos judi di kelapa gading, tewas dengan dada berdarah di Hotel Surya, Jakarta Pusat.

Peristiwa yang terjadi di pagi-pagi buta itu kontan membuat banyak orang panik. Termasuk, salah satu supir taksi yang Vera tumpangi, kebetulan mereka memang ada di lokasi kejadian.

Akibat ledakan senapan, puluhan orang langsung mengerubungi lokasi. Tapi, itu terjadi setelah mobil pelaku penembakan pergi. Sebab, tidak bakalan ada orang yang berani datang jika masih ada orang yang megang senjata.

Tidak seperti peristiwa lainnya, peristiwa penembakan kali ini tidak membikin macet ruas jalan yang ada. Wartawan dari televisi yang paling duluan datang, setelah itu baru polisi. Entah kenapa, selalu begitu, polisi selalu datang terlambat.

Aku sendiri mendengar kabar tersebut langsung dari Vera. Ia takut dengan situasi keramaian di lokasi kejadian. Begitu mendengar ada orang yang tertembak, aku langsung menelpon teman wartawanku yang memang bertugas di Jakarta Pusat. Dari dia dapat dipastikan memang ada peristiwa penembakan.

Jika diingat-ingat kembali, peristiwa penembakan ini sudah kesekian kalinya terjadi di Jakarta. Yang paling fenomenal adalah penembakan bos Asaba, Boedhyarto Angsono, yang dilakukan oleh menantunya sendiri, Gunawan.

Dengan menggunakan jasa marinir, Gunawan, tega menghabisi mertuanya sendiri. Alasannya, dendam pribadi. Saat itu pihak kepolisian berhasil menahan Gunawan, dan dua marinir lainnya. Tapi tebak, kedua mantan marinir itu justru berhasil melarikan diri dari penjara POM TNI AL di Jl. Bungur, Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Belum lama ini mereka berhasil kabur. Dan, tiba-tiba saja peristiwa penembakan kembali terjadi. Apakah ini ada hubungannya dengan kaburnya mereka? Entahlah aku tak bisa menduga.

Yang pasti, soal penembakan ala koboi atau misterius bukan hal yang baru lagi di Jakarta. Banyak orang yang berjatuhan atas senjata api tersebut. Belum lagi peluru-peluru nyasar yang nyangsang ke badan orang tanpa di sengaja.

Mungkin sudah saatnya kita untuk berpikir agar ada pembatasan kepemilikan senjata. Sebab, di Jakarta ini, banyak orang yang tidak mau berpikir dengan baik ketika memegang senjata.

Monday, May 16, 2005

Gugatan Kingdom Of Heaven

Image hosted by Photobucket.com

Minggu kemarin, ada kesempatan untuk menonton film Kingdom Of Heaven. Sengaja datang lebih awal, karena menduga film ini pasti akan memakan banyak antrian. Sayang, dugaan itu meleset, sebab ternyata tidak cukup banyak orang yang memilih untuk nonton film besutan Scott Ridley itu.

Film yang saya kira berdurasi 2,5 jam ini memang menarik. Tema yang diusung memang sangat patut disimak, pertempuran antara Muslim dan Nasrani memperebutkan satu kota bersejarah, Jerusalem.

Jikalau orang lain mengatakan bahwa film ini membawa pesan damai, saya justru punya pendapat lain. Saya menganggap bahwa film yang mengerahkan jutaan orang ini justru dengan sangat baik mengambarkan gugatan manusia atas nama agama.

Betapa manusia dengan mudahnya menyelewengkan agama atas nama kepentingan, kekayaan dan hasrat. Betapa manusia dengan mudahnya terlupa, bahwa agama justru hadir bagi manusia bukan untuk Tuhannya.

Ridley memperlihatkan gugatan ini dengan baik di awal film. Ketika seorang pendeta bejat , karena menyuruh memenggal kepala orang yang mati hanya karena ia bunuh diri, mati dibakar oleh Balian. Balian yang kesal dengan ulah pendeta tersebut tak bisa menahan emosi ketika pendeta tersebut berulang kali menuduh istrinya berada di neraka, seolah-olah ia adalah orang yang benar dan suci. Padahal ia toh mencuri harta satu-satunya istri Balian, yaitu kalung salib.

Gugatan kedua adalah ketika pasukan Uskup yang mengejar Balian justru memerangi pasukan pimpinan Godfrey of Ibelin, yang notabene adalah para crusader. "Dia tidak bisa sesuai dengan hukum tapi bukan bersalah karena perintah Tuanmu," kata seorang pasukan pimpinan Godfrey.

Gugatan ketiga ketika Tiberias mengatakan kepada Balian, bahwa ia malu karena perang ini. "Aku berpikir dulu kita berperang demi Tuhan dan agama. Ternyata ini semua terjadi hanya karena harta dan kekayaan. Aku mundur," tegas Iberias.

Gugatan keempat secara lugas diperlihatkan oleh Ridley ketika Balian, hendak membakar mayat-mayat yang ada di Jerusalem. Kala itu uskup agung Heraclius meminta Balian untuk menguburkan mereka dengan wajar. Tapi Balian menolak dan menyuruh mereka agar membakar semua mayat tersebut. "Tuhan akan mengerti apa yang kita lakukan. Jika tidak maka ia bukan Tuhan," katanya.

Gugatan kelima, ketika Balian mengatakan kepada seluruh penduduk kota Jerusalem, bahwa bagian mana kota ini yang paling suci. "Tidak ada paling suci di kota ini, apakah itu tembok, masjid atau sebuah bukit. Manusialah yang menginginkan mereka paling tinggi," tegas Balian.

Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana Balian mendengarkan sebuah petuah Baldwin IV tentang Tuhan. "Tuhanmu itu ada disini (otak) dan disini (hati),"

Baldwin IV memang benar, banyak manusia yang bertindak bukan dengan hati dan otaknya. Manusia justru terjebak bertindak dengan nafsunya. Parahnya, nafsu itu menjadi sangat buruk ketika ditempelkan dengan alasan untuk Tuhan.

Thursday, May 05, 2005

Tuhan, di tepian ini aku berdiri sendiri
Tak ada yang menemani selain rasa kalut yang memenuhi dada ini.

Tuhan, jika aku telah berpaling
Ku harapkan, engkau mau tuk memberikan tanda bahwa aku telah terlalu jauh melangkah.

Tuhan, ketika aku mengingat-Mu. Ijinkan aku mengekalkan semua karunia, dan kasih sayang-Mu di dalam hati yang lemah ini.

Tuhan, ketika aku meminta-Mu untuk kembali
Berikan aku jalan untuk menuju pintu keagungan-Mu.

Hari ini hujan turun sangat deras. Bunyi deras hujan mengingatkan aku pada sebuah kenangan. Dulu aku pernah berkata kepada seorang temanku, di kampus bahwa aku sangat senang dengan hujan.

Bunyi tumbukan air hujan dengan permukaan bumi, bau wangi tanah yang menyeruak hidung, dan gelegar petir yang mengumandang seluruh buana, sangat aku suka. Di tengah hujan aku merasakan kesejukan yang tak mungkin pernah kita temukan.

Bukan hanya itu saja, aku sangat senang bermain dibawah derasnya air hujan. Aku ingin seluruh badanku ini merasakan air yang turun secara cuma-cuma dari langit. Hujan itu adalah sebuah karunia Tuhan kepada manusia, dan aku ingin jadi orang yang pertama kali merasakannya.

Di tengah hujan aku selalu merasa bahagia. Hembusan angin menelusur seluruh badan serasa angin surga. Tak ada panas yang menghujam, yang ada justru kesejukan di dalam sebuah kegelapan.

Tuesday, May 03, 2005

Setiap orang pasti pernah marah-marah. Bohong lah, kalau ada orang yang tidak pernah marah. Bahkan, Nabi Muhammad SAW yang mulia itu, juga pernah marah. Walau sangat berbeda dengan kita sebagai manusia biasa, Rasulullah ternyata bisa juga kehilangan kesabaran. Hal ini bisa kita lihat di dalam Al-Qur’an surat Abasa.

Lalu, bagaimana jika ada orang yang pekerjaannya setiap hari marah-marah. Pasti kita akan bertanya di dalam hati, apakah orang ini bisa untuk sekali saja tidak marah. Atau apakah orang itu tidak tahu kalau kemarahan itu bisa menimbulkan luka bagi orang-orang lainnya.

Selain menimbulkan luka, marah juga bisa bikin orang kehabisan energi. Lihat saja kalau orang lagi marah-marah, pasti selalu berkeringat. Bukti lainnya, sehabis orang marah-marah pasti ia langsung mencari gelas untuk minum.

Hal ini digambarkan dengan baik oleh Walt Disney dalam setiap film kartunnya. Lihat saja, ketika Donald Duck marah-marah kepada ketiga keponakannya Huey, Louie dan Douey, mukanya langsung merah memanas. Ngebul lagi kayak air yang sudah matang dimasak.

Namun, luka yang paling sulit dihindarkan adalah luka hati karena marah-marah. Pernah ada suatu postingan di milis jurnalisme yang mengatakan agar kita menghindar dari kemarahan. Sebab, kemarahan justru akan mengecilkan hati kita sendiri dan mengasingkan hati kita dari hati orang lain.

Lihat saja kalau orang marah, mereka pasti akan berteriak keras-keras jika berbicara. Padahal orang yang sedang ia marahi tidak jauh berada di depannya.

Jadi, alangkah baiknya jika kita bisa menghindari dari rasa marah. Yah, minimal gak perlu marah-marah tiap hari kan?