Friday, September 29, 2006

Cukup Nominator

Semua orang memang selalu pengen jadi juara. Tapi, di tahun ini gue punya keinginan cuma satu aja yakni hanya jadi seorang peserta atau nominator saja.

Yup, tahun 2006 ini Festival Film Indonesia pasti digelar. Dan biasanya, di ajang ini pasti ada nominasi untuk resensi film terbaik.

Untuk menjadi juara di kriteria tersebut memang tidak mungkin. Toh, banyak wartawan atau reviewer film yang jauh lebih baik dari saya.

Makanya, target yang paling realistis bagi saya adalah menjadi nominator saja.

Beberapa kali keinginan ini saya sampaikan pada teman-teman saya sekantor. Mereka memang menyambut baik keinginan saya ini.

Kenapa sih, saya nekat untuk mau ikut di kriteria tersebut. Prestise? Enggaklah, karena saya enggak punya kualifikasi sebagai orang yang layak memiliki prestise.

Alasannya, klise, sebagai wartawan hiburan tentu saya enggak bakalan bisa dapat gelar sebagai penulis atau wartawan gosip terbaik bukan.

Tuesday, September 26, 2006

Dulunya Preman Mas?

Pertanyaan di atas selalu aja gue dengar setiap kali menggunting rambut. Sumber masalahnya memang ada di kepala saya, yaitu pitakan.

Pitak yang ada di kepala saya memang enggak tanggung-tanggung. Satu aja udah bikin malu, parahnya di kepala saya ada tiga pitak.

Jadi tidak heran kalau tukang cukur yang selalu saya datangi benar-benar takjub ketika mendapati pitak-pitak yang ada di kepala saya itu.

Masalahnya, setiap kali mereka kaget dengan pitak-pitak itu, pertanyaannya selalu saja sama. “Dulunya preman mas? Atau yang lebih sopan lagi, “Badung banget waktu sekolah ya mas” atau yang lebih akrab lagi, “STM dimana Mas?”

Saya yang mendengar pertanyaan itu memang cuma senyum-senyum aja. Saya enggak bisa berbohong kalau saya adalah jagoan yang pantas mendapatkan tiga pitak di kepala.

Tapi, saya juga terlalu malas untuk bicara jujur bahwa pitak itu saya dapat bukan karena jadi preman, jeger di sekolahan atau jagoan pengkolan. Pitak itu justru saya dapat karena bisulan, kejedot dinding sekolah dan ketiban piring.

Alhasil, daripada pusing-pusing mikiran jawaban itu. Saya cuma bisa berkata pendek. “Biasaaa,” kata saya.

Maksudnya, “biasa waktu anak-anak mas, kurang gizi makanya bisulan,” kata saya dalam hati.

Thursday, September 07, 2006

Lambat

Lama-lama hidup saya seperti bergerak pelan. Semua yang ada di dalam hidup saya seperti berjalan lambat.

Jalan yang saya hendak tempuh pun semakin buram. Tak ada lagi tujuan yang bisa saya jadikan pedoman.

Mencoba untuk meraba pun sulit untuk dilakukan. Tak ada dinding yang mampu menahan kebingungan saya.

Berusaha untuk diam dan melepaskan semuanya agar cepat berlalu tak pernah bisa saya lakukan. Waktu ini semakin mencengkram erat badan dan jiwa. Pelan-pelan mereka menusuk saya dengan kuat seperti pisau yang menancap keras agar lawannya cepat meregang.

Cepat-cepat terhempas. Ya, terhempas, mungkin ini yang harus saya lakukan dengan segera. Ketika semua diam, cepat-cepat lah terhempas. Agar semuanya menghilang dan kemudian menemukan jalan yang baru, lebih terang dan benderang.