Tuesday, January 31, 2006

Jangan Berkelahi Lagi Jet Li

Image hosting by Photobucket


Judul : Fearless
Pemain : Jet Li
Sutradara : Ronny Yu

Menonton Fearles bisa jadi adalah momen paling buruk sepanjang karir gue menonton film di bioskop. Kebijakan Djakarta Theater yang langsung memutar film lebih awal dari jadwal tiket membuat gue kehilangan beberapa adegan film biopic tentang perjalanan hidup pendiri klub Wushu Jinwu, Huo Yuanjia ini.

Keterlambatan itu memang bukan tanpa sebab. Gue sebenarnya merasa yakin bisa nyampe di bioskop 5 menit sebelum diputar. Nyatanya, begitu masuk ruangan bioskop sudah gelap. Dan ini lah yang paling memuakkan, gue terpaksa mondar-mandir mencari kursi.

Petugas bioskop mengatakan bahwa kursi gue ada di sebelah kanan paling pojok. Payahnya, dia tidak membimbing gue ke tempat duduk dan membiarkan gue berjalan sendiri. Otomatis, gue pun duduk di tempat yang salah. Yang bikin malu, kejadian salah tempat duduk itu berulang sampai dua kali. Gue jadi terlihat seperti gosokan yang mondar-mandir mencari tempat duduk.

Beruntung, setelah mondar-mandir ada seorang penonton yang berbaik hati menanyakan nomor tempat duduk gue. Ternyata, satu kursi kosong di samping penonton itu adalah kursi saya. Mimpi burukj saya semakin berlanjut karena saya duduk di kursi yang paling depat, tepat di tenga-tengahnya.Akibatnya, saya terpaksa agak melonjorkan badan agar penglihatan saya bisa terasa nyaman.

Secara keseluruhan film Fearless tidaklah berbeda dengan film Jet Li sebelumnya seperti film-film jadulnya yang berjudul Tai Chi Master dan Born To Defence hingga film Jet LI yang pali anyar seperti The One dan Danny The Dog.

Berbeda dengan film Biopic lainnya yang kini tengah marak contoh Walk The Line yang diperani Joaquin Phoenix, film Fearless sama sekali mati rasa ketika bercerita tentang kehidupan Huo Yuanjia sebagai jagoan Kung Fu nomor satu di Cina.

Bahkan dengan film yang temanya hampir sama seperti Fighter in The Wind yang bercerita tentang kehidupan Master Aoyama, dari segi penuturan cerita Fearless benar-benar jauh ketinggalan.

Film terkesan berjalan cepat tanpa mengembangkan atau focus pada kehidupan Huo Yuanjia. Bahkan, kapan Huo Yuanjia benar-benar bisa belajar Kung Fun pun tidak diperlihatkan dengan jelas. Tiba-tiba saja Huo Yuanjia yang berpenyakit asma ini bisa jadi seorang ahli Kung Fu yang ditakuti di Tianjian. Padahal, awalnya Huo Yuanjia tidak boleh belajar Kung Fu atas perintah ayahnya.

Awalnya saya menduga bahwa film ini memang sengaja melompat lebih cepat agar lebih focus pada perjuangan Huo Yuanjia menjadi orang nomor satu. Tapi setelah mengingat beberapa waktu lalu menulis berita Fearles, saya langsung tahu bahwa masa kecil Huo YUanjia adalah salah satu bagian yang paling banyak kena potong.

Wang Bin, salah seorang penulis skenarionya sendiri pernah mengatakan bahwa skrip cerita Fearless sangat lemah. Bahkan, Wang Bin mengatakan bahwa film Fearless tentang hanya cocok untuk dijadikan film di layar televisi.

Entah kenapa saya selalu berpikir bahwa kelemahan terbesar dari Jet Li adalah kemampuannya berakting. Dia memang boleh jago kung fu tapi dia sangat lemah dalam berakting. Sehingga film sebagus apapun, Jet Li tetaplah seorang Jet Li.

Beruntung, Jet Li berhasil menemukan sutradara sehandal Ronny Yu. Sutradara yang pernah menggarap film berjudul Warriors of Virtue dan 51st State ini benar-benar tahu caranya memuaskan penonton.

Ronny tahu bahwa semua orang hanya suka Jet Li ketika berkelahi ketimbang berakting. Tidak heran, kalau dari awal film dimulai tiga buah adegan fighting langsung dimulai. Dan jangan heran puluhan adegan fighting lainnya sudah menunggu sampai film ini selesai.

Selain itu, dengan dukungan sinematograper, Ronny benar-benar berhasil menunjukkan gambar-gambar yang indah serta pergerakan kamera yang benar-benar luar biasa baru. Pergerakan kamera yang dinamis membuat adegan fighting Jet Li benar-benar terasa hidup.

Bukan hanya handal mengambil adegan fighting. Bahkan, scene perubahan musim pun dengan sangat indah ditampilkan oleh Ronny Yu.

Otomatis dengan eksploitasi berlebihan di adega akting plot cerita sama sekali tidak berkembang. Padahal, Jet Li mengatakan bahwa film ini adalah film yang dibuat guna menggugah rasa nasionalisme China.

Sayang, cara yang digunakan Jet Li untuk menggugah perasaan agung itu justru terpendam akibat buruknya akting Jet Li. Beruntung, Jet Li berhasil mengatasi keburukan itu dengan cara-cara yang benar sangat haram dilakukan oleh film-film fighting lainnya.

Terakhir, Jet Li mengatakan bahwa pertarungan bukanlah untuk menjadi seorang jagoan. Pertarungan adalah untuk mencari teman dan persaudaraan. Jangan pernah bertarung untuk dendam, karena dendam hanyalah melahirkan dendam yang paling dahsyat.

Saya rasa pesan itu sangat tepat untuk ditujukan kepada Jet Li. “Jet-Jet jangan bertarung lagi yah. Sama aja ngelihatnya.” Beruntung Jet Li pernah mengatakan bahwa film ini adalah film Kung Fu terakhir yang ia perani.

Saturday, January 28, 2006

Meraba Sisi Gelap Manusia

Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket

Judul Film : Old Boy dan Sympathy For Mr. Vengeance
Sutradara : Park Chan Wook

Setelah mondar-mandir dan menggrebek toko-toko DVD, akhirnya gue berhasil juga menonton film Old Boy. Gue berhasil menonton film ini bukan karena berhasil membeli DVD tersebut tapi berkat bantuan Danang yang senang hati meminjamkan DVDnya yang juga ia beli jauh-jauh di Makassar.

Saking penasarannya, usai liputan dan begitu sampai di rumah gue langsung pasang film ketiga Park Chan Wook, setelah Join Security Area dan Symphaty for Mr. Vengeance. Meski jam di rumah sudah menunjukkan waktu jam 11 malam, gue tetap nekat memasang tuh film. Padahal, gue sedikit was-was juga soalnya waktu udah malem banget dan gue juga butuh istirahat untuk bekerja esok harinya.

Begitu film dimulai, ada sedikit feature tentang Hong Kong film festival. Di situ dijelaskan tentang komentar beberapa pengunjung festival film tersebut. Setelah itu film Old Boy pun dimulai.

Berbeda dengan film Sympathy for Mr. Vengeance di film ini Park Chan Wook justru jauh lebih maju secara teknis pembuatan film. Di SMV, Park Chan Wook justru mengambilkan gambar-gambar yang cerah dan gelap secara bergantian dengan sangat dinamis.

Sedangkan di Old Boy, Chan Wook benar-benar fokus pada warna-warna gelap. Bahkan, opening credit tittle pun diolah jauh lebih menarik dibandingkan dengan SMV. Alur film pun bergerak dengan cepat sehingga eksploitasi

Meski mengalami banyak kemajuan, banyak hal yang tidak berubah dari Chan Wook. Yang tidak berubah adalah ide cerita yang fokus pada usaha balas dendam serta adegan-adegan kekerasan yang memang selalu ada dalam setiap film sutradara yang pertama kali muncul dengan film The Moon is The Sun’s Dream ini.

Sejujurnya, setelah menonton kedua film itu, saya jauh lebih terkesan menonton film SMV dibandingkan dengan Old Boy. Bukan karena Old Boy tidak menarik, namun karena SMV berhasil membuat emosi saya jadi mengharu biru.

Di SMV, perasaan haru itu keluar karena tokoh utama, Ryu, benar-benar mengalami nasib sial hanya karena punya niat baik membantu kakaknya yang tengah sakit parah. Kesialan yang dialami Ryu justru terjadi bukan karena ulahnya sendiri. Perbedaan status ekonomi antara orang kaya dan miskin yang sangat tajamlah yang membuat Ryu terpaksa melakukan penculikan dan berujung pada kematian dirinya.

Dalam film ini Chan Wook berhasil mengingatkan kita bahwa manusia adalah harta bagi setiap manusia-manusia lainnya. Ketika kita kehilangan harta itu, maka sisi gelap dari dalam diri kita pun akan keluar sendirinya untuk mencari pertanggungjawaban.

Sayang, film ini berjalan dengan sangat-sangat lambat. Chan Wook sendiri sepertinya ingin memggambarkan keheningan dunia Ryu yang tanpa suara ke dalam film berdurasi 120 menit itu. Beberapa kali adegan film SMV berjalan hening tanpa suara.

Ketika di SMV Chan Wook berbicara tentang manusia sisi gelap manusia jika kehilangan harta, maka di film Old Boy, Chan Wook berbicara bagaimana manusia sangat takut menghadapi dosa-dosa yang ia lakukan.

Chan Wook tahu bahwa manusia akan melakukan apa saja untuk menutup-nutupi semua dosa atau aibnya sendiri. Termasuk memaksa seseorang untuk melakukan dosa yang sama.

Film Old Boy memang jauh lebih mengejutkan dibanding dengan SMV. Dengan twist yang edan-edanan, Chan Wook benar-benar memberi kejutan di penghujung akhir film. Sisanya, sepanjang awal dan pertengahan film ini berlangsung saya melihat Chan Wook tak ubahnya seperti Takashi Miike.

Dari kedua film itu saya menduga bahwa Chan Wook berusaha untuk meraba sisi gelap manusia yang tersimpan rapat-rapat dalam diri manusia. Chan Wook berusaha mengatakan bahwa setiap manusia adalah mahluk yang lemah. Mahluk yang seharunya bijak menghadapi kekurangan dan dosa-dosa yang pernah kita lakukan.

Wednesday, January 25, 2006

Fanatisme Film

Image hosting by Photobucket

Banyak orang mempunyai cara yang berbeda untuk menentukan bagus atau tidaknya sebuah film. Karena kita manusia, maka sangat wajar jika kita mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menonton film.

Saya sendiri sebenarnya adalah pecinta film science fiction dan thriller. Tidak terkecuali film-film seks komedi seperti American Pie. Soalnya, secara pribadi menonton film-film tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan saya akan tawa dan keingin tahuan yang tinggi.

But hey, saya tidak punya keinginan untuk mengkotak-kotakkan film yang akan saya tonton. Justru, saya benar-benar menikmati film semi porno THRUST sama seperti saya menikmati film Old Boy.

Adik saya justru punya selera yang lebih lain unik lagi. Pria berbadan besar ini sangat menggemari film-film yang jenisnya gore dan ultra violent.

Tidak heran kalau adik saya justru merasa senang ketika menonton I Spit On Your Grave’s Merchi Zair, Audition dan Itchi The Killer’s Takashi Miike, Suicide Club milik Shion Shono hingga Violent Cop dan Fireworks kepunyaan Takeshi Kitano. Tapi dia benar-benar merasa tersentuh ketika menonton Turtles Can Fly.

Selera kita berdua memang sangat berbeda. Saking berbedanya kita mempunyai kebiasaan untuk tidak mau nonton bersama. Saya lebih merasa nyaman jika dia tidak ada di samping saya. Begitu juga sebaliknya, dia merasa nyaman ketika saya tidak berada di sampingnya karena sering merasa ngilu dan berteriak ketakutan selama menonton film.

Karena saya yang lebih sering membeli DVD dia sering karena terlalu banyak membeli DVD yang ceritanya tidak ia suka. Ia justru meminta saya untuk membeli DVD yang isinya jauh lebih menghibur ketimbang menonton film yang membuat kita harus mengernyitkan kening mencari makna cerita.

Film sendiri hakekatnya adalah sebuah hiburan. Namun, beranjak dari situ film bukan hanya sekedar untuk menyajikan hiburan yang semata-mata artifisial. Film yang baik adalah film yang benar-benar mengajak penontonnya menuju sebuah kesadaran baru (new consiusness).

Pandangan ini datang karena anggapan bahwa film ada cermin dan jendela keadaan dunia. Film adalah representasi budaya dan peristiwa yang ada di sekitar kita.

Saya sendiri merasa yakin bahwa pandangan seperti itulah yang membuat orang lebih banyak menentukan baik atau buruknya sebuah film. Karena tidak sesuai realitaslah maka banyak orang di sinemaindonesia mengatakan bahwa film 9 Naga garapan Rudy Soedjarwo sangat buruk.

Contohnya kutipan komentar seorang yang mengatakan; “anak menteng coba-coba bikin film tentang anak priuk”. Keluhan itu terjadi karena ketiga tokoh dalam film 9 Naga justru lebih asyik berfilsafat ketimbang memikirkan target korban kejahatan mereka nanti.

Namun, tidak selamanya pandangan seperti tersebut bisa dijadikan pandangan yang paling utama untuk menentukan baik atau tidaknya sebuah film.

Pandangan yang paling sering saya lihat terjadi pada banyak review film adalah dari sudut pandang kreativitas ide. Dalam pandangan ini sutradara film diharuskan untuk menghadirkan film yang benar-benar baru.

Meski kita ketahui bahwa banyak sutradara yang tidak bisa lepas dari pengaruh film-film sebelumnya. Misal film Bad Education garapan sutradara Paolo Almodovar yang memang tidak bisa lepas dari pengaruh Alfred Hitchkok.

Walau gayanya sama, tapi film yang diperani Gael Garcia Bernal ini justru banyak mendapat pujian.

Nah, dari banyak pandangan inilah seharusnya kita tahu bahwa perbedaan atau komentar-komentar tentang film tentu tidak akan seragam. Semua orang mempunyai kebebasan untuk berkomentar tentang film-film yang mereka tonton.

Perdebatan akan film pun sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan baru-baru ini Roger Ebert kritikus film dari Chichago Sun Times beradu pendapat soal film Crash dengan Scott Faundas. Faundas mengatakan bahwa Crash adalah film yang sangat berbahaya dan terburuk di tahun 2005. Namun, Ebert punya pandangan yang berbeda dan mengatakan bahwa film garapan sutradara Paul Haggis ini adalah film yang benar-benar baik sepanjang tahun 2005.

Meski berbeda pendapat, saling adu silang tidak pernah menjurus pada direct insult. Hal yang berbeda justru terjadi di Indonesia, perbedaan pendapat dan kritikan justru memacu pada penghinaan.

Selain tingkat kritis yang sangt tinggi saya sendiri beranggapan bahwa hal ini terjadi karena terjadinya fanatisme penonton terhadap karya film. Fanatisme memang sering terjadi pada agama, namun di Indonesia fanatisme justru bisa masuk pada ruang-ruang film.

Sunday, January 22, 2006

The Best Thing Of Our Life

Image hosting by Photobucket

Kapan kamu pernah mengalami saat-saat yang istimewa dalam hidup?

Di saat saya masih sekolah, saya benar-benar merasakan hidup ini indah dengan menghabiskan waktu bersama teman-teman. Menonton kartun di televisi, dan bergaya ala ninja sarung usai menonton video ninja di rumah tetangga.

Ketika saya masuk remaja, saya benar-benar merasa bahagia ketika mengenal cinta. Saya begitu berdebar-debar ketika menuliskan surat cinta pertama saya kepada seorang gadis teman sekelas.

Meski tak pernah saya kirimkan saya benar-benar merasa bahagia karena bisa mengeluarkan perasaan saya kepadanya. Sayang, surat itu tak pernah sampai kepadanya. Entah, saat itu sisi romantis saya mengatakan bahwa surat ini lebih baik tak pernah sampai kepadanya. Lagipula waktu itu saya dilanda ketakutan yang amat sangat dia akan berubah ketika surat ini sampai kepadanya.

Di saat saya beranjak untuk dewasa, saya benar-benar merasa di surga ketika sebuah kecupan mendarat manis di bibir saya. Saya selalu ingat kecupan itu, hangat dan penuh kasih sayang. Kehangatan itu mampu berbicara bahkan dalam tatapan mata kita berdua saya dan dia yakin bahwa ini adalah cinta.

Ketika saya menapak pintu kedewasaan, masa-masa itu justru menjadi sebuah misteri dalam kehidupan. Semua menjadi gelap di tengah tuntutan, kebutuhan dan keinginan-keinginan dan semakin kencangnya perputaran hidup.

Masa dimana saya mengenal waktu 24 jam pun telah menghilang. Dulu ketika saya biasa membuang waktu karena banyak tersisa. Sekarang yang tersedia hanyalah waktu pagi, kerja dan malam. Begitu cepatnya hingga saya tak pernah bisa untuk mengingat dimanakah saya pernah merasa bahagia di masa ini.

Mungkin saya butuh berhenti sejenak, dan melihat ke belakang untuk mencari dan berusaha mengerti apa yang pernah jadi bagian terindah dalam hidup saya saat ini.

Atau mungkin saya perlu menyadari bahwa hidup telah berubah di saat kita sudah dewasa dan bekerja. Dan di saat inilah kita diminta bukan untuk menerima saat-saat terindah dalam hidup kita bukan lagi untuk menerima kebahagiaan melainkan memberikan hal-hal terindah bagi orang lain di sekitar kita.

Sekarang saya berusaha mengerti bahwa masa terindah saat ini adalah dengan cara memberikan yang terbaik bagi orang di sekitar kita dan orang-orang yang kita cintai dalam hidup kita.

Saturday, January 21, 2006

Lets Playboy

Image hosting by Photobucket


Akhir-akhir ini masyarakat tengah dikejutkan dengan rencana penerbitan majalah Playboy
Indonesia. Majalah bergambar kepala kelinci ini rencananya akan bisa dibaca masyarakat secara berlangganan khusus bulan Maret 2006 ini.

Saya sendiri sudah mendengar kabar terbitnya majalah tersebut di bulan Desember 2005. waktu itu kebetulan ada undangan yang masuk ke kantor untuk menghadiri acara media gathering majalah Playboy.

Ketika acara itu berlangsung sama sekali tidak ada gambaran di mata pengurus majalah Playboy akan mendapatkan penolakan yang begitu besar seperti sekarang. Rencana penerbitan majalah tersebut bahkan dianggap sebagai langkah besar di sepanjang sejarah permajalahan Indonesia.

Nyatanya, minggu-minggu terakhir ini tiba-tiba saja isu Playboy Indonesia menjadi isu besar yang menyita perhatian kita. Pusat konflik terjadi pada gambaran atau dugaan mengenai isi majalah tersebut.

Alim ulama dan beberapa pemerhati social sendiri menyayangkan penerbitan majalah tersebut. Mereka menganggap bahwa Playboy apapun bentuknya merupakan gangguan moral yang sangat membahayakan.

Meski demikian tidak sedikit masyarakat yang memang mendukung keberadaan majalah tersebut. Mereka beranggapan keberadaan Playboy Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata. Ada juga yang mengatakan sebelum keluar seharusnya komentar sinis lebih baik ditahan dulu.

Masyarakat menjadi terbelah dua, ada yang pro dan ada yang kontra. Sebenarnya, pemisahan masyarakat akan masalah Playboy ini sudah biasa terjadi. Fenomena ini sering terjadi bila masyarakat menyikapi masalah yang berhubungan dengan pornografi atau kesusilaan.

Masyarakat yang pro cenderung dilabeli orang yang tidak punya adat timur atau paling tidak sebagai orang yang kebarat-baratan. Paling parah jika dilabeli kafir oleh ormas-ormas tertentu.

Sedangkan masyarakat yang kontra biasa dilabeli dengan sebutan munafik. Yah, istilah yang masih bias ini memang kerap diterima oleh mereka-mereka yang kenyataannya menolak tapi ternyata diam-diam menikmati juga. Sedangkan yang benar-benar tulus memperjuangkan sikap mereka secara utuh justru lebih banyak jadi kambing hitam.

Saya sendiri pernah berdialog dengan teman saya soal masalah Playboy Indonesia. Jujur saya pribadi tidak menganggap penting ada atau tidaknya Playboy Indonesia. Selain saya memang tidak tertarik dengan majalah-majalah seperti itu, saya juga tidak punya biaya untuk membeli majalah Playboy dan sejenisnya.

Yang pasti menurut saya kehadiran majalah Playboy Indonesia adalah suatu fenomena yang pasti terjadi. Di tengah serangan globalisasi media saat ini mau tidak mau kita akan menerima kehadiran media-media lain seperti Playboy.

Yang saya sayangkan justru adanya fragmentasi yang sangat kuat pada masyarakat kita. Timbul kebiasaan baru dalam diri masyarakat yaitu saling menyalahkan dan saling menyudutkan. Kita menjadi terbiasa untuk menyalahkan bahkan sebelum kita tahu apa dan siapa sebenarnya yang kita permasalahkan tersebut.

Saya juga tidak mau memperdebatkan siapa dan mana yang benar. Semua bisa jadi benar jika kita memandangnya dari segala sisi.

Bagi saya sendiri pornografi adalah sesuatu bentuk asusila yang secara langsung masuk ke dalam ranah sosial dan jelas-jelas sangat mengganggu. Dan itu dalam bentuk apapun.

Saya sendiri memandang, bahwa kalaupun majalah Playboy itu benar ada entah apapun bentuknya saya bukanlah seorang hakim, Departemen KOmunikasi dan Informasi yang bisa dengan seenaknya memberangus kebebasan orang untuk berekspresi.

Saya lebih memastikan saya dan keluarga saya tidak membeli majalah tersebut. Lagipula, daripada kita ribut-ribut mending kita pastikan bahwa kita tak mau membeli majalah tersebut. Saya beranggapan seperti itu karena saya termasuk orang yang percaya bahwa hukum media, tak ada pembeli berarti tak ada umur yang abadi.

Wednesday, January 18, 2006

Image hosted by Photobucket.com

Judul : Realita, Cinta dan Rock N Roll
Pemain : Herjunot Ali, Vino G Bastian, Nadine Chandrawinata, Barry Prima
Sutradara : Upi Avianto
Produksi : Virgo Putra Film

Hidup adalah sebuah pilihan dan memilih adalah sebuah keniscayaan. Tanpa pilihan, kehidupan takkan berjalan. Dengan adanya pilihan kita tahu mana kebaikan dan mana kesalahan.

Atas dasar pilihan itulah, dua orang anak muda Ipang (Vino G Bastian) dan Nugi (Herjunot Ali) memilih untuk melupakan cita-citanya menjadi anak-anak baik di sekolahan. Mereka lebih memilih menjadi terkenal melalui grup musik mereka.

Sebelum keluar film RCRNR mendapatkan ekspektasi yang tinggi dari penikmat dan pemerhati film. Karena penasaran, saya berusaha mati-matian menyempatkan waktu menonton film ketiga Upi Avianto setelah 30 Hari Mencari Cinta dan Lovely Luna.

Ketika menonton film ini, jujur memori di kepala saya bergerak mundur mengenang masa-masa di SMA. Seperti Ipang dan Nugi, saya juga adalah seorang anak muda yang ingin sekali terkenal.Walau tidak terkenal di seluruh nusantara, minimal saya bisa terkenal di tingkat sekolahan.

Saat itu, pilihan menjadi terkenal di sekolah saya hanya bisa dipenuhi melalui tiga cara.Pertama, menjadi atlet bola basket. Kedua, ikut kontes cover boy dan ketiga, main musik dan coba-coba bikin band.

Sayang, dari ketiga cara tersebut saya tidak bisa menjalani semua cara tersebut. Saya terlalu hitam untuk menjadi seorang cover boy (jujur waktu dulu saya ngiri dengan cowok-cowok berkulit putih). Saya tidak bisa bermain basket, karena waktu saya terhabiskan untuk menonton sepakbola LIga Inggris dan sibuk kutak-kutak strategi untuk pasang taruhan.

Terakhir, saya juga tidak bisa bermain musik. Jari-jari saya terlalu kaku untuk memetik gitar, bahkan menyanyikan lagu Indonesia Raya di upacara senin pagi suara saya pun fals.

Mau tidak mau saya hanya bisa menerima keadaan dan lebih mendengarkan perkataan orang tua saya agar tetap serius belajar. Saat itu saya lebih berusaha memilih untuk tetap mengikuti keinginan orang tua saya. Saya sadar bahwa di masa-masa SMA ini saya tidak perlu dipusingkan dengan keinginan-keinginan yang complicated seperti halnya Ipang dan Nugi.

Film Realita Cinta dan Rock N Roll memang adalah film yang berbicara jujur mengenai masalah yang terjadi dalam dunia anak muda. Upi secara gamblang mengatakan bahwa masa-masa remaja adalah masa dimana anak-anak muda selalu mabuk akan khayalan fame, sex (not even love) dan rock n roll. Mereka sibuk mencari eksistensi diri dan berusaha sebisa mungkin menggapai cita-cita tersebut.

Sayang, film ini lebih mengedepankan konflik daripada pertimbangan mencari eksistensi tersebut. Konflik-konflik pun terjadi secara beruntun. Akibatnya, pencarian eksistensi diri pun terlupakan.

Banyaknya konflik yang terjadi membuat film ini yang awalnya terasa ringan menjadi terasa berat. Konfliknya yang seharusnya bisa membuka cakrawala dan pemahaman tertentu bagi Ipang dan Nugi malah terasa seperti adegan pemancing tawa.

Jujur, saya pribadi merasa lelah menonton film ini. Film ini menuntut stamina yang sangat tinggi dari orang-orang yang menontonnya. Ibaratnya lari, film ini adalah film marathon yang sangat melelahkan. Bahkan, saya perlu merebahkan badan di sofa tunggu Planet Hollywood setelah menonton film ini.

Tuesday, January 10, 2006

9 Naga Mengejar Matahari

Image hosted by Photobucket.com


9 Naga

Sutradara : Rudy Soejarwo

Skenario : Monty Tiwa

Produser : Leo Sutanto

Pemeran : Lukman Sardi, Fauzi Baadila, Marcell Anthony, Donny


Bermain air basah, bermain api terbakar. Siapa yang hidup dengan pedang maka akan mati dengan pedang. Setiap permasalahan dalam hidup selalu ada titik baliknya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya dengan baik.

Mungkin ungkapan di atas adalah premis yang ingin dihadirkan Rudy Soejarwo ketika membesut film berjudul 9 Naga. Film yang akhir tahun lalu sempat menghebohkan karena tragedi puser dan tagline itu akhirnya berhasil saya tonton juga.

Berkat privilege wartawan, saya dan teman-teman akhirnya bisa menonton film yang diperani Fauzi Baadila dan Lukman Sardi itu di Megaria 21, Cikini Jakarta Pusat. Meski agak terganggu dengan fasilitas theater yang sangat jauh memadai dibandingkan theater-theater lainnya yang ada di Jakarta, saya cukup bersyukur bisa menonton film yang berdurasi kurang lebih 100 menit itu tanpa mengeluarkan biaya satu sen pun.

Jujur, saya tidak pernah sebahagia ini ketika menonton film Indonesia. Ketika film 9 Naga usai saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa haru saya akan film ini.

Perasaan yang dulu-dulu hilang tiba-tiba muncul kembali. Perasaan itu muncul karena saya memang benar-benar terbawa dengan suasana cerita yang ditulis oleh Monty Tiwa.

Penulis skrip yang biasanya bertandem dengan Indra Yudhistira Ramadhan ini benar-benar jernih mengutarakan segala permasalahan yang terjadi dalam hidup tiga orang pembunuh bayaran.

Tersebutlah, Marwan, Donny dan Leni. Tiga orang teman yang tinggal di daerah kumuh Jakarta. Pertemanan mereka bermula dari peristiwa berdarah yang mengakibatkan seorang preman mati terbunuh semasa mereka remaja.

Justru dari darah itulah, Marwan mulai mengerti betapa mudahnya mencari uang dengan jalan kekerasan yang memang kerap mengeluarkan darah. Untuk mewujudkan keinginan itu Marwan mengajak Donny dan Leni untuk tetap bersama dan bekerja sebagai pembunuh bayaran.

Tidak pernah akan ada yang abadi di dunia ini. Begitu juga dengan pekerjaan Marwan, Lenny dan Donny sebagai pembunuh bayaran. Donny yang memang lebih terdidik dibandingkan kedua orang tersebut ingin sekali meninggalkan dunia hitam tersebut agar bisa membantu adiknya kuliah.

Sayang ketika hendak memutuskan berhenti, Donny justru menghadapi permasalahan baru. Biaya kuliah ternyata tidak semurah yang ia duga. Agar bisa mengumpulkan uang secepatnya, Donny pun kembali mencoba pekerjaan sebagai pembunuh bayaran. Sejak Donny memutuskan untuk bergabung kembali konflik demi konflik pun langsung dimulai.

Dari segi penokohan, Rudy memang berhasil memberikan kesan yang kuat pada ketiga tokoh tersebut.Apalagi Rudy sangat sering mengclose up semua karakter yang ada di film ini.

Jadi sangat wajar jika kita merasa Marwan yang diperankan oleh Lukman Sardi benar-benar terasa bukan orang asing dalam kehidupan kita. Meski ia seorang pembunuh bayaran ternyata ia juga manusia biasa. Dia bisa khilaf, lupa akan anak istri bahkan dia bisa menjadi seorang pengecut ketika berusaha kabur dari kenyataan akan kesalahannya yang tak pernah termaafkan.

Siapa sangka, Leny ternyata seorang pria yang memang benar-benar mempunyai masalah dengan keberanian. Pria asal Solo ini justru adalah pria yang sangat lugu dan mempunyai kesulitan-kesulitan mengungkapkan perasaan cintanya kepada seorang wanita penjaga lapo tuak.

Hal yang patut diacungi jempol dalam film ini adalah kemampuan Rudy untuk mengajak penonton ikut terlibat. Dalam film ini Rudy tidak mengajak penonton menafsirkan kesusahan mereka melalui kata-kata. Penonton justru diajak untuk menafsirkan kesusahan yang mereka alami melalui gambar dan bahasa tubuh ketiga aktor tersebut.

Meski telah berhasil membuat film yang menarik, film ini justru mengingatkan kembali saya akan sebuah film Rudy sebelumnya yakni Mengejar Matahari. Sedikit terlintas dalam benak saya kepada Rudy untuk mempertanyakan perbedaan antara Mengejar Matahari dan 9 Naga. Apakah ini hanya versi lain dari Mengejar Matahari.

Dalam film 9 Naga, semua unsurnya ada dalam film Mengejar Matahari. Yang pertama adalah elemen pertemanan, kedua adanya adegan seorang pria yang mati di menit-menit awal film, ketiga ada juga si Fauzi Baadila.

Selain itu, Rudy ternyata cenderung menyederhanakan masalah dalam film ini. Rudy seakan-akan ingin menumpuk satu demi satu masalah dalam kehidupan tokoh utama mereka. Bisa jadi, Rudy ingin menempatkan empati penonton jadi sangat tinggi bagi sang tokoh utama.

Lihat saja, kalau Marwan sudah pernah membunuh 23 orang kenapa pula dia harus takut dengan sosok bernama Dippo. Atau yang bikin saya bingung berpikir, sebegitu beraninya pembunuh bayaran ini menampakkan muka di depan umum, dan tetap enak-enakan tinggal di rumahnya tanpa kejaran polisi ata pun orang lain.

Atas dasar keinginan memunculkan empati yang sangat tinggi itu jugalah yang membuat saya terkesan melihat Rudy melambatkan alur cerita ketika film menjelang akhir. Saking lambatnya, hingga hampir saja membuat saya meninggalkan kursi. Berutung penampilan Lukman Sardi memang benar-benar layak untuk dinikmati.

Di atas semua itu seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya sangat bersyukur 9 Naga bisa keluar sebagai awal film Indonesia di tahun 2006 ini. Mudah-mudahan film ini bisa jadi tanda yang sangat baik bagi perfilman Indonesia.

Thursday, January 05, 2006

Indahnya Kebersamaan

Image hosted by Photobucket.com

Kebersamaan memang bukanlah suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Kebersamaan memang mudah untuk diucapkan namun biasanya sangat sulit untuk dilakukan.

Seperti kata dasarnya, kebersamaan datang dari beberapa faktor yang sama. Misalnya, sama-sama menderita, sama-sama bergaji rendah, dan sama-sama belum diakui sebagai karyawan.

Sempatkan diri Anda untuk berjalan-jalan di kota Jakarta. Pasti, Anda bisa menemukan spanduk-spanduk pesan sponsor yang tertuliskan Indahnya Kebersamaan.

Setahu saya spanduk itu sengaja dibuat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seperti terorisme, tawuran antar warga hingga tindakan criminal yang sering terjadi di masyarakat beberapa waktu lalu.

Kebersamaan memang indah. Dengan kebersamaan kita jadi bisa mengerti perasaan orang lain. Dengan adanya kebersamaan kita bisa menghormati, menghargai pendapat dan perbedaan yang terjadi di antara kita.

Yang paling utama, dari sebuah kebersamaan tercipta sebuah kekuatan. Yakni, suatu kesatuan dan persatuan (kayak TVRI aja).

Di tempat kerja saya sendiri, kebersamaan itu sudah dimulai dari sekarang. Terhitung ketika pihak kantor ternyata tidak menaikkan gaji kita dan terhitung ketika status karyawan malah menjadi sebuah bayangan bukannya sebuah dasar legalitas untuk terus berkerja.

Kebersamaan yang terjadi secara instant ini bermula ketika beberapa orang wartawan di kantor mengadakan rencana untuk berkaraoke bersama. Rencana yang semulanya saya duga akan gagal terlaksana itu akhirnya bisa terjadi juga.

Saya akui saya sendiri awalnya agak angin-anginan untuk ikut berkaraoke bersama. Namun, karena ada teman baik yang terus-terusan mendesak akhirnya saya ikut juga.

Dan akhirnya saya benar-benar tidak menyesal mengorbankan jatah tidur malam saya untuk bernyanyi bersama mereka. Banyak pengalaman menarik yang saya dapat selama 2 jam bernyanyi. (ternyata saya benar-benar bisa menyanyi lho)

Gara-gara karaoke lah kita akhirnya menemukan sebuah lagu kebangsaan kita. Ini penting, karena kebersamaan butuh sebuah alat yang bisa diandalkan untuk meningkatkan empati dan kepedulian.

Uniknya lagu yang dipilih adalah lagu Rocker Juga Manusia yang dibawakan Seurieus. Soalnya, lagu ini adalah lagu yang benar-benar mewakilkan perasaan kita.

Ternyata, karaoke ini bukanlah karaoke yang pertama dan terakhir. Teman-teman saya yang rata-rata banci nyanyi ini justru langsung mendesak untuk segera membuat karaoke bersama lagi.

Sekali lagi saya memang jadi orang yang memang masih pesimis karaoke ini bisa kembali terlaksana. Soalnya, banyak member karaoke pertama yang menyatakan tidak bisa hadir.

Hebatnya, kekhawatiran saya justru malah hapus ketika mengetahui justru banyak orang yang mau ikut dalam kesempatan tersebut.

Seperti halnya kesempatan yang pertama, karaoke kedua ini juga sangat berkesan bagi saya dan teman-teman. Di kesempatan kedua ini kita juga memperbaharui lagu kebangsaan kita Reporter Juga Manusia (aka Rocker Juga Manusia).

Lagu yang hanya diubah di bagian reffnya itu justru semakin mewakilkan perasaan kita. Berikut gubahannya;

Kadang ku rasa lelah

Mengetik Seharian

Dikejar-kejar deadline

Reporte juga manusia punya rasa punya hati

Jangan samakan dengan kerja rodi.

Sepulang dari sana, sebelum mata terlelap menuju peraduan saya berdoa. Dalam hati kecil saya (beneran nih, gue kagak ngegombal), semoga kebersamaan ini selalu ada dan takkan pernah berakhir. Soalnya, cuma itu yang kita punya.

Wednesday, January 04, 2006

Bahasa Cinta Yang Sederhana

Image hosted by Photobucket.com

Me and You and Everyone We Knows

Directed : Miranda July

Beberapa waktu lalu saya pergi ke Pasar Festival untuk membeli beberapa DVD. Awal mulanya ingin mencari DVD Spring, Summer, Winter, Fall and Spring Again garapan sutradara Korea Selatan Kim Ki-duk.

Sayang, setelah lama mengaduk-aduk puluhan DVD, film yang dicari tidak kunjung ditemukan juga. Uniknya, saya justru mendapatkan berkah ketika tertarik dengan dua film berjudul The Beat That My Heart Skipped garapan sutradara Jacques Audiard dan Me and You and Everyone We Know garapan sutradara Miranda July.

Awalnya saya tidak terlalu peduli dengan kedua film tersebut. Tapi rasa penasaran saya semakin memuncak ketika saya melihat daftar film terbaik sebuah situs film yang saya lupa namanya, kedua judul film tersebut ikut nangkring dalam daftar tersebut.

Alhasil begitu sampai di rumah saya langsung memutar DVD tersebut di rumah. Untuk film The Beat That My Heart Skipped saya memang tidak terlalu begitu menikmati.

Saya hanya terkesan dengan akting Romain Duris yang bisa menampilkan seorang pria yang tengah gundah gulana menghadapi pilihan hidup. Menjadi seorang begundal untuk meneruskan tradisi sang ayah atau menjadi seorang maestro piano meneruskan bakat yang diturunkan ibunya.

Namun khusus untuk Me and You and Everyone We Know saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan saya usai menonton film ini. Di film ini saya benar-benar terkesan dengan sosok Miranda July yang menjalankan tiga peran sekaligus, penulis scenario, sutradara dan pemeran film tersebut.

Me and You and Everyone We Know adalah sebuah film yang bertutur tentang cinta dengan cara yang sangat-sangat sederhana. Baik cinta kepada sesama manusia hingga cinta kepada mahluk lainnya. Semua dituturkan dengan bahasa yang indah.

Film ini mengambil plot cerita yang benar-benar sering terjadi dalam kehidupan normal kita. Kisah seorang seniman wanita eksentrik dan penyendiri jatuh cinta kepada seorang pria putus asa mencari jati diri karena gagal membangun rumah tangga.

Bukan hanya itu saja film ini juga menggambarkan dengan sangat jelas betapa setiap manusia butuh untuk diperdulikan, dihargai serta disayangi. Perasaan itu diwakili oleh semua tokoh yang hadir dalam film ini.

Contohnya, Hal ini tergambar dengan jelas ketika sosok perempuan membutuhkan sebuah chat room agar bisa mencari kebutuhannya akan seks, kasih sayang dan cinta.

Perempuan itu tidak menyangka kalau teman yang membangkitkan rasa cinta dan kasih sayang dari chat room itu adalah seorang anak kecil. Bahkan ketika mereka bertemu rasa cinta itu tak perlu dihilangkan meskipun terhalang usia. Kecupan manis Christine pada anak kecil tersebut membuat saya sangat tersenyum baik di mulut maupun di hati.Cinta terjadi tanpa batas.

Selain sangat sederhana film ini juga benar-benar memberikan makna filosofi yang sangat dalam. Hebatnya, July tidak menghadirkan makna filosofi tersebut dengan cara yang sangat berat membuat kita harus mengernyitkan kening ketika menonton film tersebut. LIhat saja;

Bayangkan sebuah jalan persimpangan dimana kita masih bisa bergandengan tangan. Kita masing-masing akan berbelok dengan arah yang kita inginkan. Namun, kita masih bisa memutar balik ke arah sebaliknya hingga tetap bersama.

Sebuah makna yang sangat dalam. Sebuah pemaknaan akan hidup yang benar-benar datang dari kejujuran hati manusia yang lemah menghadapi ketika menghadapi hidup.

Karena kesederhanaan-kesederhanaan itulah tidak heran jika film ini dianugerahi Special Jury Prize di Sundance, Best Film di Festival Film Cannes dan The Critics' Week grand prize.

Tuesday, January 03, 2006

Memoirs of a Geisha

Image hosted by Photobucket.com


Directed : Rob Marshall

Produced : Steven Spielberg

Cinta bisa terjadi kapan saja. Cinta bisa datang di saat ketika menderita atau pun bahagia. Dan dengan cinta kita juga belajar untuk menggapai semua cita-cita.

Tersebutlah Chiyo, seorang gadis kecil berumur belasan tahun yang terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya bersama sang kakak karena terlilit hutang. Penderitaan Chiyo tak sampai di situ.

Chiyo dan kakaknya justru dijual kembali agar mendapatkan uang. Di sinilah perjalanan Chiyo kelak nantinya bernama Sayuri, bermula. Perjalanan menjadi seorang Geisha, perjalanan ketika menemukan musuh dalam hidupnya dan perjalanan inspirasional ketika ia menemukan belahan jiwanya.

Cerita yang dihadirkan dalam Memoir of a Geisha memang sangatlah sederhana. Cerita yang disadur dari buku berjudul sama karangan Sir Arthur Golden ini hanya bercerita bahwa betapa kuatnya sebuah cinta dan betapa indahnya hidup jika kita bisa mencintai seseorang yang benar-benar kita cintai.

Karena cinta yang gagal jugalah hidup seseorang bisa menjadi tak bermakna. Hatsumoto (diperankan dengan sangat baik oleh Gong Li), seorang Geisha yang punya masa depan cerah terpaksa menjadi seorang pecundang hanya karena dia tak bisa berjuang untuk cintanya yang sejati. Akhirnya, ia terbuang bukan karena kecantikan melainkan karena ketulusan hati.

Dari segi tema cerita film yang diperani oleh Zhang Ziyi, Michelle Yeoh dan Gong Li ini memang tidak terlalu menarik alias biasa-biasa saja. Kita sudah sering menonton cerita ini di berbagai puluhan film lainnya.Bahkan banyak film lain yang bercerita tentang kehidupan Geisha yang jauh lebih fokus dibandingkan film ini.

Yang jadi istimewa adalah bagaimana sutradara Rob Marshall mengolah sebuah cerita dan konflik-konfliknya dengan rapih. Konflik tidak sengaja didatangkan secara beruntun, namun mengalir dengan sendirinya layaknya sebuah kehidupan normal. Hingga akhirnya, film ini hidup seolah-olah seperti bukan sebuah film. (wajar mengingat Rob Marshall juga pernah membuat film berjudul Chicago yang penuh nuansa vokal, tari dan drama)

Selain soal cerita yang tertata rapi, film ini juga sangat tertata rapi baik setting alam, kota dan suasana kota Jepang. Yang menjadi nilai lebih adalah music score yang mengalun sepanjang film. Kehadiran music score yang digawangi John Williams sangat enak untuk didengar di telinga. Suasana kota di Jepang jadi sangat terasa hidup dalam film ini.

Sayang meski berjudul Memoir of a Geisha film ini tidak terlalu mengangkat secara utuh kehidupan Geisha di Jepang. Sepanjang cerita, kita hanya diceritakan tentang seorang perjalanan cinta Sayuri menggapai cinta Chairman (Ken Watanabe). Bukan kehidupan Sayuri sebagai geisha.

Akibatnya, slogan yang mengatakan bahwa seorang Geisha bukanlah seorang pekerja seks komersial melainkan seorang artis menjadi sia-sia.

Padahal menurut Mameha (Michelle Yeoh), seorang Geisha adalah seorang artis yang tetap harus menceriakan dunia meskipun langit sudah runtuh (bedakan dengan Fiat Justitia Et Pareat Mundus). “Dunia boleh tertawa dan menangis tapi kita tetap harus tersenyum,” ujar Mameha bijak.

Tidak heran di film ini sosok Geisha tidak benar-benar terepresentasikan oleh Sayuri. Sayuri di sini hanyalah seorang gadis desa yang berwajah sangat cantik, punya tarian yang eksotis dan delikan mata dan senyuman maut yang bisa membuat seorang pria bertekuk lutut.

Seandainya Rob Marshall bisa mengangkat kehidupan Hatsumono justru jauh lebih menarik dibandingkan kehidupan Sayuri. Hatsumoto benar-benar hadir sebagai wakil manusia biasa. Dia penuh dengan rasa kecemburuan dan ketidakadilan karena cinta kasihnya hilang.

Kita benar-benar tidak tahu, bahkan hingga film berakhir darimana dan kemana Hatsumoto pergi setelah Jepang kalah takluk dalam Perang Dunia II. (Tentu saja akan sangat jauh berbeda dengan versi bukunya).

Film seolah-olah terfokus dalam perjuangan cinta Sayuri yang merasa terpikat dengan cinta tulus seorang pria. Cinta yang membuat dia menolak tawaran laki-laki yang jauh lebih kaya dan berkuasa.

Beruntung film ini awalnya diperankan oleh seorang aktris cilik Jepang yang sangat berbakat. Saya benar-benar sangat menikmati penampilan Chiyo cilik sepanjang film. Kehadirannya ibarat angina segar bagi film dan menyebabkan film ini tak terlalu terfokus pada Zhang Ziyi yang memang bagi saya biasa-biasa saja.