Wednesday, March 30, 2005

Thamrin dan Vonis Mati (1)

Thamrin terbangun, matanya yang hitam tiba-tiba terbelalak karena suara keras dua orang laki-laki yang membentak dirinya.
”Hei kamu, bangun jangan tidur saja,” ujar dua laki-laki yang berjanggut putih.

Awalnya, sangat sulit bagi Thamrin untuk membuka matanya. Rasa perih di bagian perutnya, membuat ia sulit untuk menggerakkan kelopak mata. Hanya saja karena bentakan dua orang pria itu sangat keras, mau tak mau Thamrin pun membuka matanya.

Belum selesai kesadarannya pulih,tiba-tiba saja kedua pria yang menggunakan jubah berwarna hitam itu kembali bertanya. “Hei, pria tahukah kamu dimana kamu berada saat ini,” tanyanya.

Pertanyaan itu membuat otak kepala Thamrin tergelitik. Karena ketakutan tidak bisa menjawab pertanyaan kedua pria itu, Thamrin berusaha keras untuk mengetahui dimana ia berada saat ini.

Hanya saja semakin keras ia berusaha mengingat semakin bingung ia untuk menjawab. Yang ia lihat hanyalah kegelapan, satu-satunya cahaya hanya berasal dari kedua orang pria tersebut.

Sekali lagi pertanyaan dengan nada keras kembali memekakkan telinga Thamrin. “Kamu, kenapa diam saja. Jangan-jangan kamu tidak tahu siapa Tuhan kamu?” tanya dua pria itu kembali.

Mendengar kata Tuhan, sontak Thamrin semakin kebingungan. Dimana ini, pikirnya. Kenapa aku tiba-tiba ditanya tentang siapa Tuhanku. Padahal nama Tuhan, telah aku tinggalkan sejak aku jatuh dalam kemiskinan, ujarnya dalah hati.

Tuhan yang aku kenal hanyalah Tuhan yang ada dalam bangku pelajaran. Aku telah meninggalkan Tuhan, ketika ia tidak pernah bisa memberikan jawaban kenapa ada kemiskinan, kenapa ada rasa sakit, kenapa ada kelaparan dan kenapa ada kematian.

Teringat kata kematian, membuat badan Thamrin berguncang hebat. Ia langsung teringat petuah guru agamanya di waktu SD. “Thamrin, jika kita sudah mati maka akan ada dua malaikat yang akan menanyai kita di alam kubur. Mereka akan bertanya tentang Tuhan kita dan amal perbuatan kita,”

Perlahan-lahan, Thamrin mulai bisa menyusun satu per satu ingatannya. Neuron-neuron di kepalanya langsung mengembalikan semua pengalaman yang pernah ia lalui. “Ini kah alam alam kubur. Apakah aku benar-benar telah meninggal. Tapi kenapa aku bisa meninggal?” tanya Thamrin.

Thamrin yang tengah berusahat mengingat tersadar dari lamunan karena bentakan keras dari kedua pria tersebut.”Astaga Nak betapa berdosanya dirimu, bahkan Tuhanmu pun kau tak tahu. Jangan-jangan kau tak tahu kenapa kau mati,” tanya pria satu lagi yang menggunakan tongkat berkepala sabit.

Mendengar pertanyaan itu, Thamrin pun berusaha mencari jawaban. “Yah, kenapa aku berada di sini. Kenapa aku bisa mati. Terakhir aku hanya ingat tiga orang sipir penjara mendatangi selku dan mengajakku untuk bertemu teman-teman.”

Tapi, bukan itu, saat itu mereka hanya memberikan kesempatan bagiku untuk bertemu dengan keluargaku yang tercinta. Mereka memberi kesempatan kepada ku untuk berbicara dengan keluargaku, karena aku akan menjalani hukuman mati. “Ya, aku dihukum mati. Perbuatanku menjual narkoba kepada anak-anak sekolah telah membuatku dipenjara. Parahnya, ketika aku dikejar polisi aku justru membunuh polisi agar tidak ditangkap,”

Pengadilan tidak bisa memaafkanku. Perbuatanku sangat berat hingga tak pantas untuk diberikan maaf. Disaat aku merusak generasi muda, aku juga telah menghilangkan nyawa seorang bapak yang memberikan nafkah bagi keluarganya. “Tapi bukan berarti aku harus mati, kenapa aku harus mati bukankan Tuhan sendiri mempunyai rasa kasih sayang yang luas kepada hambanya. Kenapa manusia justru tak pernah bisa memaafkan.”

Belum lagi pulih ingatannya akan hukuman mati, Thamrin kembali terhenyak ketika kedua pria tersebut mendatangi dan menjambak rambutnya. “Sudah cukup bagi kami akan kekurangajaranmu. Kini terimalah siksamu,” kata kedua pria tersebut.

Siksa, mendengar kata-kata itu Thamrin langsung tak kuasa, bibirnya bergetar saking ketakutan. Ia mengingat kata-kata tersebut pernah dikatakan sipir penjara. Sipir yang berkumis tipis itu mengatakan bahwa ia akan mengalami hari-hari yang penuh siksaan sebelum dihukum mati. “Bagaimana perasaanmu Thamrin. Tiga hari lagi kau akan dihukum mati. Kau akan merasa sangat tersiksa, sampai-sampai kau perlu menikmati setiap helaan nafasmu yang keluar. Dan ketika nafasmu terhenti, siksaan itu belum selesai teman,” kata sipir penjara.

Senyuman sinis sipir penjara, membuat semua ingatan Thamrin terbuka lebar. Ia ingat ketika hari penentuan tiba, Thamrin dibawa keluar penjara. Kala itu tengah malam, di saat ia tengah memejakan mata, ketiga orang sipir mendatangi selnya dan membangunkan dirinya.

Belum matanya terbuka lebar, Thamrin melihat seorang ustadz berdiri di luar sel. Ia kemudian mendekati Thamrin dan mengatakan, “Nak, dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang mau kah kau bertobat. Berikanlah jiwamu kepada Tuhan dengan ikhlas,” kata Ustadz tersebut.

Melihat hal tersebut, Thamrin cuma diam, ia tahu saat ini waktu hidupnya di dunia sudah habis. Tidak ada lagi matahari yang terbit melalui sela-sela jendela penjara. Tak ada lagi siraman embun yang ia rasakan ketika bangun pagi di dalam penjara.

Karena Thamrin merasa ia seorang atheis, ia cuma diam saja. Pikirnya, buat apa Tuhan datang kepadanya di saat terakhir menuju mati. Harusnya, ia datang ketika aku menderita di dalam penjara.

Akhirnya, Ustadz itu pun pergi. Setelah itu dengan sigapnya ketiga sipir itu menutup kedua mata Thamrin dengan seikat kain. Thamrin mengeluh, inikah hari akhir itu. “Bahkan ketika menjelang mati pun aku tak bisa melihat siapa yang mencabut nyawaku. Padahal ketika waktu belajar agama, guru-guru pengajianku selalu mengatakan kalau malaikat pencabut nyawa menampakkan dirinya ketika mencabut nyawa manusia. Betapa tidak adilnya,” ujar Thamrin dalam hati.

Entah berapa lama, Thamrin dibawa ke luar penjara. Ia tidak tahu dibawa kemana. Yang hanya tahu, dari teman-temannya di penjara, semua orang yang akan dihukum mati, biasanya dibawa ke lapangan luas yang tak akan bisa dijangkau oleh setiap orang apalagi bagi wartawan. "Buat apa mereka menghukum mati diriku. Kalau mereka ingin membuat orang lain jera karena hukuman mati ini, kenapa mereka tidak mengajak masyarakat untuk melihat. Di zaman koboy saja orang digantung di depan umum, kok sekarang malah berbeda. Apa maksudnya?" tanya Thamrin dalam hati.

Ketika banyak pertanyaan timbul dalam benak Thamrin, tiba-tiba mesin mobil berhenti. Dalam keadaan mata tertutup Thamrin dipaksa keluar mobil. Setelah keluar, ikat kain yang dipakai Thamrin akhirnya dilepas juga. Perlahan-lahan, mata Thamrin terbuka dan melihat lapangan hijau luas terhampar.

Bendar cahaya bulan membuat lapangan itu terlihat kelabu. Gelapnya malam, dan keremangan malam, membuat rumput hijau yang meranggas itu terasa nyaman. Derik jangkerik menggema, suara angin berbisik dan menghembus rambut Thamrin. "Aku belum potong rambut hari ini. Benar-benar cara yang nyaman untuk mati, meninggal tanpa didampingi keluarga," ujar Thamrin dalam hati.

Tuesday, March 29, 2005

Waktu Malam di Nias

Entah kenapa begitu banyak cobaan yang menimpa bangsa ini. Satu per satu cobaan datang silih berganti. Ribuan orang sudah mati, dan tak mungkin akan kembali.

Belum lama kita ditimpa bencana gempa dan tsunami, kali ini gempa kembali terjadi. Jaraknya pun tidak terlampau jauh, bergeser sedikit dari Aceh, yaitu Pulau Nias, dan sebagian daerah Sumatera Utara.

Gempa yang terjadi di malam hari itu memang sulit untuk kita duga. Di saat kita tengah tertidur lelap, guncangan dari dalam bumi itu datang. Tak heran, banyak orang yang tak selamat akibat kuasa Tuhan itu.

Pertama kali, aku mendengar berita itu ketika nonton berita pagi. Aku langsung tersentak ketika melihat ribuan orang berlarian menuju ke tempat yang lebih tinggi. Mereka khawatir, mungkin gempa ini akan diikuti dengan tsunami.

Alhamdulillah, ternyata air bah yang kecepatannya hampir sama dengan pesawat jet itu tidak datang juga. Namun, beberapa peneliti gempa mengatakan, sempat terjadi tsunami setinggi 1 meter di wilayah laut Pulau Nias. Untungnya, tsunami itu keburu surut dan tidak mencapai daratan.

Yang aku herankan saat ini, kenapa pemerintah selalu menutup-nutupi jumlah korban yang tewas. Ketika ditanya oleh wartawan, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil mengatakan jumlah yang tewas adalah 200 orang. Lucunya, di tempat yang berbeda, Kapolri Da'i Bachtiar mengatakan jumlah yang tewas adalah 1.500 orang.

Entah, ada apa dengan Sofyan, apakah sengaja untuk menutupi jumlah agar terkesan bukan bencana luar biasa, ataukah karena memang mental semua pejabat yang terbiasa menutup-nutupi suatu masalah.

Padahal, kita bisa lihat bahwa gempa yang berkekuatan 8,7 skala richter itu sangatlah kuat. Rasa trauma yang terjadi akibat gempa di Aceh, justru membuat ketakutan mereka semakin dalam. Maka tidak mungkin jika gempa yang terjadi di Nias itu hanya meminta korban 200 orang.

Lebih lucu lagi, ketika aku dan Zikrie mendatangi kantor Bakornas untuk meminta data korban. Dan apa yang mereka lakukan? Nothing, mereka tidak bekerja sama sekali. Kita sulit untuk menerima data yang pasti. Bahkan ketika ditanya apa yang akan mereka lakukan untuk warga Nias, mereka hanya diam dan cuma menjawab akan menunggu perintah atasan.

Mudah-mudahan Tuhan tidak pernah memberikan cobaan ini kepada kita agar semua pejabat yang ada di atas kita sadar akan ketidakpedulian mereka.

Monday, March 28, 2005

Di Jakarta, mungkin tidak pernah terpikirkan di otak kita ada gedung-gedung sekolah yang sudah hampir rubuh. Sebagai kota metropolis, kita selalu beranggapan, bahwa Jakarta adalah kota segala kemegahan dan kemewahan.

Sekolah-sekolah dibuat dari beton dan pagar yang menjulang. Tiap pagi mobil orang tua lalu-lalang menjemput sang anak untuk kembali pulang. Guru-guru dan muridnya memakai baju warna-warni. Makanan di kantin bukan lagi serabi, yang ada cuma KFC.

Semuanya serba megah, seolah menyombongkan bahwa anak-anak sebagai masa depan bangsa, harus mendapatkan pelayanan terbaik layaknya seorang raja. Dan hanya anak-anak dari keluarga raja lah yang boleh sekolah.

Di tempat lain, di sudut timur Jakarta, tepatnya SD Jatimulya Bekasi, duduk 8 orang anak. Baju mereka lusuh, selusuh ruang kelas mereka yang hampir rubuh. Namun, mata mereka kukuh menembus jantung dadaku.

Baju mereka putih merah, topi yang mereka gunakan tegak menjulang. Harapan mereka untuk belajar bagaikan karang. Tak ada ombak yang bisa menghentikan kegarangan mereka melahap pelajaran. Sayang, mereka bukan keluarga kerajaan. Jadi mereka sekolah di gedung yang bukan untuk anak-anak sekolahan.

Tetap berjuang nak, sekolah boleh rubuh, tapi semangat kalian takkan runtuh....

Wednesday, March 23, 2005

Namanya, Veto Star Pangaribuan. Entah kenapa tiba-tiba dia datang mencariku. Bajunya yang berwarna merah terlihat kontras dengan penampilannya yang kikuk dan serba salah. Aku tidak mengenalnya, tapi ia terus mendekati diriku, terpaksa senyuman lebar ala birokrat pun ku pajang.

Pertemuan ini memang serba tidak terencana, karena suara Pak Djajuli, salah satu staff data dikantor, yang membuat aku terpaksa menemui dirinya.

Ketika datang, ia memang tampak terlihat kaku. Mungkin karena amplop warna coklat yang ia pegang, langkah kakinya jadi terasa berat. Ataukah karena harapan yang ada di dadanya hingga ia merasa terlalu lunglai untuk menanggung itu semua.

Melihat amplop itu aku langsung tahu. Bukan tahu apa yang ia inginkan, tapi tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghadapinya. "Oh, mau ngelamar yah, tahu darimana, alamat kamu dimana, lulusan mana, ya udah aku taruh dulu yah karena yang berhak untuk menentukan kamu bisa masuk itu orang lain dan saat ini tidak ada di tempat,".

Kata-kata itu memang terdengar klise bagi diriku. Tapi entah bagi dirinya, ia cuma bertanya sekali lagi kepada diriku. "Kira-kira kapan yah saya bisa tahu hasilnya," tanya dia.

Ah, kata-kata itu juga pernah ku ucapkan. Aku tahu apa yang ia rasakan, tapi apakah aku perduli. Apakah aku memang mau membantunya. Yang ada justru aku ingin segera ia pergi dari hadapanku karena datang dalam waktu yang tidak tepat. Sekali lagi jawaban klise ku berikan padanya. "Kami akan meneliti isi lamaran ini dan dalam waktu yang secepatnya akan kami beritahu,"

Ia pun berlalu begitu saja, kembali pulang ke rumahnya mungkin. Bergabung dengan teman-temannya yang sesama pengangguran dan berusaha melupakan pertemuan ini. Atau bisa jadi ia saat ini berada dalam penungguan yang panjang, menunggu telepon yang pernah aku janjikan.

Ketika ia pergi aku langsung terpaku melihat amplop warna coklat ini. Awalnya, aku tidak mau untuk membuka isinya. Sebab aku benci jika terlibat secara emosional dengan seluruh harapan yang ada di amplop tersebut.

Namun, akhirnya aku tetap melihat isi amplop tersebut. Aku masih ingin menyisakan rasa kemanusiaan yang ada dalam diriku. Aku tidak mau mencampakkan seluruh harapan itu. Harapan yang ia tulis demi suatu cita-cita.

Seandainya aku bisa berharap aku ingin sekali menjadi Tuhan dan Pimpinan perusahaan. Dengan sekali ucapan kuterima, mungkin aku bisa mewujudkan harap itu. "Sayang, aku toh cuma manusia,"

Sunday, March 13, 2005

Orang memang tidak akan mati karena kelaparan. Tapi orang akan mati karena kemiskinan. Beberapa hari yang lalu majalah Forbes mengeluarkan daftar 200 orang terkaya di dunia. Dari 200 orang itu ternyata ada dua orang dari Indonesia yang masuk dalam jajaran tersebut.

Selain itu dari daftar itu diketahui bahwa tidak banyak orang dari Asia yang digolongkan sebagai orang kaya. Daftar orang paling kaya di dunia itu didominasi oleh orang-orang asal Amerika dan Eropa.

Di kesempatan yang sama, gue juga membaca majalah Times, yang mengangkat tema tentang kemiskinan. Dalam laporan utama itu, Time membahas tentang buku Jeffrey D. Sacht yang mengupas habis cara-cara untuk mengentaskan kemiskinan. Yang membuat miris adalah, Jeffrey mengatakan bahwa hampir setiap tahun 8 juta orang meninggal dunia karena kemiskinan.

Bukan itu saja menurut Jeffrey, Asia merupakan salah satu negara yang paling banyak orang miskinnya dibandingkan Eropa, dan Amerika.

Dari keterangan di atas bisa kita bandingkan, bahwa ternyata jumlah orang yang kaya sangat berbeda jauh dengan jumlah orang yang miskin. Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu giliran untuk mati, sementara di sisi lain ada juga orang yang bergelimpangan harta seolah hidup tidak akan pernah berakhir.

Dalam bukunya itu Jeffrey D. Sacht mengemukakan berbagai cara untuk mengentaskan kemiskinan. Diantaranya adalah meminta sumbangan 0,7 % per tahun dari GNP negara-negara donor. Ini artinya, Jeffrey berusaha mengetuk hati setiap negara donor untuk peduli akan pengentasan kemiskinan.

Sebenarnya secara sederhana, Jeffrey hanya mengembalikan tema usang yaitu soal kepedulian sosial. Sayang di dunia bisnis, kapitalisme dan korporasi ini, masih kah tersisa akan kepedulian sosial? Tekanan komersialisasi dan liberalisme telah mengikis kepedulian sosial sampai akar-akarnya. Untuk mudahnya, dalam satu hari ini pernah gak sih kita menyisihkan uang kita untuk menyumbang atau memberikan uang recehan kepada pengemis. Nope, mungkin kita lebih senang berpikir untuk menabung untuk membeli keperluan kita.

Friday, March 04, 2005

Apa hubungannya drakula dengan Softex. Keduanya memang punya satu kesamaan yaitu sama penghisap darah.

Drakula yang kita kenal melalui novel karangan Bram Stoker adalah seorang pangeran yang menjelma jadi seorang iblis karena kekasihnya meninggal dunia. Untuk memberikan keabadian kepada cintanya itu Drakula bersekutu dengan iblis. Ia pun menjadi manusia yang immortal dengan cara menghisap darah manusia.

Sedangkan, softex, entah siapa yang pertamakali menemukan benda tersebut, adalah suatu lapisan lembut yang digunakan oleh setiap wanita untuk mencegah keluarnya darah yang ada di saluran kelamin. Biasanya digunakan setiap bulan ketika masa-masa menstruasi datang.

Sepintas, dari definisi diatas memang antara drakula dan softex itu tidak mempunyai hubungan yang erat. Tapi, jangan heran kalau di Solo, Jawa Tengah, gara-gara softex dan drakula, orang bisa marah dan melakukan aksi demonstrasi.

Awalnya, memang terlihat sepele. Sebagai provider saluran komunikasi, Indosat menyediakan fasilitas humor sms kepada setiap pelanggannya. Salah satu sms humor itu diantaranya adalah "Drakula berdoa dan meminta supaya menjadi malaikat putih bersayap tetapi tetap bisa menghisap darah. Tuhan mengabulkan doanya, drakula menjadi Softex Wings".

Rupanya, pesan sms ini benar-benar mengena bagi masyarakat Solo. Mereka menganggap bahwa pesan tersebut tidak etis secara kesusilaan maupun agama. SMS tersebut menodai nilai-nilai kesucian agama yang direpresentasikan dalam sosok malaikat putih bersayap.

Akibatnya, SMS tersebut langsung memicu demonstrasi. Puluhan orang yang menamakan dirinya Gabungan Elemen Masyarakat Surakarta Peduli Umat dan Gerakan Masyarakat Anti Arogansi Surakarta mendatangi kantor Indosat Solo di Jalan Slamet Riyadi. Menuntut agar Indosat mencabut sms tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat melalui televisi dan media cetak.

Bukan itu saja, mereka juga meminta kepada pihak kepolisian untuk memeriksa motif dibelakang penyebaran sms tersebut. Dan memeriksa setiap unsur sms itu apakah telah memenuhi unsur pidana atau tidak.

Hal diatas bukan terjadi untuk pertamakalinya. Dulu yang paling fenomenal adalah ketika tabloid Monitor milik Arswendo Atmowiloto, membuat polling orang paling berpengaruh di Indonesia. Dalam polling itu mantan Presiden Soeharto berada dalam posisi nomor satu, sedangkan Nabi Muhammad SAW, berada dalam posisi nomor tujuh. Hasilnya, demonstrasi besar-besaran yang membuat Monitor ditutup, bahkan pemiliknya Arswendo langsung masuk penjara.

Mau yang lebih global lagi, ada, lihat kasus Salman Rushdie dengan novel Ayat-Ayat Setan-nya. Hukumannya bukan sekedar penjara lagi tapi Fatwa mati dari Imam Khomeini, pemimpin spiritual paling berpengaruh di Iran. Hasilnya, Rushdie saat ini hidup bak seorang pelarian.

Melihat hal diatas gue jadi teringat dengan pengalaman gue sendiri. Kala itu gue shalat Jum'at di Masjid Fatimatuzzahra. Kebetulan gue duduk disamping seorang jamaah ahlussunah wal jamaah. Ketika hendak shalat, tiba-tiba dia memarahi gue karena lengan baju panjang yang gue pakai. Saat itu lengan baju itu memang gue lipat dan ia meminta agar gue segera membuka lipatan lengan kemeja itu. "Lepas, lipatan baju itu kamu gak boleh sholat kayak gitu."

Mendengar hal tersebut gue bingung. Lho apa hubungannya sholat gue dengan baju yang gue pakai. Hari gini masih aja ada yang sulit ngebedain masalah profan dan ukhrawi.
Berapa sih sebenarnya isi dan kapasitas sebuah otak? Pertanyaan itu terlintas sejenak dalam pikiranku ketika aku disibukkan dengan banyak bacaan. Mulai dari membaca dua novel Dan Brown, Angel And Demon dan The Da Vinci Code, membaca opini Koran Kompas, dan membaca milis yang ada di layar komputer.

Ternyata semua hal tersebut tidak bisa aku lakukan dalam kegiatan serentak. Berbeda halnya dengan komputer yang dalam waktu bersamaan mampu bekerja membuka semua aplikasi dalam waktu bersamaan. Istilah kerennya multi tasking. Contohnya sekarang, saat ini aku sudah membuka 9 buah window, yang kesemuanya isinya adalah bacaan. Otak mungkin tidak bisa melakukan hal tersebut, tapi komputer bisa.

Hanya saja intinya tetap berbeda, kalau komputer toh tugasnya hanya memanggil data. Sedangkan otak lebih baik dari itu semua yaitu memproses semua data yang diterima.

Kembali lagi ke kapasitas otak. Kita pasti tahu kalau otak itu dibagi dua yaitu otak kanan dan otak kiri. Biasanya, jika diajukan pertanyaan seperti ini, orang pasti menjawab tentang ukuran. Mulai dari ukuran panjang, lebar hingga isi atau volume otak. Anehnya, jawaban itu justru tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Kapasitas mempunyai kesamaan arti yang sepadan dengan kemampuan. Sama saja dengan pertanyaan, apakah kamu mempunyai kapasitas untuk menjadi wartawan. Jadi kata kapasitas adalah bukan kata benda melainkan kata sifat.

Jadi kalau otak saya sangat sibuk dan tidak mempunyai kapasitas untuk membaca semua tulisan di paragraf pertama. Itu bukan karena otak saya yang kecil, tapi karena otak saya belum mengembang dan terlatih untuk hal tersebut.