Friday, July 15, 2016

Cinta Itu Tidak Mau Menunggu

Karena cinta sebagian orang bisa bercerita. Sebagian dari mereka ada yang mencoba melukiskannya. Ada juga yang mencoba menuangkannya dalam nada. Dari nada-nada tersebut terciptalah sebuah lagu. Ada yang menyenandungkannya seorang diri, ada juga yang mencoba menyanyikannya bersama-sama.

Setelah menonton film Sing Street, saya tiba-tiba saja  terkenang masa-masa saya di sebuah SMA di kawasan Jakarta Barat. Saat masa-masa sekolah menengah atas dulu, saya memiliki seorang teman yang sangat mirip dengan tokoh utama di film ini Cosmo.

Jika di Sing Street, Cosmo banyak menciptakan lagu untuk seorang gadis yang lebih dewasa dari dia, teman saya justru sebaliknya. Dia begitu mencintai seorang adik kelas perempuan yang ada di bawahnya.Seperti Cosmo, dia begitu mencintai gadis itu. Sampai sampai tiada waktu yang terlewat hanya membicarakan perempuan tersebut.

Sayang dia begitu malu untuk mengungkapkan rasa sukanya itu. Dia lebih banyak menatap dan kemudian menuangkan segala perasaannya lewat sebuah lagu. Saya sangat yakin rasa cintanya kepada perempuan itu sangat kuat. Itu terlihat dari jumlah lagu yang dia ciptakan.

Seperti Cosmo, setiap hari ada saja lagu-lagu baru yang dia tunjukkan kepada kami. Seolah-seolah setiap detik waktu yang dia jalani dia habiskan hanya untuk mengagumi perempuan tersebut.Sayang dia tidak mampu menyanyikannya sendiri. Dia mengajak kami untuk mencoba merapihkan lagu-lagu yang tercecer itu dengan kemasan yang lebih baik. Ya akhirnya kami membentuk sebuah grup musik.

Perlahan-lahan kami hanya memainkannya untuk mengisi waktu senggang. Lama kelamaan kami mencoba untuk merekamnya. Tanpa kami sadari kami melakukan berbagai hal yang sebelumnya tidak kami pikirkan. Mencoba menjadi grup musik yang benar. Memang selanjutnya kami tidak pernah mampu mewujudkan mimpi kami menjadi grup music yang besar. Toh setidaknya kami pernah merasakan, betapa kekuatan cinta ternyata mampu menggerakkan segala hal.

Cinta memang tidak mau menunggu hanya untuk dibayangkan dan dirasakan. Cinta sangat menanti untuk diungkapkan. Selanjutnya, cinta akan memberikan keajaiban ke semua hal yang dia sentuh. Tidak terkecuali masa depan.









Thursday, June 30, 2016

Kakakku, Jendela Hidupku

Kakak, mungkin kakak tidak akan pernah tahu, kakak adalah tempat bagi ku melihat dan membaca dunia. Kakak adalah jendela hidupku. Karena kakak lah aku mampu menjalani hidup ini. Percayalah, setapak demi setapak jalan yang aku jalani mengikuti langkah kaki yang pernah kamu gerakkan.

Kakak, kaset yan berisi kumpulan lagu Queen yang engkau berikan saat aku berulang tahun di usia ke-7 tidak akan pernah aku lupakan. Aku sangat bahagia dengan pemberian itu. Waktu demi waktu aku memutarnya setiap saat. Hingga saat kaset itu rusak, karena terus diputar, aku begitu sedih karena merasa telah merusak pemberianmu.

Kakak, aku selalu ingat dengan ruangan kamar mu dimana engkau berbagi dengan kedua kakakku yang lainnya. Ruangan itu begitu sempit namun kamu buat menarik dengan memasang berbagai poster laki-laki yang tidak aku kenal.  Di antara pose mereka, terdapat tulisan besar-besar, Duran Duran. Aku baru tahu siapa mereka ketika menonton film James Bond A View to Kill yang diperani James Bond.

Kakak, aku pernah merasa malu dengan diriku ketika engkau menegurku karena pernah mengirim surat cinta kepada seorang perempuan di kelasku saat waktu SMP dulu. Aku tidak tahu kenapa mama dan bapak menyuruh kakak untuk menegurku.

Jujur kak, aku menangis karena bukan hanya membuat mama dan bapak marah karena aku terlalu berani untuk ingin berpacaran. Tapi juga karena aku telah mengecewakan kakak yang selalu aku jadi anggap panutan.

Kakak, kamu memang panutan bagi semua. Kamu adalah contoh bagi kami semua betapa kegigihan adalah jalan bagi kesuksesan. Aku sangat bangga ketika kakak memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Sebuah profesi yang akhirnya kini aku jalani juga.

Tahukah Kak, ketika kamu bepergian keluar kota dengan pesawat terbang, aku ingin ikut bukan karena ingin melihat bandara Soekarno Hatta yang dulunya cuma bisa diucapkan bukan didatangi. Aku ingin ikut karena aku ingin melihat Kakak berangkat ke kota-kota yang tidak pernah bisa aku bayangkan. Dan setiap kakak pulang, aku selalu ingin menunggu cerita-cerita yang kamu berikan.

Kini setiap aku pergi kemana pun, selain mengingat kedua orang tua dan istriku, aku selalu mengingat dirimu Kak. Betapa kakak telah memberikan sebuah pelajaran dan kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.

Kakak, aku menangis ketika sebelum meninggal mama memutuskan untuk tinggal di rumah kamu. Bagi mama, kakak memang selalu istimewa. Kakak lah anak pertama yang membuatnya menjadi sempurna, ibu bagi seorang anak dan istri bagi suami yang dicintai.

Kakak memang istimewa, karena tanpa kakak sadari, kakak telah memberika kami, adik-adikmu, bagaimana menjalani hidup ini. Berbahagialah kak hingga akhir nanti. Selamat ulang tahun di hari ini, hanya itu yang bisa saya ucapkan buat kakak.




Tuesday, June 28, 2016

Setiap Pagi di 28 Juni


"Haloo, lagi ngapain kamu? Selamat ulang tahun ya. Semoga kamu baik-baik saja bersama keluarga," suara serak dari seorang pria berusia senja terdengar di balik telepon pintar saya. Suara itu tetap terdengar bahagia, walau pembicaraan antara dia dan saya hanya berlangsung beberapa menit saja. 

Suara itu memang tidak asing bagi saya. Suara yang terbang dari sinyal-sinyal udara itu selalu  tidak lupa hadir  di setiap pagi tanggal 28 Juni. Suara itu hadir guna menyapa saya yang tidak lagi dekat dengannya. 

Sang pemilik suara, ayah saya, dengan ajaibnya di usia yang sudah berkepala tujuh  tidak pernah lupa dengan hari lahir saya. Dan itu selalu dia lakukan kepada kelima anaknya. Entah karena kewajiban atau kerinduan yang sangat mendalam. 

Kini, lima tahun sudah telepon dari dia tidak berdering lagi. Dan saya begitu merindu akan kehadirannya lagi. Suara yang begitu tulus memanjatkan doa bagi anak-anaknya yang tengah berulang tahun. Kini suara itu tidak datang lagi lewat telepon. 

Ayah pergi dengan cara yang begitu tiba-tiba. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa yang membuat ayah meninggal dunia. Di hari meninggalnya, dua hari setelah Lebaran, ayah masih sempat menelpon saya dan bertanya tentang kesibukan saya. 

Di hari itu dia memang sempat meminta saya untuk datang ke rumahnya. "Bapak mau kamu nemenin bapak ke dokter. Kayaknya enggak enak badan," pinta dia. 

Permintaan itu tidak bisa saya amini karena kesibukan kantor sebuah koran nasional memaksa saya harus tetap berada di kantor. "Saya usahakan kalau cepat selesai, saya ke sana. Cuma kalau kemalaman, saya langsung pulang saja ya. Kan ada adik di sana," jawab saya. 

Adik saya memang kebetulan berada di rumah bersama-sama anak-anaknya. Tidak ada rasa sedih karena saya menolak permintaannya. Dia hanya menjawab dengan bahagia. "Jangan kalau begitu, kerjakanlah dengan baik. Jaga kesehatan kamu Amang," 

Sangat jarang Ayah memanggil saya Amang. Dalam Partuturan Batak Toba, kata-kata Amang diucapkan bagi para lelaki yang dianggap lebih tua dalam keluarga. Kata Amang juga diucapkan bagi pria yang bisa dihormati. Saya tidak mengerti kenapa Ayah memanggil saya dengan sebutan Amang waktu itu. 

Selepas bekerja saya melihat jam tangan saya. Waktu sudah terlalu malam untuk berangkat ke rumah Ayah. Saya memilih pulang karena rumah yang jauh di Bekasi membuat saya berpikir ulang ke rumah Ayah. 

Sesampainya di rumah, saat saya tertidur lelap, pikiran saya tiba-tiba terasa kalut. Tidur yang tidak tenang membuat saya terbangun dan langsung memeriksa telepon pintar saya. Sejenak saya merasa khawatir dengan keadaan Ayah. "Ada yang salah hari ini," pikir saya sambil mengambil telepon seluler tersebut. 

Begitu telepon seluler saya buka, terlihat 36 telepon tidak terjawab terpampang di layar ponsel. Jantung saya berdegup kencang, pikiran  berkelindan. "Jangan-jangan, jangan-jangan," pikir saya. 

Saya langsung menelpon adik saya yang ada di rumah Ayah mencari tahu apa yang sedang terjadi. Begitu panggilan terjawab, terdengar ucapan kekesalan dari adik saya karena saya yang sangat sulit dihubungi. Di tengah kemarahannya dia mengatakan, Ayah telah pergi. 

Mendengar itu saya langsung terdiam, dada saya sesak, tiba-tiba saja air mata tumpah begitu saja. Waktu seakan-akan bergerak mundur ke waktu dimana saya menerima telpon dari Ayah siang tadi. Saya menangis dan membuat istri saya terbangun. Sambil memeluk dia terus bertanya ada apa. "Ayah meninggal. Ayah sudah meninggal," kata saya sesunggukan. 

Lima tahun sudah Ayah pergi. Seperti banyak orang bilang, penyesalan selalu datang terlambat. Saya selalu tidak pernah bisa menyalahkan diri saya atas semua yang terjadi sebelumnya. Betapa saya kerap begitu mudah terlena dengan kesibukan dan melupakan kedua orang tua saya. 

Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya telah menjadi anak yang baik bagi mereka. Saat ini saya tidak pernah terpikir untuk menjadi anak yang membanggakan, yang saya inginkan hanyalah menjadi anak yang baik buat keduanya. 

Tapi jawabannya tidak akan pernah saya ketahui. Saya sudah kehilangan waktu untuk melakukannya. Berbahagialah kalian yang masih mampu menyapa kedua orang tua, meskipun itu hanya lewat ujung jemari. 

Kemarin, 28 Juni di pagi hari saya tertegun kembali. Dering telepon itu tidak pernah berbunyi lagi. 










Wednesday, February 17, 2016

Dia Yang Meninggalkan Kantor Ini


Konon, suatu ketika Nabi Yunus pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, "Hai Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini !". Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok laki laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit kusta (al-judzam).

Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan bosan berucap: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu"

Kisah itu terngiang ketika saya mendengar kabar tentang teman saya tadi siang. Teman saya di kantor, seorang desain grafis tiba-tiba saja memutuskan resign dari kantor. “Kantor meminta dia mengundurkan diri karena dia menderita kusta,” ujar Mawar, sebut saja demikian.

Saya langsung terhenyak mendengarnya. Pertama karena dia memutuskan resign dan kedua karena dia menderita penyakit kusta. Sesaat memori saya terlempar enam tahun ke belakang. Teman saya ini adalah desain grafis baru bergabung dengan desk saya. Semangatnya yang luar biasa membuat saya senang bekerjasama dengannya.

Dia begitu telaten dalam menata halaman koran sesuai dengan keinginan saya. Sesaat saya melupakan sedikit kelainan fisik yang dia alami. Memang waktu itu saya sempat sedikit aneh melihat perawakan teman saya itu.

Beberapa bagian tubuhnya terlihat seperti membengkak. Mulai di bagian kelopak mata, tangan hingga cuping telinga yang sedikit memanjang dari ukuran normal. Tapi hal itu sama sekali tidak mengusik pikiran saya karena dia memang terlihat sangat antusias setiap kali bekerja.

Cukup lama kami bekerjasama menata halama demi halaman Lifestyle. Kami “berpisah” ketika dia diminta untuk menata halaman di bagian NEWS. Jam kerja yang tidak sama membuat saya jarang bertemu muka dengannya. Memang sesekali saya sempat mendapatinya di selasar kantor sore hari saat dia tiba dari kantor.

Kami memang masih berusaha saling menyapa dan menanyakan kabar satu sama lain. Seperti yang dulu-dulu dia masih bertanya kepada saya. “Ada film yang baru lagi enggak,” tanyanya.

Ya dia memang memerhatikan kalau saya senang sekali menonton film. Dia bahkan selalu meminta saya membagi berbagai film yang sudah saya unduh. Mungkin setelah dia berpindah desk dia langsung kehilangan penyuplai film baru. Alhasiil setiap kali bertemu dia selalu bertanya mengenai koleksi unduhan film yang saya miliki.

Seiring waktu saya perlahan-lahan mulai jarang bertemu dengannya. Saya tidak lagi bertemu dengannya setiap sore tiba. Dan baru tadi saya diberitahu kalau teman saya itu sudah lama menderita penyakit kusta. “Kustanya semakin parah dan dia sudah sering tidak masuk kantor,” terang Mawar lagi.

Mendengar penjelasan Mawar, saya terdiam membeku dan kelu. Saya jadi teringat akan jaket dan topi yang selalu dia kenakan setiap kali datang ke kantor. Jaket tersebut terlalu tebal untuk dia kenakan padahal Air Conditioner di kantor tidak terlalu dingin. Begitu juga topi yang dia benamkan begitu dalam hingga menyembunyikan sebagian wajahnya.

Pernah satu kali saya menyindir caranya berpakaian dan mengenakan topi. “Elo kayak mau ke Alaska aja,” ejek saya suatu waktu. Dia pun hanya tertawa dan mengatakan rumahnya di Bogor memang sama dinginnya di Alaska.

Kini saya tidak melihatnya lagi di kantor ini. Beberapa teman saya mengaku telah menerima SMS dari dia soal keputusan mengundurkan diri. Saya memang tidak menerima satu pun SMS dari dia soal keputusan itu.

Hanya saja saya bisa menggambarkan betapa beratnya cobaan yang dia alami saat ini. Kehilangan pekerjaan mungkin adalah hal yang lumrah. Namun terkucil dari pergaulan dan kehilangan rasa sayang adalah cobaan yang sangat luar biasa.

Semoga dia akan mampu menjalani cobaan ini dengan hati yang ikhlas dan senantiasa berucap "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu"

Selamat jalan kawan, terima kasih atas kenangan indah yang kita jalani bersama.


Thursday, December 19, 2013

Peri dan Pahlawan Masa Kecil

Dulu ketika saya masih kecil saya selalu merasa aman dan bahagia. Terlahir sebagai anak keempat, saya merasa senang karena memiliki tiga orang kakak yang selalu memerhatikan saya. Saya pun tidak pernah kesepian karena memiliki seorang adik laki-laki yang selalu menemani saya bermain dan berjalan-jalan. 

Ketiga kakak saya adalah peri yang selalu memberikan saya keajaiban. Mereka hadir setiap kali ibu saya sibuk dengan pekerjaannya. Kakak pertama saya merupakan kakak saya yang paling pintar. Dia kerap memberikan banyak pengetahuan kepada saya. Seperti ayah saya, dia adalah gudangnya informasi. 

Saya masih teringat kado ulang tahun yang dia berikan kepada saya. Sebuah kaset rekaman yang berisikan lagu-lagu Queen. Bungkusnya warna putih dan di dalam bungkus tersebut tertuliskan lagu-lagu Queen yang diambil dari berbagai album.

Berkat kado itu saya jatuh cinta pada musik. Saya selalu mengulang-ulang dua buah lagu yang jadi kesukaan saya, Bohemian Rhapsody dan Jealousy. Saking seringnya saya ulang, kaset tersebut akhirnya rusak. Saya sedih tidak bisa mendengar lagu tersebut. Kaset itu pun akhirnya saya simpan, agar tidak ketahuan kakak saya. Jangan sampai dia kecewa karena kadonya dibuat rusak oleh saya.

Kakak kedua saya adalah yang paling sering mendengarkan cerita saya. Secara emosionil dia memang dekat dengan saya. Begitu saya lahir, mama tidak sempat mengurus saya karena pekerjaannya yang terlalu padat. Dia akhirnya meninggalkan saya kepada kakak saya yang kedua.
Masih saya ingat di salah satu album foto, kakak kedua saya dengan badannya yang kecil menggendong saya yang sudah cukup besar. Mukanya yang sendu itu tetap terlihat tegar meski membawa saya yang cukup berat bagi gadis seumuran dia.

Perjalanan hidup kakak kedua saya memang tidak semulus kakak pertama saya. Dia tidak lulus kuliah dan akhirnya meneruskan pekerjaannya sebagai sales promotion girl. Saya ingat sekali dia pernah menjadi seorang sales promotion girl produk spidol ajaib. Saya sangat senang dengan spidol tersebut karena saya bisa memainkannya dengan adik saya di rumah.

Hampir setiap gajian, kakak saya selalu mengajak kami makan-makan. Dia malah masih sempat membelikan saya majalah HAI agar saya tidak ketinggalan informasi dari teman-teman sebaya saya. Saya senang sekali dengan pemberiannya. Hingga satu saat saya pernah berjalan-jalan ke sebuah mall dan melihat langsung kakak kedua saya bekerja. Dia duduk di depan pintu masuk sebuiah  toko buku. Dengan meja kecil dia menunggu anak-anak yang tertarik dengan spidol yang dia jual.

Dari jauh saya melihat kakak saya sering terdiam. Dia memainkan spidol-spidol ajaib tersebut di atas sebuah kertas. Seakan-anak warna ajaib yang muncul dari kertas tersebut memunculkan sebuah gambar yang bisa menghibur hatinya. Kakak kedua saya masih terlalu muda untuk bekerja. Namun dia menghabiskan waktunya untuk membuat kami dan saya bahagia.

Dari kejauhan saya cuma bisa diam. Saya ingin menangis karena saya sudah sering keterlaluan meminta segala hal yang sulit dia tanggung. Saya masih ingat ketika saya marah-marah dan menangis kencang karena kakak kedua saya tidak bisa membelikan saya sebuah kaos Ocean Pacific. Saya baru sadar, hingga kini saya sekalipun  tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada dia atas segala hal yang dia berikan kepada saya.

Dari kakak ketiga, saya belajar banyak hal mengenai keberanian. Di keluarga saya, mungkin dia adalah orang kedua yang paling berani setelah bapak. Dia adalah orang pertama yang mengajari saya keberanian. Ketika masuk sekolah dasar, tiba-tiba saja ketika jam pulang sekolah tiba, dia menghilang. Saya tidak bisa menemukan kakak ketiga saya untuk membawa saya pulang ke rumah.
Saya pun menangis karena tidak yakin bisa pulang ke rumah. Jaraknya memang jauh dan harus melewati jalan besar. Sadar bahwa kakak saya tidak akan menjemput saya, dengan menangis saya memaksakan diri pulang ke rumah.

Dengan berjalan kaki saya berusaha mengingat-ingat jalan menuju rumah. Ujian terbesar saya ketika harus melintasi Jalan Daan Mogot. Saya putus asa dan saya menangis. Batas keberanian saya berakhir. Beruntung, ada seorang bapak-bapak yang bertanya kepada saya kenapa saya menangis. “Kakak enggak jemput wahyu,” kata saya sesunggukan.

Dia pun akhirnya menanyai banyak hal pada saya. Alamat saya, nama bapak saya, nama ibu saya dan sebagainya. Setelah menggandeng tangan saya dia pun akhirnya membawa saya kembali ke rumah. Saya masih ingat, kakak ketiga saya cuma tersenyum simpul ketika melihat saya pulang. Saya cuma bisa menangis waktu itu.

Kakak ketiga saya kembali mengajari saya soal keberanian, ketika topi yang saya miliki diambil oleh pria yang lebih dewasa di kampung saya. Waktu itu pria tersebut memang hanya bilang pinjam untuk sementara. Namun lama kelamaan topi tersebut tidak dikembalikan. Karena lebih tua, saya tidak berani untuk memintanya.

Tapi dia tidak beruntung ketika bertemu dengan kakak ketiga saya di jalan. Kakak ketiga saya heran kenapa topi saya dikenakan oleh pria tersebut. Sesampainya di rumah dia pun menanyakan kepada saya soal topi tersebut. Saya cuma bisa nangis. Belum selesai  tangis saya, kakak saya langsung keluar rumah. Satu jam kemudian dia membawa pulang topi tersebut kepada saya.

Hingga kini keberanian yang dimiliki kakak saya itu jadi pisau bermata dua. Kadang bisa memberikan manfaat bagi dia, namun terkadang justru kerap membuat dia berada dalam posisi berbahaya. Dan sayangnya, dia tidak pernah menyadari bahwa saudara-saudaranya akan sulit membantu dia ketika dia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dari adik saya, saya belajar mengenai penghargaan. Adik saya membukakan mata saya akan pentingnya menghargai seseorang. Memiliki perbedaan usia yang hanya terpaut satu tahun membuat saya dan adik saya layaknya sahabat.Sayangnya, saya memperlakukan dia jauh dari seorang sahabat. Saya justru adalah seorang sahabat yang culas. Saya tidak pernah mau jalan beriringan dengan dia, ketika saya bersama teman-teman saya. Masih saya ingat, saya melemparkan batu ke arah dia, agar dia menjauh dari saya.

Masih saya ingat ketika saya memakai seluruh pakaian yang dia beli sendiri dari hasil jerih payahnya menabung. Sampai-sampai jam Casio G-Shock warna biru yang adalah barang miliknya sendiri, lebih sering saya pakai. Tidak sekalipun dia memiliki waktu untuk menggunakan barang-barang yang dia miliki. Semuanya adalah milik saya.

Entah kenapa dia tetap menghargai saya sebagai kakaknya. Suatu saat, saya mendapati sebuah surat bertuliskan bahasa Inggris. Rupanya tempat dia kursus bahasa Inggris menugaskan dia untuk membuat tulisan tentang orang yang mereka banggakan dan hormati.

Isi tulisan tersebut membuat degup jantung saya berhenti sesaat. Di tulisan itu dia mengatakan bahwa kakaknya lah orang yang paling menginspirasi dia. Berbagai hal dia sebutkan akan kekaguman dia kepada saya.Saya masih ingat warna kertas tulisan tersebut. Saya masih ingat bagaimana huruf-huruf yang dia tuliskan itu. Saya masih ingat hingga kini, ketika saya dan beranjak tua, saya masih merasa adik saya telah memberikan hal terindah yang sampai sekarang masih saya rasakan.

Saat ini saya, ketiga kakak saya dan adik saya sudah beranjak tua.  Kami pun sudah menjalani hidup dengan cerita masing-masing. Banyak penggalan kisah lama yang mungkin sudah tidak kita ingat lagi. Saya hanya ingin bisa mengucapkan kepada mereka, betapa saya sangat menyayangi mereka. Terima kasih telah menjadi peri dan pahlawan di masa kecil saya.

Kak Indah, Kak Wulan, Kak Ida, Ari, aku sangat menyayangi kalian semua.Thanks for everything



Tuesday, December 17, 2013

Selamat Tidur, Kawan


Pernahkah anda datang ke Rumah Sakit Dharmais? Setahun yang lalu, saya mengantar ibu saya ke rumah sakit yang ada di kawasan Slipi tersebut.

Ibu saya terkena penyakit kanker rahim stadium 4 dan perlu segera dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun hari itu saya tidak berhasil mendapatkan satu ruang pun buat ibu saya.

Di antara setiap tingkat yang ada di gedung rumah sakit tersebur tidak satu pun tersisa ruangan yang bisa dibagi untuk ibu saya. Berkali-kali saya bertanya kepada perawat yang menjaga ruangan pendaftaran apakah masih ada ruangan buat ibu saya. Di antara ratusan tumpukan map-map di depan mukanya, perawat tersebut cuma terdiam terpaku.

Ya, saya tahu sepertinya tumpukan map yang dia pegang seperti sudah dapat banyak  berbicara. Rumah sakit ini sudah banjir dengan pasien kanker. 


Dan itu  saya buktikan ketika hendak pergi mencari rumah sakit lain buat ibu saya, para pasien tersebut datang silih berganti. Dengan berbagai penyakit kanker yang tidak sama mereka menatap dunia dengan cara yang sama, kosong dan hampa.

Setahun setelah dari Dharmais, Mama saya meninggal dunia tak lama kemudian. Mama tak bisa bertahan dari kanker rahim stadium 4. Kami sekeluarga pun menjadi yatim piatu, karena setahun sebelumnya Papah juga meninggal dunia.

Saya semakin terbiasa dengan rumah sakit Dharmais, setelah teman baik saya menderita kanker serviks. Ketika datang ke Dharmais, dokter memvonis kankernya masih stadium 3. Dia menyayangkan teman saya yang tidak tanggap ketika sering mengalami keputihan dan pendarahan.

"Seandainya masih stadium 1 dan rahimnya diangkat, mungkin keadaannya akan jauh lebih baik," terang dokter tersebut waktu itu.

Nasi sudah menjadi bubur. Teman saya waktu itu memang lebih memilih menjalani terapi alternatif. Dia tidak ingin rahimnya diangkat dan kehilangan kesempatan mendapatkan anak.

Sayangnya, terapi alternatif tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Kanker terus-terusan menggerogoti tubuhnya. Kondisi kanker yang semulai berada di stadium 3 pun meningkat menjadi stadium 4. Tubuhnya pun habis dimakan kanker yang tersisa tinggal tulang.

Seperti ibu saya, dia pun sudah sulit berjalan. Sakit yang memakan tubuhnya membuat dia sulit tidur. Bahkan untuk memejamkan mata dengan lelap barang 5 menit sulit dilakukan. Setiap detik seluruh badannya terasa panas dan seperti ditusuk-tusuk jarum.

Saya memang tidak bisa merasakan rasa sakitnya. Tapi selama satu tahun saya menemani Mama, saya bisa merasakan betapa rasa sakit tersebut tidak hanya mampu menggerogoti tubuh tapi juga semangat hidup.

Setiap hari dia harus melawan rasa sakit yang disebabkan kanker. Di saat kita mengeluh akan hari yang tiba-tiba  menyebalkan, dia setiap hari harus berusaha tersenyum dengan penderitaan.

Malam ini, kanker akhirnya berhasil menaklukkan teman saya. Dia meninggal tepat setelah adzan maghrib. Entahlah, apakah ini sebuah tanda yang baik atau tidak, saya tidak ingin berspekulasi. Yang saya tahu dia banyak berbuat baik untuk saya dan istri saya. Dan Yang Maha Kuasa menganugerahi segala kebaikan tersebut dengan sebuah penyakit yang dinamakan kanker.

Di malam ini, teman saya meninggal karena kanker di usia 35. Sangat muda memang. Sangat muda ketika dia masih memiliki cita-cita yang jauh terbentang. Namun hidup seseorang bukanlah diukur dari panjang pendek usia.

Apalah arti hari esok, jika tidak mampu memberikan manfaat bagi sesama. Terima kasih kawan, terima kasih atas segala kenangan dan kebaikan yang kita ukir bersama. Selamat jalan, lelaplah dalam pelukan Yang Maha Kuasa.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Saturday, December 07, 2013

Ajo, Liliput Berhati Raksasa



Di antara ratusan orang yang berkumpul di Sabuga, Asep Suhendra bergerak lincah. Meskipun beberapa pengunjung berdesak-berdesakan melihat motor-motor yang dipamerkan di tempat tersebut, Ajo, demikian dia disapa, mengandalkan kedua tangannya menyelinap cepat di antara badan-badan raksasa manusia.

Bagi Ajo, pengunjung yang memadati gedung Sabuga itu memang bak raksasa. Ajo tidak bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan mereka. Ajo bak Liliput dimana tubuh ya men jongkok hampir menyapu lantai. Mungkin dari situlah teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Ajo.

Ya, Ajo adalah Asep Jongkok. Seorang pria berusia 43 tahun yang telah merangkak menjalani hidup dengan kedua tangannya. Kedua kakinya sudah tidak berfungsi normal sejak berusia 5 tahun. Mungkin bahkan sebelum dia fasih menyebut nama kedua orang tuanya.

Dokter memvonis Ajo terkena polio, sebuah virus yang ada sejak jaman pra sejarah melumpuhkan sistem saraf pusat Ajo. Virus itu melemahkan dan melumpuhkan ototnya. Tapi, virus itu tidak mampu melemahkan hati ya. Virus yang melemahkan seluruh kakinya, justru gagal melukai harga dirinya. Semuanya berkat hati raksasa yang di miliki.

Dengan segala kekurangannya, Ajo enggan berpangku tangan. Seperti saat saya berusaha mengangkat tubuhnya untuk berpose di atas sepeda motor yang dia buat rancangannya. Dia memilih menaikinya sendiri.

Ajo memang seorang perancang motor untuk pengendara disabilitas. Di bengkelnya yang ada di kawasan Ujungberung, Ajo merancang dan membuat motor-motor roda tiga yang berguna bagi disabilitas. Hasil rancangan Ajo pun ternyata bukan tanpa prestasi, Honda CB 100 roda tiganya menjadi juara kedua kompetisi motor roda tiga se-Indonesia pada kejuaraan classic race yang diadakan klub Moge Brotherhood. Reputasinya yang baik membuat bengkel modifikasi Motorpop meminta jasanya untuk memberikan konsultasi saat mengikuti lomba modifikasi motor untuk disabilitas di Sabuga.

Ajo memang bukan hanya membuat motor disabilitas, dia juga memiliki hati yang besar untuk peduli bagi rekan-rekannya yang disabilitas. Dia pun menghimpun mereka dalam perkumpulan bernama Motor Disabel. Di perkumpulan ini mereka sama-sama berjuang tidak hanya untuk membuat motor yang mampu membuat mereka tetap beraktivitas, tapi juga berkreasi bersama menunjukkan bahwa mereka sama dengan manusia lainnya yang sempurna.

Ajo memang tidak bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dia bak Liliput di tengah manusia lainnya. Tapi hatinya adalah raksasa, membuat dia menjulang tinggi di antara kita.