Monday, November 27, 2006

Tragedi Kacamata Cengdem


Hari Senin ini benar-benar jadi hari yang enggak melupakan buat gue. Gara-gara nonton bola sampai pagi, saya jadi bangun kesiangan.
Parahnya, saya lupa kalau ada agenda sidang cerai artis di Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang, Banten. Saya benar-benar lupa karena saya benar-benar butuh waktu tidur lebih lama setelah begadang semalaman.
Beruntung, saya punya teman sebaik Udin. Dia menelpon saya tepat jam 9 pagi dan menyuruh saya ke RCTI kalau mau ikut berangkat ke Tigaraksa.
Saya memang terbiasa menumpang mobil RCTI setiap kali ke sana. Soalnya, saya tentu tidak mau cape-cape ngendarain motor ke Tangerang.
Masih setengah sadar, saya langsung buru-buru masuk kamar mandi. Saya enggak enak nanti ditunggu lama Udin di RCTI. Kali ini mandinya pun cukup singkat, kalau dihitung-hitung hanya 5 menit. Cukup membasuh badan, mencuci muka dan gigi sebagai penutup.
Proses memilih baju pun berlangsung singkat. Saya tidak pilih-pilih lagi baju yang saya kenakan. Apa saja yang saya lihat langsung saya pakai.
Hanya saja otak saya masih berpikir sedikit ketika melihat sebuah kacamata yang ada di laci kamar kakak saya.
“Wah keren juga nih pake kacamata. Lumayan buat ngindarin abu waktu naik motor,” pikir say waktu itu.
Tak pikir panjang, akhirnya saya langsung memasukkan kacamata itu ke dalam saku saya. Begitu naik motor, setelah memakai helm, saya pun dengan jumawanya memakai kacamata cengdem itu.
Selama perjalanan ke RCTI, meski sudah memakai kacamata saya justru keheranan. Kenapa, kok mata sebelah kiri saya terasa kedut-kedutan. Tapi waktu itu saya tenang-tenang saja. Sebab, saya pikir ini mungkin karena baru pertama pakai kacamata keren.
“Ah, palingan posisinya doang nih enggak benar,” kata saya sambil terus berusaha membetulkan posisi kacamata itu.
Ketika berada di perampatan Jalan Relasi, saya terhenti karena lampu merah. Waktu itu banyak pengendara motor yang ada di samping saya ngelihatin saya terus. Saking buru-burunya saya cuek.
Ternyata bukan hanya mereka saja yang senyum-senyum melihat saya. Satpam penjaga gerbang RCTI juga ikut-ikutan senyum melihat saya.
Akhirnya, jawaban dari senyum dan tatapan aneh itu terjawab juga. Ketika saya memarkirkan motor, saya pun melepaskan kacamata.
Begitu melihat kacamata saya bener-bener paham kenapa semuanya jadi aneh ketika melihat saya.
“Masya Allah kenapa nih kacamata bolong satu yah,”.

Sunday, November 26, 2006

Desember Ceria

Meski masih lama, saya terbiasa untuk melihat jadwal kerja di bulan-bulan berikutnya. Dan hebatnya, baru kemarin saya ngecek tenryata jadwal agenda di bulan Desember itu benar-benar luar biasa. Padat banget dan itu semua bukan jadwal liputan.

Dari awal bulan hingga akhir tahun nanti, semua jadwal sudah padat dengan acara pernikahan. Lokasi acaranya pun macam-macam, mulai dari yang terdekat di daerah Senayan hingga yang terjauh di Yogyakarta.

Entah kenapa, bulan Desember ini memang sepertinya jadi bulan favorit bagi teman-teman gue menikah. Yang pasti, awal bulan ini gue langsung mengitung ulang lagi persediaan di kantong.
Jangan sampai mengecewakan teman karena kita tidak datang.

Friday, November 24, 2006

Friends

Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua

Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. (Sheila on 7)


Hidup pasti banyak perubahan. Itu pasti dan sulit untuk kita hindari.

Contohnya saat ini banyak sekali perubahan yang terjadi di sekitaran saya. Mulai dari lingkungan kerja, lingkungan pergaulan hingga lingkungan keluarga.

Perubahan yang sangat saya rasakan ada di lingkungan pekerjaan saya. Perlahan-lahan teman-teman mulai banyak yang pergi.

Satu per satu mereka pergi dan meninggalkan saya bertarung sendirian di dunia tanpa koma ini. Sedih pasti, dan saya seperti kehilangan motivasi.

Mereka, yang dulu sering saya jadikan tempat berbagi segala hal kini perlahan-lahan mulai mengurusi dunia baru mereka. Ada yang yang berurusan dengan darah dan lendir, ada juga yang berurusan dengan gaya metropolis Jakarta, hingga yang paling saya kejutkan adalah perubahan seorang teman yang akan berubah status jadi ibu rumah tangga.

Mungkin, ke depan tidak akan pernah ada lagi kebersamaan seperti dulu. Jarak dan jam tugas membuat kita semakin sulit untuk bergabung.

Kita yang dulu sering beradu tajam menulis berita atau adu kerenan suara ketika karaoke bersama kini sudah tinggal kenangan.

Parahnya, apa yang terjadi di luar kantor juga terjadi di dalam kantor saya juga. Satu per satu teman yang dulu berada dalam satu garis perjuangan kini mulai menghilang.

Barisan meja yang dulu ramai, kini hilang tak berbekas. Saya pun mulai membiasakan diri untuk mengenal satu per satu orang yang mengisi meja-meja yang ada di samping saya.

Entah apa yang harus saya lakukan saat ini. Jujur, teman adalah segalanya buat saya. Saya tidak terbiasa untuk meninggalkan teman begitu saja, apalagi kenangan yang terjadi setelahnya.

Saya kadang termenung atau sedih jika melihat ke belakang betapa banyak teman yang datang dan pergi dalam hidup saya. Ada yang meninggalkan banyak kenangan atau ada yang menghilang seperti bayangan.

Tuesday, November 21, 2006

The Day of Our Life

Setiap orang pasti punya gaya masing-masing ketika mengucap ikrar cinta. Dulu teman akrab saya pernah mengikrarkan kata cinta di sebuah becak.

Peristiwa itu terjadi ketika dia bersama kekasihnya yang kuliah di Purwokerto hendak pulang ke Jakarta. Hebatnya, entah karena becak itu mujarab atau tidak ikrar cinta itu pun berhasil.

Apa yang dilakukan teman saya itu memang sangat menginspirasikan. Alhasil, saya ingin melakukan hal yang sama kepada wanita yang saya cintai.

Enam tahun yang lalu, saya punya kesempatan yang sama untuk melakukan hal yang sangat istimewa dalam hidup saya.

Tepatnya tanggal 22 November 2002. Waktu itu saya ada janji ketemu dengan seorang wanita yang sudah lama saya kenal di Perpustakaan Universitas.

Setelah sekian lama berkenalan, saya berpikir saat itu adalah waktu yang tepat untuk meresmikan hubungan kita berdua. Hanya saja saya benar-benar butuh hal yang sangat istimewa agar bisa jadi kenangan yang sulit saya lupakan.

Setelah bertemu di perpustakaan, saya berdua akhirnya memutuskan untuk untuk mengantar dia pulang ke rumahnya. Akhirnya, kami berdua pun langsung naik ke mobil angkutan kota.

Ketika berada di dalam angkot, terpintas ide gila saya untuk mengucapkan ikrar cinta. Soalnya, teman saya sudah punya hak cipta dengan menggunakan becak, maka giliran saya bikin hak cipta baru ucapkan ikrar cinta di dalam angkot.

Kalau pun banyak orang saya sudah siap-siap malu. Yang penting ini akan jadi kenangan yang istimewa.

Setelah siap-siap berbicara, ternyata entah kenapa satu per satu penumpang yang ada di dalam angkot turun hingga tersisa saya, dia dan supir angkot.

Entah kenapa juga, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Otomatis, tidak akan ada lagi calon penumpang yang mau naik angkot di hujan deras kayak gitu.

Melihat keadaan ini saya jadi lebih berani untuk berbicara. Setelah berbicara ke sana-sini akhirnya saya mengucapkan kalimat yang terkenal dalam hidup saya.

“Eh, tahu enggak, kamu ngelakuin kesalahan yang fatal nih sama saya,” kata saya.

Mendengar pertanyaan itu teman wanita saya itu langsung kebingungan. Sadar akan kebingungan saya, akhirnya saya langsung berbicara lagi.

“Kamu udah mencuri hati saya. Itu kesalahan yang sangat fatal buat saya karena saya enggak bisa lagi lihat wanita lain selain kamu,” kata saya. Jujur waktu itu sang supir, saya lihat sudah senyum-senyum saja. Enggak tahu sih apa yang dia pikirkan.

Yang pasti bukan hanya si supir saja yang senyum-senyum. Teman wanita saya juga senyum-senyum juga. Sayangnya, dia enggan untuk menjawab perkataan saya. Dia justru langsung bilang nanti saja ketika saya menagih jawaban.

Akhirnya selama di dalam angkot itu kita bertiga (termasuk si supir) akhirnya berdiam diri saja. Setelah sampai di tujuan, hujan masih sangat lebat tapi kita harus turun dari angkot.

Saya pikir, mungkin momen itu sudah selesai dan jawaban yang saya tunggu tak akan pernah ada. Soalnya, dia juga sepertinya tidak tertarik dengan perkataan-perkataan saya.

Akhirnya di tengah hujan lebat dan di bawah lindungan payung kecil, saya kembali mengutarakan keinginan saya.

Waktu itu hujan benar-benar lebat, dan baju saya pun sudah sebagian basah kena air hujan. Suasana harusnya dingin, tapi hati dan badan saya justru benar-benar panas ketika terpaksa menanyakan kembali kesediannya untuk jadi pacar saya.

Dan di tengah hujan lebat itu dia pun memenuhi keinginan saya. Ia hanya berucap pendek.

“Iya,”

Jawabannya memang tidak sedramatis atau seromantis yang saya kira. Tapi, yang penting jawaban itu benar-benar memadamkan segala kegundahan di hati saya.

Seandainya ini sebuah film India, tentu saya akan menarin-nari di derasnya hujan. Tapi, saya ingat saya enggak punya baju dan celana dalam cadangan waktu itu akhirnya saya hanya bisa memeluk erat badannya.Sangat erat, agar janji ini terus kita pegang sampai nanti.

Hari itu memang sudah enam tahun berlalu, alhamdulillah dia masih berada di samping saya hingga kini.

Friday, November 10, 2006

Mantra Magis Christopher Nolan

Judul : The Prestige
Sutradara : Christopher Nolan
Pemain : Christian Bale, Hugh Jackman, Michael Caine, Scarlet Johanson

Bagi Christopher Nolan film adalah sebuah keajaiban. Film adalah mantra magis yang mampu membius para penontonnya hingga mereka bisa sekedar berguman bingung atau langsung berdecak kagum.

Film adalah tempat untuk menghadirkan sesuatu yang spesial, menghibur, menjebak dan terakhir menipu.

Ibarat sebuah mantra yang sangat ampuh, Nolan adalah seorang pesulap selalu menghadirkan kejutan-kejutan baru yang selalu menghadirkan decak kagum bagi para penggemarnya. Bak pesulap handal, Nolan berusaha terus menerus untuk memuaskan para penggemarnya, ia tak pernah berhenti menghadirkan keajaiban-keajaiban baru. Dan ajian teranyar Nolan ada di film terbarunya berjudul The Prestige.

The Prestige bercerita tentang kehidupan dua orang pesulap bernama Alfred Borden dan Robert Ainger di London, Inggris. Keduanya bersahabat sebagai pesulap magang di tempat yang sama. Meski bersahabat keduanya memendam bara persaingan yang sangat panas.

Keduanya mempunyai pemahaman yang berbeda akan makna sulap. Ainger menganggap sulap adalah pekerjaan yang hanya mengundang decak kagum para penontonnya. Sedangkan Borden beranggapan bahwa pesulap bertugas memberikan jurus-jurus baru yang bisa membuat pesulap lainnya tersenyum malu atau bahkan merasa iri karenanya.

Bara yang awalnya kecil itu akhirnya membara setelah peristiwa naas terjadi pada istri Ainger dalam sebuah pertunjukan sulap. Persaingan yang tak berujung itu pun akhirnya dimulai. Tak berujung karena semuanya dipicu akan sebuah obsesi.

Seperti sulap, film yang diperani oleh Christian Bale dan Hugh Jackman ini memang sangat sulit untuk dilupakan bahkan setelah kita meninggalkan bangku bioskop. The prestige adalah keajaiban sulap. Film ini benar-benar memenuhi syarat magis The Pledge, The Turn, dan The Prestige, yang disebutkan Cutter (Michael Caine) di awal film.

The first, the pledge, Nolan mampu menghadirkan sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Film yang intinya bercerita tentang persaingan ini menjadi menarik ketika ditempelkan dengan persaingan seorang pesulap. Nolan menunjukkan bahwa dunia sulap adalah dunia yang sangat menarik. Penuh dengan trik dan manipulasi tekhnologi.

Kedua, The Turn. Nolan menghadirkan kedua sosok pesulap yang benar-benar terobsesi akan kejayaan. Obsesi yang akhirnya tak bisa mereka kontrol lagi. Obsesi dan persaingan itu semakin dipermanis dengan alur cerita yang saling bertabrakan.

Berbeda dengan Memento yang alurnya sangat runtut dari belakang ke depan, The Prestige adalah film yang benar-benar harus diperhatikan dengan cermat. Sekali saja terlempar dari alur, maka selanjutnya akan sulit untuk menikmati film satu ini.

Dan terakhir The Prestige atawa sang klimaks. Nolan benar-benar menghadirkan kejutan-kejutan yang mampu membuat kita terkesima. Twist dan turn yang ada hadir di ujung film akan membuat kita terkesima akan kecerdasan Nolan menentukan celah-celah misteri yang jadi jawaban di film ini.

Dan ibarat sebuah mantra magis, film ini akan membuat kita akan bertepuk tangan dan menyadari bahwa kita telah tertipu. Kita pasti sadar telah ditipu, namun kita ingin mengulanginya lagi untuk kena tipu. Seperti yang dikatakan Cutter di akhir film ini.

“Mereka sadar telah kena tipu. Tapi, mereka ingin merasakannya lagi untuk kena tipu,”

Ironi Kampung Bali

Dua puluh enam tahun yang lalu, saya besar di sini. Sebuah kampung, yang dulunya sangat rimbun akan ilalang.

Dulu, yang saya ingat Kampung Bali terkenal akan kalinya yang masih sangat dalam. Kali yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon pisang dan ladang-ladang milik para petani kampung yang rindu akan kampung halaman.

Ketika saya masih kecil, kampung Bali adalah tempat yang sangat besar untuk saya jelajahi. Semua tempat yang ada mempunyai kesan dan pengalaman baru yang tak pernah akan berhenti.

Mulai dari gang yang mengambil nama sebuah binatang, hingga pabrik baut yang telah lama mati. Kedua tempat itu memberikan banyak cerita pada saya dan teman-teman. Mulai dari misteri, dan tempat bermain yang selalu menyajikan fantasi-fantasi liar buat kami anak-anak Kampung Bali.

Ya, Kampung Bali dulu jadi indah karena kami, anak-anak kampung bali. Kami, adalah anak-anak yang tak pernah berhenti riang dan optimis akan masa depan. Setiap hari kami lalui dengan pergi bersekolah, siang hari pergi mengaji dan malam hari bermain galaksin.

Di waktu itu saya dan teman-teman tidak akan pernah ragu akan masa depan. Kita yakin dan percaya bahwa setiap kita mempunyai masa depan yang indah. Seindah jembatan kayu yang melintasi kali di kampung kami.

Dulu, kami yakin jembatan kayu itu akan mampu menahan berat dari ratusan orang yang hendak masuk menuju kampung kami. Bahkan, teman saya pernah berkelakar kalau jembatan itu sangat kuat, saking kuatnya, banyak cerita mistis sekitar jembatan itu.

Hanya saja keperkasaan dan kegagahan jembatan kayu itu tidak sanggup bertahan akan gempuran modernisasi. Ketika Pabrik Baut jadi sebuah stasiun televisi, dan ladang dan kebun pisang jadi sebuah mall, jembatan kayu itu pun abruk tergantikan jembatan beton.

Seiring dengan runtuhnya jembatan kayu itu, masa depan anak-anak kampung bali pun luruh. Modernisasi ternyata ibarat pedang bermata dua. Memberikan kemajuan sekaligus memberikan kehancuran.

Perubahan yang terjadi di Kampung Bali awalnya memberikan kami harapan bahwa kampung kami sedikitnya mengalami banyak kemajuan. Hadirnya mall juga membuat kami optimis tidak akan gagap akan hiburan. Adanya stasiun televisi memberi kami dugaan bahwa suatu saat kita bisa mencari sesuap nasi di sana.

Hanya saja harapan tinggal harapan, saya ingat ketika banyak teman-teman tidak diterima bekerja di sana. Saya ingat betapa banyak orang-orang impor berkulit pucat seliweran di kampung kami.

Yang bisa masuk ke posisi terhormat kurang dari hitungan satu tangan. Yang masih bisa tersenyum, sampai kini hanya jadi penjaga keamanan.

Situasi pun makin diperparah ketika jumlah diskotik bertambah. Mereka beranak pinak seperti tak kenal waktu. Setiap sudut yang ada di tempat kami, hampir tak tersisa dengan tempat-tempat penuh lender itu.

Saya ingat betapa muramnya kampung kami waktu itu. Ketika stasiun televisi itu bermandikan cahaya, rumah-rumah kami justru kehilangan akan asa. Dan ketika anak anak-anak kampung bali kehilangan harapan, kita pun turun ke jalan. Dan satu-satunya tujuan, menjaja kehormatan dan menjadi preman.

Anak-anak kampung bali pun seperti tak punya masa depan. Kami yang dulu sangat bersemangat mencari tantangan kini hanya berbicara seputar selangkangan dan betapa indahnya bius obat-obat terlarang.

Kini, 26 tahun yang berlalu, anak-anak kampung bali tak seperti yang saya kenal dulu. Ketika kami melewati semua ini, ternyata ironi masih menerpa anak-anak di bawah kami.

Anak-anak lelaki Kampung Bali ketika kecil jadi jagoan, sudah besar jadi preman, dan tuanya jadi tahanan.