Wednesday, August 30, 2006

Sepeda dan Senyuman

Saya ingat ketika saya pertama kali dibelikan sepeda oleh bapak saya. Sebuah sepeda mini yang dibelikan di sebuah toko dekat pasar kopro.

Kala itu bapak berpesan kepada saya. “Jaga baik-baik sepeda mu,” ucapnya.

Melihat sepeda itu, saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia saya. Bapak bahkan merelakan saya langsung menggoes sepeda itu pulang ke rumah.

Setiap kali pedal sepeda saya goes, senyuman saya pun terus-terusan mengembang. Tiada rasa seindah waktu itu.

Lima belas tahun terlewat, kali ini giliran saya memberikan sebuah senyuman kepada ponakan saya. Di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan senyuman itu menempel ceria di mukanya ketika sebuah sepeda saya berikan kepadanya.

Senyuman dan keceriaan itu memang sedetik adanya. Tapi, abadi di hati saya.

Selamat bersepeda Ara…

Thursday, August 24, 2006

So Sick...!!

Enam jam sebelum gue berangkat pergi ke tanah seberang. Justru tugas tiba-tiba datang layaknya perang.

Awalnya, saya berniat baik untuk menulis berita di kantor dan menyerahkan tugas yang tersisa. Saya memang harus menyelesaikan tugas secepat mungkin sebelum berangkat.

Apalagi, saya memang tidak pernah mau mengecewakan desk saya. Minimal saya sedikit berpartisipasi sebelum pergi ke sana.

Sialnya, niat baik saya justru jadi malapetaka. Begitu sampai di kantor saya justru di suruh menulis berita ultah ke 17 RCTI.

Saya benar-benar merasa kecewa dengan perintah tersebut. Bukan apa-apa, saya merasa heran karena jelas ini bukan tanggungjawab saya. Yang bikin hati saya tambah mengkel, seluruh crew desk yang bertanggungjawab justru tidak ada yang tinggal di kantor.

Parahnya lagi, sebelum diperintahkan saya sudah bertanya kepada salah satu teman yang memang berurusan dengan desk tersebut. Lucunya, begitu saya bertanya dia justru langsung cepat-cepat meninggalkan kantor. Sialan memang.

Kini, enam jam sebelum berangkat, saya benar-benar merasa kecewa. Dan saya yakin perjalanan pergi saya adalah sebuah malapetaka.

Shit..

So Sick...!!

Enam jam sebelum gue berangkat pergi ke tanah seberang. Justru tugas tiba-tiba datang layaknya perang.

Awalnya, saya berniat baik untuk menulis berita di kantor dan menyerahkan tugas yang tersisa. Saya memang harus menyelesaikan tugas secepat mungkin sebelum berangkat.

Apalagi, saya memang tidak pernah mau mengecewakan desk saya. Minimal saya sedikit berpartisipasi sebelum pergi ke sana.

Sialnya, niat baik saya justru jadi malapetaka. Begitu sampai di kantor saya justru di suruh menulis berita ultah ke 17 RCTI.

Saya benar-benar merasa kecewa dengan perintah tersebut. Bukan apa-apa, saya merasa heran karena jelas ini bukan tanggungjawab saya. Yang bikin hati saya tambah mengkel, seluruh crew desk yang bertanggungjawab justru tidak ada yang tinggal di kantor.

Parahnya lagi, sebelum diperintahkan saya sudah bertanya kepada salah satu teman yang memang berurusan dengan desk tersebut. Lucunya, begitu saya bertanya dia justru langsung cepat-cepat meninggalkan kantor. Sialan memang.

Kini, enam jam sebelum berangkat, saya benar-benar merasa kecewa. Dan saya yakin perjalanan pergi saya adalah sebuah malapetaka.

Shit..

Cinta Rasa Beda

Film : Betina
Produser : Lola Amaria
Sutradara : Lola Amaria
Pemeran : KInaryosih, Tuti Kirana, Agastya Kandau.

Cinta dan pengorbanan adalah dua sisi mata uang. Keduanya tak kan pernah terpisahkan dan selalu seiring sejalan.

Tema besar di atas adalah tema utama yang diusung oleh Lola Amaria ketika membesut film berjudul film Betina. Hanya saja cinta dan pengorbanan yang dibawa oleh kekasih sutradara Aria Kusumadewa ini bukanlah kisah yang penuh dengan warna-warna cinta yang kita kenal selama ini, cerah dan motivating.

Di film Betina, cinta hadir dengan nafas kesuraman. Tiada tawa, canda apalagi rayuan maut sang pecinta. Yang ada justru cemburu, kemarahan hingga kematian.

Mengambil setting antah berantah, film debutan Lola sebagai sutradara ini bercerita tentang sosok perempuan bernama Betina yang banyak mengalami kesuraman hidup. Mulai dari ayahnya yang diculik paksa, hingga ibunya yang sedikit mengalami gangguan jiwa.

Kesunyian dan kegelisahan Betina banyak dicurahkan kepada sahabat satu-satunya, seekor sapi bernama Dewa. Namun, kehidupan Betina berubah 180 derajat ketika dia bertemu dengan seorang penjaga kuburan (Agastya Kandau) yang muncul setiap prosesi penguburan dilaksanakan.

Sejak bertemu dengan penjaga kuburan, Betina mengalami perasaan yang jauh berbeda. Dirinya benar-benar diliputi rasa cinta. Hanya saja, perasaan yang ada di dalam jiwa Betina justru tak pernah hinggap di raga si penjaga kuburan. Tak mau menyerah untuk mengungkapkan cintanya, Betina pun berusaha berkorban untuk mendapatkan hati si penjaga kuburan.

Seperti Betina yang berusaha mati-matian menunjukkan cintanya. Lola Amaria memang berusaha mati-matian agar film perdananya ini tidak mengecewakan.

Dari segi tema, Lola memang tergolong sangat berani. Sebagai sutradara baru Lola berani mengambil langkah tidak populer yakni menggarap film surealis seperti Betina.

Maklum saja, jika melihat orang yang ada di belakangnya, Aria Kusumadewa (Beth, Novel Tanpa Huruf R), wajar jika Lola memilih film jenis ini. Apalagi, Aria memang tergolong sutradara yang akrab menggauli film-film yang sekarang dibawakan Lola.

Selain keberanian membawakan ide yang berbeda ada satu hal lagi yang patut dipuji dari Lola. Yaitu imajinasi Lola yang tinggi. Kuburan yang penuh dengan nisan segitiga benar-benar menebar aura kegelapan. Apalagi hal itu ditunjang oleh pakaian-pakaian pengiring jenazah. Hanya saja ada sedikit miss ketika ada satu saat Betina memakai baju yang sangat indah ketika hendak memeras susu sapi.

Meski patut dipuji akan sisi imajinatif dan keberanian, bukan berarti Lola menghadirkan film yang tanpa cela. Di menit-menit pertama film Betina dimulai, kekurangan itu justru langsung terbuka lebar dan menganga.

Betina seolah hadir untuk dirinya sendiri, tanpa menghadirkan sebuah cerita bagi para penonton yang sudah duduk setia di menit-menit awal film dimulai.

Ketidakhadiran sebuah cerita tentu saja membuat alur film jadi berantakan.Satu per satu tokoh yang ada dalam film Betina hadir secara tiba-tiba. Bahkan, kehadiran Fahmi (Fahmi Alatas) justru baru terasa pada menit-menit akhir film. Padahal, Fahmi memegang peranan penting dalam film ini.

Cerita sendiri baru benar-benar terasa ketika film mendekati situasi konflik. Yakni ketika ibu Betina (Tuti Kirana) bertemu dengan penjaga kuburan. Dari situlah cerita kemudian mengalir dan sudah tertata rapi.

Sebagai sutradara baru, Lola memang pantas untuk mendapatkan apresiasi yang baik. Keberanian dan imajinasinya yang tinggi adalah asset yang baik untuk dunia film Indonesia. Mudah-mudahan saja Betina-betina lain yang akan dihasilkan Lola lebih sederhana dan kreatif. (wahyu sibarani)

Tuesday, August 22, 2006

Mau Antar Surat Pak?

Liputan hari ini memang benar-benar konyol bagi saya. Keajaiban demi keajaiban terjadi di kantor SONY BMG ketika saya hendak mewawancara seorang Malaysian Idol bernama Jaclyn Victor.

Awalnya, saya memang sempat lupa akan janji liputan ini. Tapi, setengah jam sebelum wawancara dimulai, Sundari dari SONY BMG sudah mengingatkan saya untuk datang.

Ketika mendengar keterangan itu saya sebenarnya terkejut. Soalnya, saya sudah hampir lupa dengan janji yang dibuat di awal bulan Agustus lalu.

Mengingat kerjasama baik yang sudah terjadi dan untuk ke depan nanti, akhirnya saya memutuskan untuk datang. Padahal di saat yang bersamaan ada undangan pre-screening film Koper di Planet Hollywood.

Karena waktu yang sudah mepet akhirnya saya pun dengan semangat 45 memacu motor saya ke kantor SONY BMG yang memang tidak jauh dari kantor saya.

Setelah sampai, keajaiban pertama pun terjadi. Ketika mau memarkirkan motor tiba-tiba seorang satpam menegur saya.

“Mau antar surat ke siapa Pak?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan itu saya yang masih di atas motor langsung tertawa. Saya bingung juga saya niat baik-baik untuk memenuhi undangan wawancara kok tiba-tiba malah disangka kurir surat.

“Mau wawancara pak,” ujar saya.

Saya memang tidak mau marah kepada satpam yang lugu itu. Saya berusaha mengoreksi diri sendiri, apakah baju yang saya kenakan memang mirip dengan seorang kurir atau tidak.

Tidak mau berlama-lama di ruangan parkir, akhirnya saya langsung masuk ke ruangan Sundari. Di sana sudah ada beberapa rekan wartawan lainnya.

Begitu ketemu mereka saya pun langsung menceritakan peristiwa yang saya alami dengan satpam tersebut. Seperti saya, mereka juga tertawa mendengar cerita saya. Mungkin bisa jadi mereka setuju pakaian yang saya pakai memang mirip kurir.

Bahkan, Sundari pun mengatakan kepada saya, kalau tas yang saya pakai memang mirip dengan petugas kurir. “Gede banget gitu lho,” katanya.

Itu baru keajaiban pertama. Berikutnya, keajaiban kedua justru terjadi usai sessi wawancara dengan Jaclyn. Tiba-tiba saja seorang reporter TV3 Malaysia berikut kameramennya mengeluarkan microphone dan langsung mewawancarai saya beserta wartawan lainnya.

Saya kaget bukan kepalang. Sebab, saya enggak pernah tuh diwawancarai ada juga saya yang mewawancarai.

Tapi, rasanya perasaan senang masuk televisi itu jauh lebih besar dibandingkan keheranan saya. Akhirnya, saya pun dengan senyum-senyum malu menjawab semua pertanyaan mereka tentang dunia musik Indonesia dan Malaysia.

Di akhir wawancara, seperti artis kurang terkenal saya justru bertanya kepada mereka. “Cik, kapan muncul di televisinya yah,” kata saya senyum-senyum kecil.

Cuma satu yang saya sesalkan dalam wawancara itu. Gara-gara ucapan satpam itu saya jadi tidak pede dengan baju yang saya kenakan. Jangan-jangan saya terlihat seperti kurir bukan seorang wartawan.

“Sial aturan gue pakai baju lainnya nih,” kata saya dalam hati.

Monday, August 14, 2006

Kenekatan Bokap

Apa yang paling saya banggakan dari Bokap saya? Cuma satu yaitu kenekatannya. Ya, dibandingkan sifatnya yang bisa bikin kesal, sikap bokap saya yang cenderung terobos sana-terobos sini justru sering bikin saya angkat topi.

Bokap memang sering bertindak nekat. Terutama jika hal itu berhubungan dengan prestasi yang berhasil di cetak anak-anaknya.

Saya punya cerita tersendiri soal kenekatan bokap. Bahkan, kalau saya ingat-ingat lagi saya bisa senyum-senyum sendiri.

Peristiwa itu terjadi ketika saya diwisuda. Seperti acara wisuda lainnya, kedua orang tua saya juga ikut hadir.

Awalnya, saya mengira bapak hanya menunggu dan melihat saya di deretan tamu undangan dan orangtua. Ternyata dugaan saya langsung meleset.

Ketika saya berbaris untuk menuju panggung. Tiba-tiba saya melihat di arah pintu depan panggung berdiri bokap saya sambil menenteng kamera.

Sontak saja saya langsung bingung. Ketika pas bersampingan dengan bapak, saya langsung bertanya kenapa bapak meninggalkan kursinya. Jawabannya justru membuat saya kaget bukan kepalang.

“Saya mau motret kamu dari depan,” kata Bapak.

Begitu mendengar jawaban bapak, saya cuma bisa bengong. Saya berpikir saya akan cetak sejarah nih di kampus. Saya akan jadi orang pertama difoto oleh bapaknya sendiri di depan rektor.

Waktu itu saya memang enggak bisa melarang bapak untuk melakukan hal itu. Akhirnya, begitu nama saya dipanggil. Peristiwa yang tidak pernah saya bayangkan itu pun terjadi.

Ketika saya sampai di depan, bapak juga sudah berada di samping saya. Untungnya, universitas saya adalah sebuah universitas yang memang tidak terlalu memusingkan protokoler yang serba ketat dan abracadabra. Bapak pun dengan santai dan cuek bisa memoto saya beberapa kali.

Walau Rektor dan Dekan saya bingung, tapi mereka justru berusaha menyimpan kebingungan mereka ketika melihat bapak saya beraksi. Saya sendiri berusaha untuk tetap tenang dan mengeluarkan senyuman maut saya kepada mereka.

Hanya saja, rasa heran teman-teman dan seluruh wisudawan dan wisudawati yang ada di kampus justru tetap menggelayut di muka mereka. Mereka bingung, ternyata orang tua bisa memoto di sampai ke depan panggung.

Mungkin, mereka pikir jika tahu bisa begini, mungin mereka akan menyuruh orang tuanya melakukan hal yang sama.

Saya memang benar bangga dengan bapak saya.