Tuesday, February 28, 2006

Cangkokan Film Asing

Image hosting by Photobucket


Judul : Jatuh Cinta Lagi
Sutradara : Rizal Mantovani
Pemain : Krisdayanti, Gary Iskak, Alex Abad dan Endhita
Produksi : Multivision Plus dan KD Production

Ketika saya mendengar Ram Punjabi akan kembali bikin film, saya sempat merasa heran juga. Soalnya, dengan dukungan aktris-aktris papan atas sekalipun, Ram selalu gagal dalam menghasilkan film-film yang benar-benar berkualitas atau pun yang bisa memenuhi target pasar.

Namun, ketika saya tahu bahwa Ram akan mengeluarkan film drama komedi berjudul Jatuh Cinta Lagi, saya agak bersyukur juga. Rupanya, Ram benar-benar melupakan keinginan sentimentalnya untuk membuat suatu film berat seperti Belahan Jiwa dan lebih mementingkan film-film ringan yang lebih laku di pasaran.

Oleh sebab itu, tidak heran kalau saya benar-benar haqqul yakin bahwa Ram berusaha kembali kepada jalan yang benar.Apalagi, untuk film satu ini Ram menggandeng sebuah nama besar bernama Krisdayanti.

Nama Krisdayanti memang suatu jaminan mutu. Namanya ibarat suatu barang yang akan selalu laku di pasaran. Makanya, Ram pun rela untuk mengeluarkan uang Rp 400 juta untuk menggaet istri Anang Hermansyah ini agar mau bermain film.

Di saat popularitasnya yang menurun, KD memang tidak perlu lagi memikirkan tawaran tersebut. KD mungkin melupakan beberapa factor kala dia menerima tawaran tersebut. KD tengah melakukan perjudian besar atas karirnya baik di dunia tarik suara ataupun di layar lebar.

Selentingan demi selentingan memang sudah banyak saya dengar sebelum film ini beredar. Banyak orang yang mengatakan bahwa film ini sangat mirip dengan film Hollywood. Ya, benar mirip dengan film Pierce Brosnan dan Julienne Moore berjdul Laws of Attraction.

Awalnya saya enggan untuk membuktikan hal itu. Tapi, nyatanya saya benar-benar kecewa karena selentingan-selentingan itu hampir benar-benar terbukti ketika saya datang ke konferensi pers, JCL di Planet Hollywood beberapa waktu lalu.

Saya sangat kaget melihat poster film tersebut. Ingatan saya langsung melayang pada sebuah film lain yang diperani Rene Zelweger dan Ewan McGregor berjudul Down With Love. Ketika pulang ke kantor saya pun terpaksa membuka google untuk membuktikan kesamaan poster dua film tersebut. Ternyata, poster itu memang hampir mirip satu sama lain.

Dari dua kesamaan itu saya memang sangat-sangat berharap agar film JCL bukanlah sebuah film cangkokan film-film asing. Sebab, dari trailer yang diperlihatkan hampir semua adegannya sangat-sangat dekat dengan film-film Hollywood, contohnya, adegan menari dan bar yang dipenuhi bule-bule.

Meski agak kecewa, saya tetap berusaha berpikir positif.Bahkan, jauh-jauh hari saya sudah berjanji untuk tetap menonton film garapan Rizal Mantovani ini. Apalagi, saya ingin tahu seberapa kuatnya kan peran KD dalam film tersebut. Soalnya, KD benar-benar yakin bahwa dirinya memang tidak tampil seperti dirinya sebagai seorang penyanyi.

Film JCL sendiri bercerita tentang seorang kehidupan dua orang pengacara bernama Lila (Krisdayanti) dan Andre (Gary Iskak). Meski sama-sama pengacara, keduanya memiliki nasib dan cara kerja yang berbeda. Lila lebih banyak menangani kasus pro bono (gratis) demi kepentingan masyarakat, sedangkan Andre seorang pengacara yang flamboyant yang lebih mencari kasus-kasus besar demi popularitas belaka.

Sebuah kasus perceraian penyanyi bangdut bernama Dea Angelia (Cornelia Agatha) memaksa Lila dan Andre bertemu. Siapa nyana, pertemuan tersebut justru adalah bermulanya perasaan cinta antara Lila dan Andre.

Sayang, karena perbedaan pola pikir dan gaya hidup. Serta diembel-embeli oleh kegagalan cinta di masa lalu membuat keduanya sulit bersatu.

Melihat plot di atas memang kita sudah tahu ke arah mana film itu akan bergerak selanjutnya. Sebab, film drama komedi, komedi romantis atau apapun itu adalah film-film yang gampang sekali ditebak.

Kita pasti tahu bahwa kedua tokoh utama itu pasti akan tetap bersatu. Namun, biasanya yang bikin kita jadi penasaran adalah bagaimana sutradara memodifikasi terbentuknya jalinan cerita cinta kedua tokoh utama.

Inilah yang sepertinya dilupakan oleh Rizal. Dari awal saya menonton, saya sangat merasakan Rizal seakan-akan menyederhanakan film ini. Saking sederhananya, Rizal sama sekali tidak mengembangkan karakter tokoh utama yang ada di film ini, Lila dan Andre. Kita hanya disuguhkan keseharian Andre yang suka dugem dan Lila yang sangat gila kerja. Tanpa tahu bahwa siapa sih Andre dan Lila di balik semua pekerjaannya itu.

Rizal lebih mengedepankan adegan-adegan slapstick yang kerap sekali dilakukan oleh Andre dan Lila. Entah, ini berhasil atau tidak yang pasti teman-teman saya justru tidak pernah tertawa setiap kali adegan itu ada di layar bioskop.

Selain minimnya pengembangan karakter, Rizal sendiri sepertinya berusaha menyederhanakan semua masalah yang ada di film ini. Ibarat lari sprint, Rizal sepertinya ingin cepat-cepat sekali menyudahi film yang katanya menghabiskan uang Rp 7 miliar ini. Akibatnya, saking terburu-burunya, film ini sama sekali benar-benar tidak berjiwa. Saya bahkan hanya tersenyum miris ketika Lila dan Andre marahan hanya karena melihat Andre mencium pipi seorang wanita.

Ada satu hal lagi yang benar-benar mengganggu saya. Membuat film komedi tidak mengharuskan sutradaranya untuk tidak serius menggarap detil film. Saya benar-benar tidak habis pikir kenapa Rizal mengambarkan suasana sidang perceraian itu terbuka untuk umum dan bisa dihadiri siapa. Padahal, setahu saya sidang perceraian itu adalah sidang yang selalu tertutup untuk umum.

Di balik beberapa kelemahan tersebut, ada beberapa bagian yang membuat saya merasa bisa sedikit tersenyum akan film ini. Di JCL kita merasa didekatkan pada kenyataan bahwa kenyataan-kenyataan yang ada di televisi tidaklah selamanya benar.

Kebenaran yang ada di media massa sebenarnya ada pada pemegang modal dan mudah direkayasa. Tergantung pada siapa media itu berpihak dan berapa uang yang akan dikeluarkan.

Kenyataan ini memang sangat dekat dengan kehidupan saya sehari-hari. Sebagai wartawan hiburan, saya memang merasa tahu dan akrab dengan hal-hal seperti itu. Sayang, Rizal tidak mendramatisasi isyu ini dalam film tersebut.

Sementara itu menanggapi penampilan pertama KD di dunia layar lebar. Saya rasa saya setuju dengan pendapat seorang teman saya. KD benar-benar seorang master in disguise, semuanya serba tidak natural dan artifisial. Maaf, jadi sorry-sorry saja bagi KD, film ini sepertinya bukan langkah pembuka yang manis bagi pelantun lagu Menghitung Hari ini.

Oh iya, saya sudah Tanya teman-teman saya tentang film ini. Dari 5 teman saya, kesemuanya mengatakan film ini biasa saja. Bahkan, tiga di antara mereka mengatakan film ini garing.

Sunday, February 26, 2006

Selalu Ada Kesempatan

Image hosting by Photobucket

Saya selalu percaya bahwa setiap orang seiring dengan waktu pasti bisa mencapai keinginan-keinginannya. Asalkan, orang itu mau untuk membuka kesempatan untuk mewujudkan semua keinginan tersebut.

Seperti dulu, waktu kecil saya selalu berangan-angan untuk bisa naik pesawat terbang. Selama 25 tahun saya hanya bisa hidup dalam angan-angan itu.

Awalnya, saya menduga di kantor terdahulu saya akan dapat kesempatan untuk naik pesawat terbang. Soalnya, bekerja sebagai wartawan tentu saja pasti akan disuruh tugas luar kota. Sayang, tugas-tugas itu tak pernah berkunjung juga pada saya.

Setelah saya pindah kantor, saya makin optimis, bahwa suatu saat nanti saya pasti bisa naik pesawat terbang. Banyak factor yang membuat saya optimis, di antaranya koran tempat saya bernaung adalah koran nasional dan cukup berkelas. Jadi, bisa saja ada tawaran-tawaran yang datang mengajak saya untuk terbang ke luar kota.

Sayang, keinginan terbang secara gratis itu pun akhirnya punah juga. Tapi, kesempatan untuk naik pesawat terbang tetap datang juga. Karena beberapa alasan yang tidak bisa saya tuliskan di sini, akhirnya saya menyempatkan diri untuk terbang ke suatu daerah.

Naik pesawat terbang untuk pertama kalinya memang membuat saya merasa senang sekaligus was-was. Saya senang karena keinginan saya semasa kecil akhirnya terwujud juga, tapi saya was-was juga karena saya benar-benar tidak tahu bagaimana caranya naik pesawat terbang.

Agar perjalan perdana itu berjalan sukses saya memang perlu menyempatkan diri untuk bertanya dengan teman-teman saya. Banyak orang memang yang kaget dan tertawa ketika mereka mendengar saya belum pernah naik pesawat terbang. Lucu memang, saya harus menunggu selama 25 tahun agar bisa terbang.

Akhirnya, karena mereka banyak tertawa akhirnya saya melupakan saja semua saran tersebut. Setelah satu malam tidur tak tenang, akhirnya saya pun berangkat juga ke bandara.

Ketika masuk ke lokasi bandara, saya memang agak bingung juga untuk menentukan langkah selanjutnya. Namun, seperti biasa, sebelum melakukan apa pun saya terbiasa melihat apa yang dilakukan orang-orang. Hal itu sering saya lakukan agar saya tidak terlihat canggung ketika melakukan sesuatu yang baru.

Ternyata, apa yang terjadi selanjutnya memang tidak semudah apa yang saya duga sebelumnya. Naik pesawat itu ternyata mudah.

Setelah proses administrasi selesai, tinggal naik pesawat. Dan disinilah pengalaman saya selanjutnya. Ketika pesawat take off, saya benar-benar merasa seperti terbang menembus langit. Semakin tinggi pesawat menembus angkasa, semakin membubung tinggi perasaan saya.

Selain itu, getaran pesawat memberikan kesan yang teramat dalam buat saya. Saya benar-benar tergetar ketika melihat titik kecil yang ada di bawah langit. Ternyata, semuanya terlihat sangat indah dalam keadaan kecil.

Sayangnya tidak selamanya perasaan itu abadi. Ketika pesawat landing saya justru benar-benar tidak merasa nyaman. Karena Bandar udara yang saya tuju sangat kecil, beberapa kali pesawat terpaksa melakukan beberapa manuver yang membuat jantung saya berdetak kencang.

Ketika saya melongok ke jendela saya melihat sayap pesawat terasa sangat dekat dengan tanah. Tiba-tiba saya teringat pesan teman saya yang mengatakan agar saya tidak duduk di dekat bagian sayap.

Berkali-kali saya mencengkeram kuat kursi yang saya duduki. Tapi, saya berusaha setenang mungkin agar tidak terlihat panik pada teman sebangku saya di pesawat.

Saya semakin panic, ketika tiba-tiba dari pengeras suara terdengar suara pilot mengumumkan sesuatu. Karena saya benar-benar panic saya tidak mendengar jelas apa yang dikatakan pilot tersebut. Saya malah seakan-akan mendengar sang pilot berkata, “pesawat kehabisan bensin”

Mendengar pengumuman itu saya benar-benar hopeless, apalagi saya melihat dari ujung sayap keluar asap putih (yang saya enggak tahu apa artinya sampai sekarang).

Beruntung, setelah maneuver yang gila-gilaan itu akhirnya pesawat mendarat mulus juga. Saya pun bisa menarik napas lega,dan bisa melangkah keluar dengan selamat, meski saat itu masih sedikit dihantui dengan perasaan yang kacau balau.

Setelah pengalaman pertama itu saya memang masih terasa was-was ketika saya harus pulang kembali ke Jakarta dengan pesawat. Beruntung, ternyata perjalanan pulang tidak sebegitu menakutkan perjalanan pertama.

Di atas pesawat saya menyadari bahwa di atas semua keinginan kita memang butuh pengorbanan yang besar untuk merasakan atau mendapatkan itu semua.

Tuesday, February 21, 2006

Hindari Rumah Pondok Indah

Image hosting by Photobucket

Judul : Rumah Pondok Indah
Sutradara : Irwan Siregar
Produksi : Indika Entertainment
Pemain : Asha Sara, Ricky Harun, Chintami Atmanagara, Ruhut Sitompul.

Beberapa waktu lalu teman saya pernah memberi komentar, bahwa Sinemaindonesia tutup karena tidak sanggup lagi membuat resensi-resensi film Indonesia setelah film Jomblo keluar. Setengah bercanda dia mengatakan film Rumah Pondok Indah lah yang membuat Sinemaindonesia kolaps dan ketakutan buat resensi. Soalnya, mereka sudah kehabisan kancut untuk merating film garapan Sutradara Irwan Siregar ini.

Sebelum film ini beredar, jauh-jauh hari saya memang tidak punya keinginan kuat untuk menonton film ini. Soalnya, saya sudah cukup trauma dengan film-film garapan Indika Entertainment.

Tapi, sekali lagi keinginan untuk menonton film secara gratis itu justru lebih kuat dibandingkan trauma yang saya alami. Susah memang menolak hal-hal yang serba gratis.

Akhirnya dengan berbekal semangat 45 saya pun langsung nonton film tersebut. Sebagai catatan, saya ingat bahwa sutradara Irwan Siregar adalah sutradara serial sinetron berjudul Permata dan Permana. Sinetron yang menurut saya menarik karena mengupas kisah tentang dua orang pria yang berubah jadi seorang transeksual karena ingin gampang cari duit.

Film Rumah Pondok Indah bercerita tentang sebuah rumah yang sepertinya mempunyai kutukan. Setiap keluarga yang menghuni rumah tersebut akan mengalami bencana. Dari rumah tersebut lah segala bencana dimulai. Pertama, seluruh keluarga mati dalam waktu 1x24 jam. Setelah itu, penghuni selanjutnya diteror oleh hantu yang berada di rumah tersebut.

Dari segi tema cerita, saya memang mengakui bahwa ide cerita yang dibawakan memang sangat menarik. Soalnya, anggapan bahwa setiap rumah mempunyai hantunya masing-masing adalah mitos yang sudah lama kita dengar dari kecil. Jadi tidak heran, setelah sekian lama film Rumah Pondok Indah keluar dan berbicara tentang rumah-rumah yang berpenghuni. Apalagi film ini ditempeli dengan kasus fenomenal yang mengejutkan masyarakat kota Jakarta, yakni hilangnya seorang penjual nasi goring di sebuah rumah di Pondok Indah.

Sayangnya eksekusi film ini benar-benar mengecewakan. Secara pribadi saya menganggap film ini adalah film yang paling annoying selama karir saya menonton film. Soalnya, di film ini kita bukan lagi dibikin takut dengan penampakan-penampakan setan, tapi malah dikejutkan dengan suara score musik yang tiba berdentum kencang. Saran saya, kalau mau nekat nonton film ini sebaiknya membawa penutup kuping.

Selain itu akting para pemeran filmnya juga tidak terlalu bagus. Saya yakin mereka tidak perlu menghapal terlalu banyak. Soalnya, sepanjang film berlangsung kalimat yang paling banyak keluar cuma dua yakni ketawa cekikan, sama Elsi kemana? Elsiiiiii……..

Entah karena terlalu obsesi dengan film Exorcist, saya sangat aneh ketika adegan kesurupan berlangsung. Ketika pemeran utamanya kesurupan, saya seperti mendengar suara motor RX King yang tengah digas kencang-kencang dari mulutnya. Sudah begitu, pake adegan terbang lagi plus cahaya yang keluar. Berlebihan banget.

Sayang, dari semua kesalahan itu, sang sutradara justru melupakan hal yang paling detil dan seharusnya tidak boleh terlewatkan. Yakni, sang sutradara lupa untuk menghadirkan Susana wilayah Pondok Indah dalam film ini. Boleh saja film ini berjudul Rumah Pondok Indah, tapi sepanjang film saya benar-benar tidak merasakan tanda-tanda lokasi Pondok Indah. Mungkin, karena terlalu asyik bermain-main horror termisteri, sutradara lupa akan detil lokasi.

My Dream

Image hosting by Photobucket

Semua orang mempunyai impian, tanpa terkecuali. Bahkan termasuk 600 juta orang dengan kemampuan berbeda (difabel) yang ada di dunia.

Kemarin, saya menghadiri acara konferensi pers Konser My Dream, China Disable Peoples’s Performing Art Troupe, di Hotel Alila. Dari tajuknya saya memang sudah bisa mendapat gambaran bahwa dalam konser ini kita akan disuguhkan aksi-aksi orang-orang yang mengalami kemampuan berbeda dibandingkan saya.

Tapi, jujur saja saya datang ke sana bukan karena hati saya tergerak untuk menyaksikan aksi tersebut. Saya datang ke sana karena kebetulan yang menjadi spoke person dalam acara tersebut adalah Dewi Yull dan anaknya, Giszka. Karena factor butuh beritalah, makanya saya menyempatkan waktu datang ke hotel yang ada di Jalan Pecenongan itu.

Begitu sampai di lokasi, seperti biasa saya langsung melakukan ritual rutin ketika hadir dalam konferensi pers, yakni makan-makan. Setelah puas makan, saya langsung masuk ke ruangan.

Awalnya, saya membaca-baca sedikit buklet yang diberikan penerima tamu di pintu masuk. Tapi, saya sama sekali tidak mendapat gambaran tentang China Disable Peoples’s Performing Art Troupe. Yang ada justru sebuah majalah, yang isinya menceritakan tentang kegiatan kemanusian Yayasan Tzu Chi Indonesia.

Namun, setelah konpers berjalan, perlahan-lahan saya mulai dikenalkan dengan apa itu China Disable Peoples’s Performing Art Troupe. Begitu mulai, saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekaguman saya.

Sebuah video yang menceritakan perjalanan mereka benar-benar membuat saya kagum tersentuh dan hampir menitikkan air mata. Beruntung suasana ruangan sangat gelap, jadi mata saya yang berkaca-kaca tidak terlalu kelihatan.

Video itu memang hanya menampilkan slide-slide gambar perjalanan hidup aktor dan aktris China Disable Peoples’s Performing Art Troupe. Saya memang sudah terbiasa melihat orang-orang yang cacat di Jakarta seliweran ke sana kemari. Dan saya benar-benar merasa biasa dengan kehadiran mereka.

Namun, kali ini beda, saya benar-benar merasa kalah dan jauh sekali kelasnya dibandingkan mereka. Banyak hal yang membuat saya tersentuh melihat mereka, di antaranya adalah semangat mereka menggapai cita-cita mereka.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa seorang imbisil ternyata bisa menjadi seorang composer handal. Siapa nyana, bahwa aksinya di atas panggung justru lebih memikat ketimbang composer-komposer lainnya. Bahkan, menurut saya aksi dia jauh lebih berjiwa.

Banyak cerita lainnya yang membuat saya benar-benar merasa tersentuh. Cerita-cerita lainnya justru makin menghakimi saya yang selama ini selalu beranggapan bahwa kecacatan adalah sebuah akhir dunia.

Nyatanya itu salah, apapun bisa terjadi di dunia ini. Dunia bukanlah sebuah hukum pasti layaknya ilmu-ilmu ilmiah yang kita dapatkan semasa sekolah. Apapun keadaan kita ketika dilahirkan di dunia ini. Dunia adalah tempat kita berjuang untuk mendapatkan cita-cita dan impian kita.

Semua orang memang mempunyai impiannya masing-masing. Tidak terkecuali bagi mereka sendiri yang mempunyai kemampuan berbeda. Dan kali ini saya benar-benar percaya bahwa impian benar-benar akan berkerja jika kita percaya. There’s only miracle when you believe.

Sunday, February 19, 2006

Fuck U Ananda Mikola

Image hosting by Photobucket

Masak ada yang mengusulkan pembalap perempuan untuk menjadi pembalap kedua. Perempuan kok disuruh balap.Gue mau saja ada pembalap kedua, tetapi harus yang berkualitas. Bukannya gue mau meremehkan, tetapi sekali lagi, olahraga ini enggak gampang dan enggak murah. Orang harus total untuk terjun di sini dan butuh pengorbanan besar seperti yang sudah gue alamin. Masalahnya adalah tidak ada Nanda-Nanda lain di Indonesia saat ini. (Ananda Mikola, Kompas 19 Februari 2006, Hal 25)

Minggu pagi, seperti biasa saya selalu menyempatkan diri membaca koran. Selain Koran Seputar Indonesia, setiap hari minggu saya memang selalu meminta ayah saya untuk membelikan Koran Kompas.

Kompas Edisi hari minggu memang selalu menarik minat saya. Sebab, selain membandingkan resensi-resensi film yang mereka buat, saya selalu tertarik membaca setiap tema gaya hidup yang mereka kupas setiap hari minggu.

Berbeda dengan edisi-edisi sesudahnya, kompas minggu kemarin benar-benar membuat saya marah besar. Bukan karena beritanya yang tidak berkenan dengan hati saya tapi karena ada sebuah berita yang menceritakan tentang kegelisahan Ananda Mikola setelah gagal total di ajang A1 Grand Prix, Sentul beberapa waktu lalu.

Awalnya, memang sangat mengasyikkan membaca berita tersebut. Disitu digambarkan dengan gaya yang mewah, Ananda Mikola masih sempat mengendarai mobil Porsche Cayenne di Sirkuit Sentul. Saya tidak mau menggambarkan betapa mewah dan luar biasanya gaya hidup anak botak satu ini. Tapi yang bikin saya marah, justru kalimat yang diucapkan Nanda-panggilan akrab Ananda Mikola, yang saya tulis di atas.

Sungguh, saya tidak pernah bisa membayangkan kata-kata itu bisa keluar dari seorang olahragawan seperti Nanda. Dunia olahraga yang menjunjung tinggi ideologi sportifitas justru diinjak-injak dan diludahi setelah pria kelahiran Jakarta, 27 April 1980 ini mengucapkan kata-kata tersebut.

Saya sedikit heran, apakah karena helm Nanda sedemikian sempitnya, hingga dia tidak bisa menggunakan otak yang ada di kepalanya dengan baik dan benar. Apakah dia tidak tahu bahwa wanita juga bisa membalap.

Apakah matanya memang cuma digunakan untuk membaca trek sirkuit, sehingga dia tidak pernah membaca berita, bahwa banyak pembalap-pembalap wanita yang berlaga di ajang balap mobil. Sayang, mungkin matanya terlalu rabun karena selalu masturbasi. Atau mungkin, dunianya sangat sempit sehingga dia tidak bisa menyadari bahwa ada yang lebih baik dibandingkan dirinya.

Setelah puas membaca sampai habis, saya benar-benar harus berpikir keras kenapa Nanda bisa mengucapkan kata-kata itu. Awalnya, saya menduga bahwa hal itu terjadi karena tekanan yang disandang Nanda sangat berat, sehingga dia gelisah dan benar-benar kecewa ketika kalah.

Harapan banyak orang yang gagal ia luluskan membuat dirinya terbawa emosi dan stress berat. Padahal, setahu saya dia sendiri yang sesumbar bahwa Sirkuit Sentul adalah halaman belakang rumahnya,secara yang bikin adalah bapaknya dan rumahnya ada di Sentul juga. Mana ada orang Indonesia yang mempunyai ekspektasi tinggi terhadap Nanda untuk memenangkan lomba tersebut. (Kecuali bapaknya mungkin).

Tapi, setelah membaca semua isi berita saya mengerti bahwa kata-kata tersebut keluar karena beban berat yang ia sandang. Kata-kata itu justru keluar dari keegoisannya, kearoganan atau mungkin tidak kedewasaan Nanda.

Nanda yang seharusnya bisa legowo akan kekalahan tersebut, justru menyalahkan banyak pihak dalam berita tersebut. Yang pertama, Media massa yang menurutnya tidak fair dalam memberitakan keberhasilan dirinya menjadi pembalap tercepat ketiga dalam balapan tersebut.

Nanda mengatakan bahwa dirinya bisa menang, namun karena factor luck saja makanya dia tidak menang. Nanda malah menambahkan bahwa semua orang selalu melihat posisi akhir dalam ajang balap mobil. Nanda membela banyak factor yang membuat seorang pembalap gagal, misalnya tabrakan.

Saya cuma bisa ketawa membaca pernyataan Nanda. Dimana-mana ukuran lap tercepat enggak bakalan membuat seseorang dikatakan bisa jadi juara balap. Lha wong, dianya juga cuma bisa sekali bikin catatan waktu terbaik itu. Aneh ya Nanda, aneh banget elu.

Terus soal tabrakan, Nanda mungkin lupa kali ye, sudah berkali-kali dia tabrakan di ajang AI Grand Prix. Enggak terhitungkan, di Durban, Afrika Selatan aja dia langsung tabrakan di lap pertama. Aduh, Nanda jangan karena elu tabrakan terus dong jadinya elu kehilangan ingatan. Untuk jadi perhatian, foto di atas justru diambil ketika Nanda terjung di ajang F3 Asia, lagi-lagi Nanda sial, tabrakan mulu.

Kedua, Nanda menyalahkan pemerintah yang kurang serius membantu perkembangan dunia balap Indonesia. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Sudah berapa banyak uang yang dihabiskan pemerintah untuk memenuhi ambisi Nanda dan bapaknya itu.

Mulai dari sirkuit sentul yang gagal total itu. Hingga Pertamina yang terus-terusan merogoh koceknya agar Nanda bisa pamer barang di depan umbrella girl seluruh dunia.

Ketiga yang paling fatal adalah cara Nanda menghilangkan persaingan dengan mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak membalap.

Terus terang, saya bukanlah seorang feminis. Tapi, saya benar-benar merasa marah akan ucapan nanda. Nanda, tidak berhak mengatakan bahwa perempuan tidak boleh balapan.

Keegoisan Nanda memang sangat terasa di berita tersebut. Nanda mengatakan bahwa tidak ada Nanda-Nanda lainnya di Indonesia. Soalnya, menurut Nanda, tidak ada orang lain yang segila babenya yang menyiapkan Nanda menjadi seorang pembalap. (hihihihi, kacau nih babenya sendiri dibilang gila).

Dari kegoisan itulah timbul kearoganan Nanda. Tanpa disadari Nanda mengatakan bahwa babenyalah yang paling berjasa di dunia mobil balap ini.

Ibu saya yang seorang mantan guru malah jadi orang yang paling berang dengan ucapan-ucapan nanda. Ia malah meminta saya untuk segera membuat surat protes kepada Nanda tentang berita tersebut. Bahkan, judul untuk surat protes itu pun sudah ia buat, judulnya, Jangan Ngomong Nanda, Mulutmu Bau.

Saya sebenarnya pengen banget marah-marah sama Nanda. Tapi, setelah mikir-mikir saya langsung teringat kalau Nanda itu memang tidak makan bangku sekolahan (itu diakui sendiri oleh Nanda bahwa dirinya meninggalkan bangku sekolah).

Jadi saya merasa wajar jika Nanda mengucapkan kata-kata tersebut. Ah, jangan-jangan dugaan saya malah benar lagi, si Nanda ini malah enggak bisa membaca sama sekali. Jadi miskin informasi dan miskin pergaulan, Nanda-Nanda kasihan kali kamu nak. Ditinggalin Wulan Guritno susah kali ye, jadi kagak bisa cuci barang, makanya stress berat.

Thursday, February 16, 2006

Gue Kapok Jatuh Cinta


Image hosting by Photobucket


Judul : Gue Kapok Jatuh Cinta
Sutradara : Thomas Nawilis dan Awi Suryadi
Produksi : 27 Ant

Ada banyak motivasi seseorang untuk menonton film. Biasanya yang paling sering terjadi adalah sekedar mencari hiburan. Selain itu ada juga beberapa orang yang menghabiskan waktu menonton film hanya untuk menghabiskan waktu lowong.

Jika option terakhir itu terjadi pada Anda, ada baiknya menonton film Gue Kapok Jatuh Cinta (GKJC). Film yang disutradarai oleh Thomas Nawilis dan Awi Suryadi ini memang cukup pantas untuk jadi tontonan pengisi waktu luang. Itu pun bisa terjadi jika Anda mempunyai sedikit kesabaran, dan bisa mempunyai sedikit rasa toleransi yang tinggi bagi orang-orang yang bekerja di balik film ini.

Setidaknya itu perasaan yang saya alami ketika hendak menonton film GKJC. Meski tiket gratis sudah ada di tangan, saya benar-benar merasa bingung memutuskan untuk nonton atau tidak.

Hati saya memang terasa berat untuk menonton film ini. Soalnya, seorang rekan wartawan saya mengatakan bahwa sang sutradara, Thomas Nawilis, sepertinya tidak serius sekali menggarap film ini.

Kebetulan teman saya itu pernah datang langsung ke lokasi syuting film GKJC. Dia bilang ke saya, kalau Thomas cuma bisa diam saja di lokasi syuting dan malah membebankan tugas penyutradaraan tersebut kepada kameramen film.

Terus terang saya langsung kaget begitu mendengar kabar itu. Saya heran, kenapa seorang sutradara bisa tidak serius menyiapkan sebuah film. Apalagi film ini adalah film perdana Thomas di dunia penyutradaraan.

Namun, karena saya benar-benar berusaha untuk menghargai film ini akhirnya saya mau meluangkan waktu untuk menonton film ini.

Secara keseluruhan film Gue Kapok Jatuh Cinta adalah film yang judulnya paling senada dan seirama dengan cerita di film. Bahkan, di antara film-film Indonesia yang telah beredar sebelumnya, film ini adalah film yang tepat secara penjudulan. Bisa jadi, itu adalah kelebihan yang paling utama bagi film ini.

Ketika diwawancara oleh beberapa wartawan, Thomas mengatakan bahwa film ini adalah film drama mature. Saya sangat setuju dengan pernyataan Thomas. Saya rasa bahwa film ini akan sangat sulit sekali mendapatkan ekspektasi yang sangat tinggi dari para ABG di Indonesia. Tapi, saya menghormati apa yang dikatakan Thomas, setidaknya dia berusaha jujur bahwa film ini sebaiknya tidak ditonton oleh para ABG Indonesia.

Jalan cerita yang disuguhkan GKJC memang bukan cerita yang baru. Kisah seorang pria yang putus asa akan cinta memang sudah sering kita tonton berkali-kali. Banyaknya karakter juga membuat film ini terlalu lelah untuk diikuti. Sebab, masing-masing karakter mempunyai cerita-cerita yang sangat detil dalam film itu. Akibatnya, tentu saja kita akan kebingungan untuk menentukan arah film ini selanjutnya.

Entah bagaimana, saya jadi teringat buku Imperia yang dikarang Akmal Nasery Basral yang hampir semua bagian dari ceritanya diurai dengan sangat detil. Bedanya, Imperia yang saya dengar akan dijadikan sebuah film menjadi menarik karena unsur suspense dan thriller yang ada dalam buku tersebut.Sayangnya, film ini tidak bisa melakukan hal yang sama seperti yang Akmal lakukan.

Beruntung masih ada bagian lain yang bisa menghibur saya selama menonton film ini. Semua tokoh yang ada dalam film ini berakting dengan gaya yang sangat natural. Mungkin karena mereka adalah new comer dalam dunia film membuat mereka bermain dengan lepas. Selain itu saya sangat senang dengan pergerakan kamera dan cinematography yang ada dalam film ini. Meski kadang-kadang berlebihan, gambar yang dihasilkan dari film ini sangat memanjakan mata.

Tips saya bagi yang kepengen menonton, usahakan bawa makanan yang sangat banyak atau minimal perut sudah dalam keadaan kenyang.Sebab, film ini bagusnya dinikmati dalam keadaan yang sangat-sangat santai.

Monday, February 13, 2006

Tiga Cinta di Hari Ini

Image hosting by Photobucket

(I)

Hidup memang selalu menyimpan tanda tanya. Dalam setiap lembaran hidup selalu ada kejutan dalam setiap halamannya. Ketika halaman terbuka, kita tak pernah bisa membaca ke mana arah hidup sebenarnya.

Setelah lima tahun bersamanya, saya tidak pernah menyangka kita benar-benar bisa berpisah. Ketika semuanya berjalan untuk satu kebahagiaan, tiba-tiba saja semuanya berubah dan yang tersisa cuma kenangan yang ada di belakang.

Kita yang dulunya selalu bersama seia sekata, sekarang malah tak pernah untuk berjumpa. Dulu, kita saling berbagi senyuman, berbagi cubitan dan berangkulan tangan. Sekarang, yang tersisa cuma rasa kehilangan, yang ada di sudut ruang terdalam hati saya.

Saya memang tidak pernah menyangka, ketika 5 tahun bersama, saya dan dia harus dihadapkan pada sebuah kenyataan, kita memang sulit untuk disatukan. Perbedaan memang bukan jadi alasan yang paling tepat kenapa kita harus memutuskan untuk berbalik arah dan saling membelakangi. Namun, perbedaan jadi semakin sulit untuk dipahami ketika ego kita ingin berdiri sendiri-sendiri.

Bulan Februari dulu adalah bulan di mana kita selalu bernyanyi bersama. Saya ingat, dia pernah menyanyikan sebuah lagu indah di depan saya, Cinta Jangan Kau Pergi. Jantung saya bergetar, hati saya menggelepar dan kesadaran saya pun tepar.

Tak pernah ada orang lain yang menyanyikan lagu itu sebagus kamu. Dan saya tahu tak pernah ada cinta lain seindah cinta kamu.

Kini, tepat di hari valentine ini, justru saya kehilangan semua itu. Yang sebenarnya, saya telah kehilangan dirinya.

Saya tak pernah tahu, apakah kita akan kembali bertemu dan tetap mengatakan aku cinta kamu selalu seperti dulu, atau kita hanya berdiam diri dan tetap menunggu hingga satu di antara kita dapat mengalah dan bisa menempatkan rasa cinta kita di atas segalanya.

Di hari Valentine ini memang tak semua orang harus berbahagia. Aku tahu ada tetes air mata di pelupuk matamu ketika mengingat kisah kita. Dan kamu pun pasti tahu, bahwa aku juga begitu.

(II)

Hari ini aku bilang cinta kepadanya. Di malam ini tepat jam 12 malam aku ucapkan kata yang paling indah yang bisa membuatnya mimpi indah ketika tidur nanti.

Ketika pagi menjelang, ku harap kata-kata itu masih terngiang. Dan semoga kebahagiaan meliputi rasa cinta kita seperti bulan bertemu dengan bintang.

Pertama kali berjumpa, aku tahu bahwa ada cinta di dada. Dunia pun terasa indah, ketika saya bisa mengenal dirinya lebih dalam. Dan dunia semakin bercahaya ketika kau sirami dengan perasaan cinta.

Aku pernah ingat dia adalah wanita yang paling cantik ketika matahari datang. Tanpa kehadirannya, waktu terasa jemu dan serasa layu.

Tak pernah ada gadis seindah dirimu. Kau adalah lukisan pagi yang mampu menerbangkan indahnya harapan bagi diriku. Ku damba selalu kedatanganmu.

Cinta kita akan abadi, seperti datangnya siang dan malam hari. Waktu boleh berganti, tapi cinta ini tak akan pernah mati.

Di hari valentine ini memang tak semua orang harus berbahagia. Namun, setidaknya itu bukan cinta kita. Dan kamu pun tahu kita memang akan selalu bersama.

(III)

Aku hanya bisa menatapmu. Di malam ini aku cuma hanya sanggup memikirkan keadaanmu. Semilir angin ku harap bisa berbisik ke telingamu, akan semua isi perasaanku.

Kau adalah segalanya bagiku. Kau lah jawaban akan semua rahasia dalam hidupku. Namun, aku tak pernah bisa mengetuk pintu hatimu. Karena kau selalu jauh dalam genggamanku.

Setiap kali bertemu, aku tak kuasa melihat indah tubuhmu. Gerak lakumu seakan membiusku hingga membuat bibirku terasa kelu. Bahkan jantungku seakan berhenti berdegup agar bisa mengabadikan setiap inci wajah cantikmu.

Bayanganmu selalu menyentuh alam bawah sadarku. Bahkan nafasmu telah menembus seluruh nadi darahku. Hanya saja cinta ini tak mampu mendobrak keberanianku untuk mengatakan aku cinta kamu.

Hidup adalah pertalian nasib, dan cinta adalah pertalian rasa. Meski tak pernah terasa, tapi aku selalu bisa menulis perasaan ini dalam hati. Aku mengerti cinta ini akan selalu terukir abadi. Sebab, hanya cinta sejati yang mampu menyapa hati.

Di hari valentine ini memang tak semua orang bisa berbahagia. Namun, aku bukan di antaranya. Karena aku bahagia ketika kau bisa merasa bahagia.

Friday, February 10, 2006

Horror Politik Gaya Hanung Bramantyo

Sebuah majalah mahasiswa menyimpan misteri besar yang bersinggungan dengan sejarah kelam negara ini. Sejumlah mahasiswa jadi pintu pembuka misteri tersebut.

Sore hari saya dapat SMS dari teman saya Marwan. SMS itu berisi pesan yang mengatakan akan ada syukuran film berjudul Lentera Merah yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

Terus terang saya kaget sekaligus kagum. Soalnya, tidak lebih dari waktu sebulan, Hanung sudah langsung memproduksi film baru.

Namun, saya tidak terlalu antusias karena melihat Rapi Film yang akan memproduseri film tersebut. Terus terang, Rapi Film bagi saya kurang begitu berhasil dalam membuat film layar-layar lebar. Sebelum Lentera Merah, Rapi Film pernah mengeluarkan film Joshua oh Joshua dan Inikah Rasanya?

Kedua film itu sama sekali tidak mendapat respon yang bagus dari pasar. Selain itu, kualitas film yang ditampilkan juga sangat tidak menjanjikan.

Saya sendiri heran kenapa Hanung mau-maunya bergabung dengan Rapi Film dan tidak dengan production house lainnya macam Sinemart atau Kalyana Shira Film milik Nia Dinata. Namun, setelah menghadiri acara syukuran tersebut saya sedikitnya bisa optimis melihat Hanung bergabung dengan Rapi Film.

Hanung mengatakan bahwa dengan Rapi Film, dia bisa mewujudkan kenyataannya memproduksi film horror pertama dalam karirnya. Sutradara perain Piala Citra 2006 ini memang tidak main-main untuk membuat film horror.

Selain karena jadi kesempatan pertama, Hanung ternyata punya keinginan dalam untuk merubah paradigma film horror Indonesia yang selama ini berkembang. Hanung mengatakan film horror di Indonesia dari dulu tidak pernah berkembang . Dari dulu hingga sekarang film horror lebih banyak focus dan intens pada penampakan-penampakan.

Berkaca dari film Shutter, Hanung mengaku ingin membuat film horror yang sama. Intinya membuat suasana jadi sangat mencekam hingga tercipta rasa ketakutan yang amat dalam.

Selain itu Hanung juga membuat film ini semakin berbeda karena unsur muatan politis yang ada di dalam film tersebut. Kalau Misteri Rumah Pondok Indah jadi Film Misteri Terhorror maka bisa jadi Lentera Merah adalah film horror yang paling politis.

Film ini menurut Hanung adalah film yang bercerita tentang sebuah majalah kampus bernama Lentera Merah yang terbit sejak tahun 1960-an. Meski majalah kampus, Lentera Merah justru mempunyai kekuatan politis yang sangat kuat dalam pergerakan mahasiswa. Namun, di balik kekuatan tersebut ternyata Lentera Merah mempunyai sejarah kelam yang tidak pernah orang sangka sebelumnya.

Hanung mengatakan kepada saya bahwa judul Lentera Merah diambil dari judul tulisan Soe Hok Gie yang berjudul Di Bawah Lentera Merah. Sedangkan, majalah kampus yang jadi focus utama film ini adalah majalah Bulak Sumur terbitan mahasiswa Universitas Gajah Meda yang menurut Hanung mempunyai posisi politis yang sangat penting bagi mahasiswa di Indonesia.

Mendengar penjelasan tersebut saya sendiri benar-benar terhibur. Dari segi ide cerita, Hanung memang terlihat sangat tidak main-main. Dia mempunyai konsep yang sangat jelas dan berani tampil beda. Ia juga mempunyai motivasi yang kuat untuk mengubah pandangan pencinta film Indonesia tentang film horror di Indonesia.

Saya rasa saya harus berharap tinggi akan film ini. Soalnya, maaf-maaf saja, saya sudah bosan dengan film-film horror di Indonesia yang hanya didominasi oleh satu orang nama saja yakni Koya Pagayo aka Pingkan Utari aka Nayato Fio Noula aka Chiska Doppert.

THE FACT :

- Nama Lentera Merah diambil dari judul tulisan Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah

- Lokasi Syuting ada di Departemen Pertanian dan Universitas Negeri Jakarta di Rawamangun

- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba menolak dijadikan lokasi syuting karena bukan digunakan untuk sarana pendidikan.

- Hanung bakal jadi cameo dalam film ini

- Hanung sering bolak-balik Perpustakaan Nasional untuk mempelajari arsip-arsip berita tahun 1960-165

- Film ini adalah film test case Hanung untuk proyek yang lebih besar lagi yakni film yang bercerita tentang tragedy G30S-PKI.

Thursday, February 09, 2006

Perjalanan Ke Hati Manusia

Image hosting by Photobucket

Judul : The Road Home
Sutradara : Zhang Yimou
Pemain : Zhang Ziyi, Hao Zheng

Kemarin secara tidak sengaja gue mampir ke Taman Ismail Marzuki. Rencananya mau menghadiri operet Tolak Beras Impor yang digagas Rieke Diah Pitaloka.

Namun, begitu sampai di depan pelataran TIM, gue langsung tertarik sama poster besar di depan papan iklan bioskop TIM 21. Di teater 1 tertulis poster ArtCinema dengan latar belakang Tugu Monas.

Awalnya, gue berpikir bahwa ini pasti film dokumenter yang sengaja dipublish sama anak-anak Institut Kesenian Jakarta. Soalnya, banyak banget film yang mereka hasilin ditayangin di TIM 21.

Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya begitu motor gue parkir, gue langsung membelokkan langkah kaki. Awalnya sih mau ke teater kecil, tapi akhirnya gue langsung menuju ke TIM 21.

Begitu sampai ke TIM 21, gue langsung terkesiap, ternyata ArtCinema itu bukanlah film yang dihasilkan anak-anak IKJ. ArtCinema itu adalah rangkaian penayangan film-film yang dihasilkan oleh sutradara-sutradara kenamaan asal Hong Kong seperti Zhang Yimou dan Chen Kaige.

Namun, film-film yang ditayangkan di ArtCinema ini bukanlah film-film tahun ini yang mereka hasilkan seperti halnya The Promise dan Crouching Tiger Hidden Dragon. Film-film yang ditayangkan di ajang ini adalah film-film art dan romantic garapan kedua sutradara handal tersebut. Contohnya, film fenomenal berjudul Farewell My Concubine milik Chen Kaige dan Road Home milik sutradara Zhang Yimou.

Kebetulan karena memang penasaran dengan film-film mereka gue pun langsung berusaha memesan tiket. Sayangnya, pemesanan tiket tersebut bukan lewat jalur TIM21. Di papan pengumuman ada contact person bernama Putri yang harus kita hubungi kalau-kalau mau nonton.

Sialnya, setelah gue hubungi ternyata pemutaran film tersebut dimulai jam 9 malam. Semakin parah, karena gue udah ada di TIM jam 5 sore.

Karena ngotot untuk nonton, akhirnya gue berusaha menghabiskan waktu dengan nonton film di TIM 21. Awalnya, udah kepikiran mau nonton Underworld Evolution. Soalnya, di kantor gue ekspektasi teman-teman akan film ini sepertinya luar biasa banget. Jadi tertarik untuk membuktikan.

Parahnya, gue sial lagi. Film yang diperani Kate Beckinsale itu udah mulai lama. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa akhirnya gue memilih nonton film Aeon Flux (gue bacanya A-e-on tahu-tahunya dibaca Iyon,hehehe) untuk mengisi waktu.

Piliha Secara di film itu pemeran utamanya adalah Charlize Theron. Jujur, waktu mau nonton film Aeon Flux bayang-bayang di otak gue sudah tercetak akting gila-gilaan Theron seperti di film Monster dan akting yang mengharu biru layaknya di North Country.

Namun, harapan gue jauh banget dari kenyataan. Gue hampir ternganga ketika melihat credit title film yang langsung memajang nama MTV Production. Yah sudahlah gue enggak perlu berlama-lama menjelaskan film yang hampir mirip The Matrix dan Mission Impossible ini.

Setelah selesai nonton Aeon Flux, gue pun langsung bergegas masuk ke studio 1. Soalnya, ArtCinema sudah mau mulai.

Kali ini film yang digelar adalah Road Home milik Zhang Yimou. Bagi para penggemar Zhang Ziyi, kayaknya nih film harus ditonton. Di film ini Zhang Ziyi tampil tanpa dandanan norak kayak di film-film sebelumnya. Jujur, di film ini Zhang Ziyi benar-benar menggemaskan dan terlihat sangat natural.

Film The Road Home, mengingatkan saya dengan film Constant Gardener yang baru-baru ini tayang di layar bioskop. Temanya sama, kisah seseorang yang berjuang untuk bersama orang yang ia kasihi. Bedanya, di Constant Gardener pelaku cinta adalah seorang pria dan love interetnya sudah mati, sedangkan di The Road Home adalah seorang wanita, Zhao Di (Zhang Ziyi) dan film ini bercerita tentang perjalanan hati Zhao Di untuk memberikan yang terbaik bagi pria yang ia kasihi, Luo Changyu.

Sebenarnya cerita yang disajikan Zhang Yimou memang simple. Namun, sutradara Not One Less ini benar-benar menyajikannya dengan penuh gaya dan sangat puitis.

Di film ini energi saya benar-benar terkuras untuk menyelami perasaan Zhao Di yang terpaksa berpisah dengan kekasihnya karena ikut pergerakan politis. Saya juga menghayati perjalanan Zhao Di agar bisa bersama kekasihnya lagi.

Narasi yang dibacakan Zhao Di juga membuat suasana makin dramatis. Saya seakan-akan diajak untuk mempelajari hati Zhao Di dengan perasaan cintanya yang meluap-luap. Cinta memang buta, namun Zhao Di punya alasan yang sangat istimewa kenapa dia ingin menghabiskan cintanya hanya untuk kekasihnya hatinya.

Bagi yang ingin bulan Februari ini jadi lebih romantis, kayaknya film ini bener-bener kudu ditonton. Di film ini kita bisa mengetahui apa arti dan rahasia sebuah kata bernama cinta.

Tuesday, February 07, 2006

Fresh From the Oven

Image hosting by Photobucket


Jomblo

Produksi : Sinemart
Sutradara : Hanung Bramantyo
Pemain : Agus Ringgo, Christian Sugiono, Denis Adhiswara dan Rizky Hanggono

Jujur, saya sempat merasa hopeless ketika saya gagal menghadiri pre-screening film Jomblo bagi para wartawan. Soalnya, secara kebetulan, jatah nonton film gratis itu jatuh pada teman saya satu desk. Saya terpaksa berbesar hati memberikan jatah tersebut karena sebelumnya saya memang telah dapat bagian menonton film Realita, Cinta dan Rock N Roll.

Esoknya, saya jadi dibikin penasaran akan film garapan Hanung Bramatyo tersebut. Kebetulan, 3 dari 5 teman saya mengatakan bahwa film ini memang bagus dan layak tonton.

Waktu itu saya memang merasa was-was. Soalnya, saya juga ingin ikut membuktikan apakah film yang dibuat sutradara peraih Citra 2005 itu memang worth it atau tidak. Selain itu saya juga kebingungan untuk mencari cara bagaimana caranya menonton film itu dengan gratis. Bukan apa-apa, soalnya saya memang agak selektif untuk mengeluarkan uang untuk menonton film Indonesia.

Beruntung dan sekali lagi beruntung, saya mendengar bahwa malam kemarin ada malam gala premiere Jomblo di Studio XXI Plaza EX. Melihat kesempatan tersebut dengan semangat 45 saya langsung mendatangi lokasi yang memang berdekatan dengan kantor saya bekerja. Meski sangat lelah karena harus menyetor berita terlebih dahulu akhirnya tiket gratis pun sampai ke tangan saya juga.

Film Jomblo sendiri bercerita tentang kehidupan 4 orang remaja bernama Doni, Agus, Olip dan Bimo. Keempat remaja yang kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung, Jawa Barat itu bersahabat sejak mereka masuk kuliah.

Selain mempunyai kesamaan soal selera dan pola piker, keempat remaja ini mempunyai masalah yang sama tentang cinta. Berbeda dengan anak muda zaman sekarang, keempat anak muda ini justru tidak mempunyai kekasih. Bedanya, keempat anak muda itu mempunyai alasan-alasan tersendiri kenapa tidak punya kekasih.

Saya tidak perlu banyak-banyak bercerita tentang film ini. Jika kamu pernah membaca buku Jomblo yang dikarang oleh Adhitya Mulya tentu akan tidak asing lagi dengan jalan cerita ini.

Ketika kita menonton dengan sebuah film yang diadaptasi dari sebuah buku kita akan selalu berhadapan pada masalah yang sama. Apakah cerita film itu sama dengan cerita di buku dan apakah karakter-karakter yang ada di buku bisa terlihat hidup dalam bentuk visual.

Hanung sebenarnya mengetahui masalah ini dengan baik. Dan ia berhasil mengatasi masalah itu dengan memilih orang-orang yang tepat untuk bermain dalam film ini. Sayang, tidak semuanya actor dan aktris yang dipilih oleh Hanung berhasil menghidupkan karakter-karakter yang ada di buku Adhitya Mulya.

Kredit khusus saya sematkan pada Denis Adhiswara dan Agus Ringgo. Pemeran Mamet dalam film AADC? Ini benar-benar sangat total dalam menampilkan sosok Bimo. Pria asal Yogyakarta, yang cuek, apa adanya, nekat tapi juga bermasalah karena kenekatannya itu.

Sedangkan Agus sendiri mampu menjadi sosok yang sangat sentral dalam film ini. Film ini seolah-olah menjadi panggung yang luas bagi Agus untuk menampilkan bakat aktingnya yang sangat besar.

Seperti bukunya, film Jomblo memang benar-benar menyenangkan. It’s truly refreshing.

Kekuatan film ini terletak pada masalah jomblo yang memang bisa terjadi pada siapa saja. Entah siapa seharusnya pujian ini akan saya berikan, yang pasti semua masalah yang terjadi pada film ini sangat dekat dengan keseharian kita.

Menonton film ini seperti melihat cermin besar. Kita bisa melihat diri kita sendiri dan juga membayangkan atau melamunkan masa-masa muda kita yang memang sangat-sangat mirip dengan cerita keempat pemuda ini.

Meski demikian saya jadi merasa kaku ketika merasa bahwa film ini tiba-tiba seperti hendak menerjemahkan setiap inci adegan yang terjadi di buku tersebut. Jadi kalau kamu memang benar-benar sudah membaca buku Jomblo, jujur it’s really nothing new.

Kekuatan Hanung justru terlihat sangat hebat ketika menampilkan adegan-adegan yang tidak ada di buku. Contohnya, ketika Olip merayakan ulang tahun Asri di rumah sendirian sedangkan temannya Doni bermesraan dengan Asri di sebuah diskotik. Sejujurnya, adegan ini benar-benar mengiris hati saya karena saya memanng pernah mengalami apa yang dialami Olip.

Selain itu adegan komikal yang disuguhkan Hanung benar-benar sangat kreatif. Siapa sangka bahwa ketika Bimo fly baik dalam keadaan sedih atau senang, semua dunia berubah jadi karakter perwayangan. Hey, it’s very cool and i can’t stop laughing ketika melihat semua tokoh jadi para wayang.

Sayang, rupanya Hanung keterusan untuk mengadakan sedikit perubahan dari buku ini. Mungkin saja Hanung masih belum ingin memberikan ending yang serba gantung bagi para penonton Jomblo. Ketika saya membaca buku Jomblo, saya benar-benar sangat terperangah di bagian akhir cerita.

Imajinasi saya bergerak liar untuk mengetahui apa yang terjadi dengan para tokoh Jomblo itu selanjutnya. Sedangkan di film ini Hanung malah mematikan imajinasi itu dengan membawa film ini pada jalan yang ia inginkan.

Jujur semangat jomblo yang bisa sedih, gembira, dan putus asa tiba-tiba mati di ujung film. Sebab, just like teen movie in Indonesia, everybody alwas happy.

Saturday, February 04, 2006

Limbung, Larung dan Terkurung

Image hosting by Photobucket

Beberapa hari terakhir saya tidak pernah merasa selimbung ini. Otak tidak bisa diajak berkonsentrasi dan badan pun terlalu lemah untuk digerakkan.

Inginnya merebahkan badan, menutup mata dan beristirahat sejenak. Namun, apa daya tuntutan pekerjaan membuat kita tidak boleh berhenti barang sekejap.

Kejadian beberapa hari terakhir di kantor memang telah membuat semuanya berubah. Baik itu suasana, kinerja maupun keakraban kita.

Kali ini semua orang yang dulunya memandang sebelah mata, justru kini tengah menatap buas ke arah saya dan teman-teman. Entah, tatapan apa yang mereka layangkan. Mereka memang tidak berbicara seolah-olah tak pernah peduli. Tapi mata selalu mengatakan apa yang sebenarnya.

Kejadian kemarin memang sama sekali tidak pernah terkira sebelumnya. Keinginan untuk bertemu dengan penguasa justru berubah dianggap sebagai sebuah rencana makar yang sanggup merusak tatanan moral sebuah istana.

Akibatnya, wajar jika ada sekelompok punggawa yang kemudian merasa tidak nyaman. Kita mengerti, mereka mereka sudah membayar mahal kenyamanan ini dengan menjadikan diri mereka sebagai seorang penjilat.

Kita pun tahu, kenyamanan memang mahal dan tak bisa dibayar. Tapi semua orang mau mendapatkan kenyamanan hingga merendahkan diri mereka sendiri.

Karena tindakan tersebut, seketika status kita pun berubah. Kita yang semula hanya mencari tahu kenapa kita termarjinalkan justru menjadi sekelompok orang pendosa. Bahkan ada yang menyebutkan kita tak tahu cara bersyukur.

Kita pun terluka, dan siapa pun juga tak pernah lagi merasakan hal yang sama seperti yang kita rasakan seperti dulu. Kita pun limbung, larung akan dosa semua dan menunggu terkurung akan hutang budi yang pernah terjadi dalam hidup kita.

Semoga Tuhan ikhlas dan mau menghapus budi baik yang namanya hutang budi. Jujur, ini demi kebaikan seluruh umat manusia.

Thursday, February 02, 2006

Ketika Mimpi Harus Berakhir

Image hosting by Photobucket

Judul : Be With Me
Sutradara : Erick Khoo
Skenario : Wong Kim Hoh
Pemain : Teressa Chan, Ezan Lee, Samantha Tan, Set Keng Yew

Ketika mimpi harus berakhir jangan pernah berhenti untuk berharap. Selama ada kenyataan di samping selalu berdiri harapan.

Film Be With Me adalah film semi biografi tentang kehidupan wanita Singapura Teressa Mary Chan yang cacat pendengaran dan buta. Teressa menderita buta dan tuli ketika berumur 14 tahun.

Ketika tahu dirinya cacat, Teressa benar-benar merasakan hidupnya telah hancur. Cita-citanya untuk menjadi seorang penyanyi opera punah.

Ketika banyak orang menyerah dengan hidup ketika dihadapkan pada kenyataan yang memunahkan mimpi-mimpi mereka. Namun, tidak demikian dengan Teressa.

Wanita yang sekarang membuka Yayasan Be With Me Fund itu tetap terus berharap hidupnya tetap berguna meski dalam keadaan cacat.

Meski bercerita tentang kehidupan Teressa Chan, film yang jadi pembuka ajang festival film Cannes 2005 ini pusatnya ada pada tiga cerita. Pertama, seorang suami yang sedih karena ditinggal mati istrinya, kedua tentang seorang satpam yang jatuh hati pada wanita cantik, dan ketiga tentang kisah cinta seorang pelajar perempuan yang jatuh hati pada perempuan juga.

Kesemua tokoh di film tersebut menghadapi masalah yang sama. Mereka ingin bersama dengan orang yang mereka kasihi. Selain itu, mereka semuanya juga putus asa karena mimpi-mimpi mereka buyar ketika berhadapan dengan kenyataan hidup. Tak bisa bersama dengan mereka.

Suami tua tersebut tidak bisa melawan takdir alam bahwa istrinya harus meninggal dunia karena sakit.
Sang satpam tidak punya keberanian untuk mengatakan cintanya. Dan kedua pelajar wanita itu terpaksa menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa bersama karena salah satu diantaranya menemukan cinta lain pada seorang pria.

Melalui film ini Eric Khoo sebenarnya ingin berpesan bahwa segala kekurangan yang terjadi di dunia ini bukanlah akhir dari dunia. Kekurangan yang kita punya justru adalah bagian

Meski pesan ini sudah biasa kita dengar, namun Eric Khoo menyajikan pesan itu dengan cara yang istimewa. Khoo tak perlu menyajikan adegan-adegan implicit untuk meyakinkan pesan tersebut. Khoo lebih memilih menyampaikan pesan tersebut melalui sebuah mesin ketik yang digunakan Teressa Chan untuk menulis sebuah buku.

Kehadiran mesin ketik itu membuat penonton benar-benar dibimbing untuk menyelami perasaan kesemua tokoh tersebut. Selain itu, Khoo juga sering menampilkan adegan-adegan silent shoot sehingga pembaca bisa langsung membaca bahasa tubuh semua tokoh.

Beruntung Khoo mempunyai actor dan aktris yang benar-benar mempunyai kemampuan prima. Baik ketika berakting dengan dialog dan tanpa dialog.

Jujur, film ini memang benar-benar bukan film yang menghibur seperti layaknya film-film yang pernah tonton sebelumnya. Saya memang tidak terhibur, tapi film ini benar-benar menginspirasi saya.

Mimpi memang selalu berakhir. Bukan hanya dalam kenyataan hidup, bahkan ketika kita terbangun dari tidur mimpi pasti berakhir . Namun, memang itulah yang sebenarnya harus kita lakukan.

Ketika terbangun karena kita harus hidup dan meneruskan mimpi kita dengan meletakkan sebuah harapan di dalam kehidupan.

“Hidup indah itu tidak akan pernah ada jika kita tidak mengerti apa itu hidup sebenarnya,” ungkap Teressa Chan.