Thursday, June 30, 2016

Kakakku, Jendela Hidupku

Kakak, mungkin kakak tidak akan pernah tahu, kakak adalah tempat bagi ku melihat dan membaca dunia. Kakak adalah jendela hidupku. Karena kakak lah aku mampu menjalani hidup ini. Percayalah, setapak demi setapak jalan yang aku jalani mengikuti langkah kaki yang pernah kamu gerakkan.

Kakak, kaset yan berisi kumpulan lagu Queen yang engkau berikan saat aku berulang tahun di usia ke-7 tidak akan pernah aku lupakan. Aku sangat bahagia dengan pemberian itu. Waktu demi waktu aku memutarnya setiap saat. Hingga saat kaset itu rusak, karena terus diputar, aku begitu sedih karena merasa telah merusak pemberianmu.

Kakak, aku selalu ingat dengan ruangan kamar mu dimana engkau berbagi dengan kedua kakakku yang lainnya. Ruangan itu begitu sempit namun kamu buat menarik dengan memasang berbagai poster laki-laki yang tidak aku kenal.  Di antara pose mereka, terdapat tulisan besar-besar, Duran Duran. Aku baru tahu siapa mereka ketika menonton film James Bond A View to Kill yang diperani James Bond.

Kakak, aku pernah merasa malu dengan diriku ketika engkau menegurku karena pernah mengirim surat cinta kepada seorang perempuan di kelasku saat waktu SMP dulu. Aku tidak tahu kenapa mama dan bapak menyuruh kakak untuk menegurku.

Jujur kak, aku menangis karena bukan hanya membuat mama dan bapak marah karena aku terlalu berani untuk ingin berpacaran. Tapi juga karena aku telah mengecewakan kakak yang selalu aku jadi anggap panutan.

Kakak, kamu memang panutan bagi semua. Kamu adalah contoh bagi kami semua betapa kegigihan adalah jalan bagi kesuksesan. Aku sangat bangga ketika kakak memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Sebuah profesi yang akhirnya kini aku jalani juga.

Tahukah Kak, ketika kamu bepergian keluar kota dengan pesawat terbang, aku ingin ikut bukan karena ingin melihat bandara Soekarno Hatta yang dulunya cuma bisa diucapkan bukan didatangi. Aku ingin ikut karena aku ingin melihat Kakak berangkat ke kota-kota yang tidak pernah bisa aku bayangkan. Dan setiap kakak pulang, aku selalu ingin menunggu cerita-cerita yang kamu berikan.

Kini setiap aku pergi kemana pun, selain mengingat kedua orang tua dan istriku, aku selalu mengingat dirimu Kak. Betapa kakak telah memberikan sebuah pelajaran dan kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.

Kakak, aku menangis ketika sebelum meninggal mama memutuskan untuk tinggal di rumah kamu. Bagi mama, kakak memang selalu istimewa. Kakak lah anak pertama yang membuatnya menjadi sempurna, ibu bagi seorang anak dan istri bagi suami yang dicintai.

Kakak memang istimewa, karena tanpa kakak sadari, kakak telah memberika kami, adik-adikmu, bagaimana menjalani hidup ini. Berbahagialah kak hingga akhir nanti. Selamat ulang tahun di hari ini, hanya itu yang bisa saya ucapkan buat kakak.




Tuesday, June 28, 2016

Setiap Pagi di 28 Juni


"Haloo, lagi ngapain kamu? Selamat ulang tahun ya. Semoga kamu baik-baik saja bersama keluarga," suara serak dari seorang pria berusia senja terdengar di balik telepon pintar saya. Suara itu tetap terdengar bahagia, walau pembicaraan antara dia dan saya hanya berlangsung beberapa menit saja. 

Suara itu memang tidak asing bagi saya. Suara yang terbang dari sinyal-sinyal udara itu selalu  tidak lupa hadir  di setiap pagi tanggal 28 Juni. Suara itu hadir guna menyapa saya yang tidak lagi dekat dengannya. 

Sang pemilik suara, ayah saya, dengan ajaibnya di usia yang sudah berkepala tujuh  tidak pernah lupa dengan hari lahir saya. Dan itu selalu dia lakukan kepada kelima anaknya. Entah karena kewajiban atau kerinduan yang sangat mendalam. 

Kini, lima tahun sudah telepon dari dia tidak berdering lagi. Dan saya begitu merindu akan kehadirannya lagi. Suara yang begitu tulus memanjatkan doa bagi anak-anaknya yang tengah berulang tahun. Kini suara itu tidak datang lagi lewat telepon. 

Ayah pergi dengan cara yang begitu tiba-tiba. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa yang membuat ayah meninggal dunia. Di hari meninggalnya, dua hari setelah Lebaran, ayah masih sempat menelpon saya dan bertanya tentang kesibukan saya. 

Di hari itu dia memang sempat meminta saya untuk datang ke rumahnya. "Bapak mau kamu nemenin bapak ke dokter. Kayaknya enggak enak badan," pinta dia. 

Permintaan itu tidak bisa saya amini karena kesibukan kantor sebuah koran nasional memaksa saya harus tetap berada di kantor. "Saya usahakan kalau cepat selesai, saya ke sana. Cuma kalau kemalaman, saya langsung pulang saja ya. Kan ada adik di sana," jawab saya. 

Adik saya memang kebetulan berada di rumah bersama-sama anak-anaknya. Tidak ada rasa sedih karena saya menolak permintaannya. Dia hanya menjawab dengan bahagia. "Jangan kalau begitu, kerjakanlah dengan baik. Jaga kesehatan kamu Amang," 

Sangat jarang Ayah memanggil saya Amang. Dalam Partuturan Batak Toba, kata-kata Amang diucapkan bagi para lelaki yang dianggap lebih tua dalam keluarga. Kata Amang juga diucapkan bagi pria yang bisa dihormati. Saya tidak mengerti kenapa Ayah memanggil saya dengan sebutan Amang waktu itu. 

Selepas bekerja saya melihat jam tangan saya. Waktu sudah terlalu malam untuk berangkat ke rumah Ayah. Saya memilih pulang karena rumah yang jauh di Bekasi membuat saya berpikir ulang ke rumah Ayah. 

Sesampainya di rumah, saat saya tertidur lelap, pikiran saya tiba-tiba terasa kalut. Tidur yang tidak tenang membuat saya terbangun dan langsung memeriksa telepon pintar saya. Sejenak saya merasa khawatir dengan keadaan Ayah. "Ada yang salah hari ini," pikir saya sambil mengambil telepon seluler tersebut. 

Begitu telepon seluler saya buka, terlihat 36 telepon tidak terjawab terpampang di layar ponsel. Jantung saya berdegup kencang, pikiran  berkelindan. "Jangan-jangan, jangan-jangan," pikir saya. 

Saya langsung menelpon adik saya yang ada di rumah Ayah mencari tahu apa yang sedang terjadi. Begitu panggilan terjawab, terdengar ucapan kekesalan dari adik saya karena saya yang sangat sulit dihubungi. Di tengah kemarahannya dia mengatakan, Ayah telah pergi. 

Mendengar itu saya langsung terdiam, dada saya sesak, tiba-tiba saja air mata tumpah begitu saja. Waktu seakan-akan bergerak mundur ke waktu dimana saya menerima telpon dari Ayah siang tadi. Saya menangis dan membuat istri saya terbangun. Sambil memeluk dia terus bertanya ada apa. "Ayah meninggal. Ayah sudah meninggal," kata saya sesunggukan. 

Lima tahun sudah Ayah pergi. Seperti banyak orang bilang, penyesalan selalu datang terlambat. Saya selalu tidak pernah bisa menyalahkan diri saya atas semua yang terjadi sebelumnya. Betapa saya kerap begitu mudah terlena dengan kesibukan dan melupakan kedua orang tua saya. 

Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya telah menjadi anak yang baik bagi mereka. Saat ini saya tidak pernah terpikir untuk menjadi anak yang membanggakan, yang saya inginkan hanyalah menjadi anak yang baik buat keduanya. 

Tapi jawabannya tidak akan pernah saya ketahui. Saya sudah kehilangan waktu untuk melakukannya. Berbahagialah kalian yang masih mampu menyapa kedua orang tua, meskipun itu hanya lewat ujung jemari. 

Kemarin, 28 Juni di pagi hari saya tertegun kembali. Dering telepon itu tidak pernah berbunyi lagi.