Tuesday, May 30, 2006

Bidadari Pagi

Dulu, saya mengenalnya sebagai bidadari pagi yang selalu datang di kantor kami seiring bersinarnya mentari. Rambutnya panjang terurai, matanya sendu tapi mampu membuat saya selalu melengos malu ketika berhadap-hadapan dengannya.

Setelah dua tahun berada di surganya, hampir setiap waktu saya hanya bisa menatapnya. Tanpa bicara dan tanpa ada keinginan untuk mencoba menyentuhnya.

Ketika saya bersiap untuk memasuki jenjang hidup baru, bidadari pagi itu kini kembali menyapa. Bersinar seolah saya harus berpikir kedua kali untuk menentukan kembali ke arah mana yang harusnya saya tuju.

Ya, di saat jembatan hidup baru mendekat, saat ini saya justru seperti menemukan cahaya baru. Wanita itu adalah wanita yang ada di lantai 8 Graha Pena tempat dulu saya bekerja.

Waktu itu, ketika melihatnya, saya benar-benar merasa bahwa dia adalah wanita impian saya. Badannya tinggi langsing, rambutnya hitam lurus memanjang hingga ke pinggang. Wajahnya tirus dan matanya tipis memanjang. Kulitnya putih dan harumnya mewangi.

Sayang, ketika mendekam 2 tahun di Graha Pena saya sama sekali tidak pernah berbicara kepadanya. Kirim salam memang pernah, hanya saja saat ini kirim salam sudah tidak zaman lagi. Sekarang pendekatan konkret justru lebih banyak berguna ketimbang kirim salam lewat teman.

Teman saya memang menyarankan saya untuk mendekatinya. Hanya saja penyakit malu saya selalu kambuh kalau berhadapan dengan wanita. Terutama wanita yang memang saya sukai.

Hingga saya pindah ke kantor baru saya tidak pernah mencoba menyapa dirinya. Saya berusaha untuk melupakannya, meski wajahnya masih tertanam kuat di hati saya.

Namun, hari Minggu kemarin adalah perubahan dari semuanya. Entah karena dorongan apa, saya tiba-tiba saja ingin menelpon dirinya. Setelah membulatkan tekad dan menebalkan muka, saya langsung mengontak handphonenya.

Ternyata, berbeda dengan apa yang saya duga sebelumnya. Ia sangat ramah dan jelas-jelas sangat terbuka kepada saya.

Saat itu saya memang tidak lupa menjelaskan bahwa saya dan dia pernah berada satu kantor. Sayang sungguh sayang, dia belum mampu mengingat wajah saya.

Saya memang tidak mau berusaha keras untuk membuka ingatan dia akan saya. Bagi saya diterima dengan hangat sudah lebih dari cukup.

Akhir pembicaraan, saya berpesan singkat padanya untuk menyimpan baik-baik nomor saya. Dia pun menjawabnya dengan suka cita, “Saya akan menyimpannya”

Awalnya, saya mengira hubungan ini akan berakhir dan hanya berupa kenikmatan sesaat saja. Tapi ternyata hubungan ini justru semakin berlanjut.

Esok harinya, saya tak kuasa untuk menghubungi dia melalui SMS. Entah karena apa, dia justru sangat senang dengan SMS saya. Berkali-kali kita berdua saling mengirimkan rangkaian kata melalui udara.

Saat itu saya benar-benar merasa bahagia, entah dengan dia.

Hari ini, dia justru berhasil mengingat wajah saya. Melalui teman saya yang masih ada di Graha Pena, dia mampu melukiskan wajah saya dalam benaknya. Entah, waktu itu dia bahagia atau tidak. Yang pasti dia langsung menelpon saya dan mengatakan “Aku sudah ingat,” katanya dengan nada riang.

Hari ini memang sangat berbeda. Saya dan dia justru jadi lebih terbuka. Dia mengatakan kepada saya bahwa dia sudah ada yang memiliki.

Namun, saya tidak seberani dia. Saya terpaksa berbohong ketika saya mengaku belum ada yang punya. Entah apa yang dia rasakan waktu itu. Dia hanya sedikit berkata, “Oooh.” Seolah tidak yakin dengan apa yang saya katakan.

Dia memang sudah ada yang memiliki. Dan dia memang sangat cinta dengan kekasihnya. Tapi, dia berjanji pada saya, “masih banyak kesempatan”.

Entah apa maksudnya, tapi saya begitu bahagia, ketika dia menelpon saya melalui rumahnya, menanyakan kabar saya. “Kamu ada di mana?”

Dua tahun yang lalu, saya tak pernah berpikir bisa menyapa dirinya. Kini, semuanya berubah. Saya sudah mengenalnya, dan saya tidak tahu kisah ini entah akan berakhir kemana. Entah apa kata dia?

Senjata Api

Mampang pukul 13.00 WIB terasa sangat panas. Hujaman terik matahari bahkan membuat beberapa anak Punk yang terbiasa nongkrong di pinggir jalan justru lebih memilih untuk meneduh di bawah halte depan Wisma Mampang.

Siang itu semua orang memang lebih memilih berteduh ketimbang harus berpanas-panasan di jalan Mampang yang terkenal akan kemacetannya itu. Namun, hal itu tidak berlaku bagi seorang pria berbadan tegap berkumis tipis dan mengendarai mobil Xenia berwarna hitam.

Entah apa yang terjadi, pria itu sepertinya tengah berdebat dengan seorang anak SMA. Dari raut mukanya, pria itu seakan menahan kesal yang sangat dalam. Sementara itu sang anak SMA justru seakan-akan tidak peduli dengan kekesalan yang tengah diidap pria tersebut.

Ketika kegusarannya memuncak, dalam hitungan detik, bak gunung meletus tiba-tiba, pria itu langsung membungkukkan badannya. Bukan karena lelah, ternyata pria tersebut membungkuk karena ingin mengambil sebuah pistol yang ia sembunyikan dalam kaos kakinya.

Tanpa ragu pria tersebut langsung menodongkan pistol tersebut ke arah mukanya. Sontak, anak SMA yang tadinya pongah itu langsung kehilangan nyali. Moncong pistol ternyata berhasil membuat si anak tak perlu berpikir panjang lagi untuk meladeni kemarahan sang pria.

Daripada mati berkalang tanah, si Anak SMA langsung melarikan diri. Entah sadar atau tidak, pria berpistol itu justru tidak mengurungkan niatnya untuk menyudahi pertikaian tersebut.

Entah karena bersemangat punya pistol, atau karena kemarahannya sudah di ubun-ubun pria tersebut justru langsung mengejar si anak. Hanya saja untuk mencegah perhatian orang yang berlalu lalang, pria tersebut membalikkan moncong pistolnya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika saja tukang-tukang parkir yang ada di samping Wisma Mampang tidak berusaha menghentikan langkah kaki si pria berpistol tersebut.

Saya yang hanya kebetulan lewat hanya bisa melihat muka si pria tersebut. Dari mukanya saya yakin, dia memang benar-benar kesal. Tapi, punya pistol bukan berarti dia punya hak untuk berkuasa di atas orang lain.

Peristiwa itu memang membuat saya semakin yakin bahwa jalan-jalan di Jakarta adalah jalan-jalan yang paling kejam yang pernah saya jalani. Selain terjangan pelaku kriminalitas, saya sadar bahwa saya juga harus waspada dengan pengguna jalan lainnya. Khususnya yang mempunyai senjata.

Saya memang takut, dan sebenarnya saya pantas takut. Sebab, saya yakin bukan pria berbadan tegap mengendarai Xenia itu saja yang punya pistol. Saya yakin hampir setengah pengendara mobil di Jakarta mempunyai senjata api.

Senjata api di Jakarta memang bukan barang aneh lagi. Beberapa waktu lalu koran saya sempat memunculkan berita yang mengatakan saat ini jumlah senjata api yang beredar di Jakarta sudah sampai pada tingkat yang memrihatinkan. Bahkan menurut berita tersebut, dikatakan banyak senjata api yang justru dimiliki secara illegal.

Melihat tingginya kriminalitas di jalan, memang sangat wajar jika banyak orang melengkapi dirinya dengan senjata api. Hanya saja yang harusnya bisa dihindari adalah timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang ada karena kepemilikan senjata tersebut. Misalkan, sewenang-wenang terhadap orang lain dengan menggunakan senjata.

Secara psikologis memegang senjata api memang memberikan rasa aman. Hanya saja pada di saat yang bersamaan mempunyai senjata api justru akan membuat seseorang merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Contoh kasus apa yang saya lihat kemarin.

Saya sendiri tidak tahu apakah memiliki senjata api itu sangat mudah atau tidak? Hanya saja mengingat latar belakang masyarakat Indonesia apalagi Jakarta yang demen show off, sepertinya memang perlu ada aturan khusus yang sangat ketat untuk mengatur masalah pemilikan senjata api.

Atau mungkin yang lebih tepat dilakukan adalah menghindari untuk berseteru dengan seorang yang bersenjata api. Sedangkan bagi yang sudah mempunyai senjata api, sebaiknya sadar untuk tidak menggunakan senjata api dengan sewenang-wenang.

Sunday, May 28, 2006

They Cut Da Vinci

Photobucket - Video and Image Hosting

M:i:III The Da Vinci Code dan X Men The Last Stand

Tiga buah blockbuster movie Hollywood, X Men, MI3 dan The Da Vinci Code sepertinya jadi virus yang sangat ganas di bulan ini. Lihat saja, di setiap blog yang ada semuanya membicarakan ketiga film tersebut.

Kalau tidak bicara MI3, tentu orang akan bicara tentang heboh kontroversi The Da Vinci Code. Belum selesai gegap gempita The Da Vinci Code, kini kita sudah langsung disuapi dengan hebatnya ketajaman kuku Wolverine dalam film X-Men The Last Stand.

Jujur, saya sudah menonton ketiga film tersebut. Ini sangat jarang saya lakukan. Biasanya saya cukup selektif untuk menonton film-film Hollywood. Paling banter saya sering menonton film-film produk impor itu melalui DVD.

Hanya saja, bulan ini sepertinya berbeda. Didukung teman-teman seperti Ono dan Udin, saya lebih banyak menghabiskan uang untuk menonton ketiga film tersebut.

Setelah cukup lama tidak nonton film Hollywood, saya memang sepertinya sangat terkesima dengan ketiga film tersebut. Tapi kalau disuruh untuk menentukan list siapa yang terbaik, berikut urutannya;

  1. X Men The Last Stand
  2. M:i:III
  3. The Da Vinci Code


Kenapa saya menaruh X Men dalam posisi yang pertama, sebenarnya simple saja. The Last Stand adalah film X Men yang pertama kalinya saya tonton. Saya enggak bohong, dua film X Men, sebelumnya saya sama sekali enggak pernah menyentuhnya.Kalau pun nonton, itu hanya sekedar curi-curi pandang ketika teman menontonnya lewat VCD di rumahnya.

Banyak hal yang membuat saya merasa film The Last Stand sangat spesial. Film yang disutradarai Bret Rattner ini mampu mencuri perhatian saya dengan formula yang sangat unik.

Berbeda dengan film-film superhero lainnya, The Last Stand justru membolak-balikkan semua konsep superhero yang telah mapan yakni apakah kejahatan itu selalu hitam atau sebaliknya, Hero always Win, Hero always Good, and Hero Always Last Forever.

Di film ini premis tersebut sama sekali tidak ada. Penulis scenario Zak Penn dan Simon Kinberg sepertinya tahu penonton tidak butuh pahlawan yang benar-benar pahlawan, anti peluru dan tak pernah berdarah. Dan siapa kah yang berhak menentukan putih atau hitamnya seseorang.

Hasil kolaborasi mereka berdua memang berhasil membuat tokoh superhero X Men adalah rekaan semata. Kerja keras mereka membuat tokoh-tokoh yang ada di film tersebut seperti sangat dekat dalam kehidupan kita.

Mereka bisa saling cemburu karena mencintai orang yang sama. Mereka bisa berbalik arah dan salah membuat pilihan.

Permainan efek dan action memang tidak terlalu membuat saya berdecak kagum. Kekurangan itu justru berhasil ditutupi oleh Bret Rattner dengan permainan emosi yang ada dalam setiap adegan action tersebut. Siapa yang tidak menangis ketika Wolverine harus memutuskan untuk membunuh orang yang sangat ia cintai, atau ketika Mystigue merasakan keputusasaan yang sangat dalam ketika ia menjadi orang biasa.

Sayang, Zak Penn, Kinbeg dan Ratnner sepertinya terburu-buru dalam menghadirkan semua tokoh baru dalam film ini. Kehadiran sosok-sosok X Men newbie sangat terasa bahwa mereka adalah penerus X Men selanjutnya. Entah yah, bisa jadi benar atau tidak mengingat saya belum pernah menonton apalagi membaca komik X Men.

Lalu bagaimana dengan The Da Vinci Code? Kok bisa saya menempatkan film yang diadaptasi dari novel terheboh di dunia itu di bawah proyek narsis Mr. Tom Cruise.

Mudah saja, saya benar-benar terhibur dengan breath tacking action Mr. Cruise, ketimbang mati penasaran karena tidak berhasil menemukan sensasi yang sama seperti ketika saya membaca The Da Vinci Code.

Kelebihan dari JJ Abrams, ketimbang Ron Howard adalah kemampuannya dalam memberikan jiwa dalam film tersebut. Tidak heran kalau JJ Abrams justru menyuruh Ethan Hunt menikah agar film tersebut bisa jadi menarik.

Lalu, apakah The Da Vinci Code sama sekali tidak berjiwa? Sepertinya iya, saya sama sekali tidak merasakan bagaimana Robert Langdon itu. Semua tokoh yang ada dalam film Ron Howard itu tidak ubahnya seperti wayang kulit yang tengah beraksi.

Kelebihan buku The Da Vinci Code menurut saya terletak pada tiga faktor, yakni kontroversi, adventure, dan detil. Dalam bukunya Dan Brown berhasil mengemas ketiga faktor tersebut menjadi sebuah buku yang sangat menarik di baca.

Ketika membaca buku kita seolah diajak berjalan-jalan dalam setiap petualangan Langdong memecahkan kode-kode yang diberikan Saunierre. Dalam setiap aksinya, Dan Brown selalu menjelaskan kontroversi yang tersembunyi dalam setiap misteri. Dan semua itu dijelaskan secara detil oleh Ron Howard.

Nah ini yang sama sekali tidak tersentuh dalam tayangan berdurasi 149 menit itu. Ketiga faktor itu justru baru saya rasakan ketika Leig Teabing, Langdon dan Sophie berdiskusi soal lukisan The Last Supper. Sisanya, sama sekali tidak ada yang membuat saya berdecak penuh kekaguman.

Jujur, waktu itu saya sebenarnya ketika Da Vinci Code diputar saya diserang oleh Hasrat Ingin Vivis yang sangat kencang. Namun, saya enggan untuk pergi ke belakang karena takut akan kehilangan momen-momen ajaib yang pernah diberikan oleh Dan Brown. Sayang, pengorbanan itu sepertinya tidak setimpal buat saya. Saya pulang dalam keadaan hampa.

Berbeda dengan saya, teman saya Ono justru merasa terhibur dengan film ini. Saya memang tidak bisa menyalahkan, toh ini juga masalah selera.

Yang pasti saya sendiri benar-benar kaget luar biasa ketika membaca kabar Sony Entertainment berencana mengajak Ron Howard untuk menggarap buku lain Dan Brown,Angels and Demons. Wah, saya enggak tahu apa lagi yang saya lakukan nanti jika film ini keluar.

Agak Malas

Bulan Mei ini adalah benar-benar bulan yang sangat membahagiakan saya. Memang, di bulan ini saya melewatkan banyak film Indonesia seperti Maskot, Heart, Ekskul dan Lentera Merah.

Entah kenapa sejak terakhir menonton film Ruang garapan Teddy Soeriaatmadja, saya sepertinya sudah kehilangan semangat untuk menonton film Indonesia. Sepertinya saya sudah kehilangan energi untuk membahas lagi perfilman Indonesia.

Dari segi jumlah, tahun 2006 bagi film Indonesia memang sepertinya bukan tahun yang sama menggairahkan dengan film tahun 2005. Jumlah film di tahun 2006 ini menurun tajam dibandingkan tahun lalu.

Lalu bagaimana dengan segi kualitas? Dari segi tema, tahun 2006 ini film Indonesia memang mengalami banyak kemajuan. Sudah ada sedikit banyak film yang berani mengeluarkan tema-tema berbeda daripada tema di tahun 2005.

Hanya saja perbandingan jumlah tema dengan eksekusi yang matang membuat greget film di tahun anjing api ini jadi semakin berkurang. Jangan heran, kalau di tahun ini justru banyak film-film dengan judul miring akan menghiasi film Indonesia. Watch out Rantai Bumi is coming to town.

Dari alasan-alasan di atas, saya sendiri mempunyai alasan khusus mengapa film Indonesia agak sedikit mengalami penurunan tahun ini. Tahun 2005, film Indonesia agak sedikit berjaya karena pengaruh dari film Hollywood yang sedikit kurang mendapatkan respon yang bagus.

Minimnya film-film bagus dari Paman Sam, membuat banyak penonton mengalihkan perhatiannya kepada film-film Indonesia. And guess what di saat film Amerika meluncurkan film-film cupu kayak In To The Blue, Indonesia menggebrak dengan Realita Cinta dan Rock N Roll.

Lalu bagaimana di tahun 2006 ini, sepertinya perfilman kita agak sedikit perlu lama berkubang dulu. Bayangkan di bulan Mei ini saja tiga buah film Hollywood berkelas A langsung menggebrak M:i:III, The Da Vinci Code dan X Men The Last Stand.

Sementara itu film Indonesia yang juga diluncurkan di bulan ini yakni Ekskul, Heart dan Lentera Merah. Ketiga film ini langsung berdarah-darah begitu disandingkan oleh ketiga film tersebut.

Secara keseluruhan, masalah momen adalah hal yang patut untuk diperhitungkan oleh insan film Indonesia. Kita memang sangat bangga jika film kita bisa bersaing head to head dengan film-film asing.

Hanya saja akan lebih sangat membanggakan jika di tengah persaingan tersebut, film-film kita tidak harus ditinggalkan dan lebih memilih menonton film asing.