Thursday, December 19, 2013

Peri dan Pahlawan Masa Kecil

Dulu ketika saya masih kecil saya selalu merasa aman dan bahagia. Terlahir sebagai anak keempat, saya merasa senang karena memiliki tiga orang kakak yang selalu memerhatikan saya. Saya pun tidak pernah kesepian karena memiliki seorang adik laki-laki yang selalu menemani saya bermain dan berjalan-jalan. 

Ketiga kakak saya adalah peri yang selalu memberikan saya keajaiban. Mereka hadir setiap kali ibu saya sibuk dengan pekerjaannya. Kakak pertama saya merupakan kakak saya yang paling pintar. Dia kerap memberikan banyak pengetahuan kepada saya. Seperti ayah saya, dia adalah gudangnya informasi. 

Saya masih teringat kado ulang tahun yang dia berikan kepada saya. Sebuah kaset rekaman yang berisikan lagu-lagu Queen. Bungkusnya warna putih dan di dalam bungkus tersebut tertuliskan lagu-lagu Queen yang diambil dari berbagai album.

Berkat kado itu saya jatuh cinta pada musik. Saya selalu mengulang-ulang dua buah lagu yang jadi kesukaan saya, Bohemian Rhapsody dan Jealousy. Saking seringnya saya ulang, kaset tersebut akhirnya rusak. Saya sedih tidak bisa mendengar lagu tersebut. Kaset itu pun akhirnya saya simpan, agar tidak ketahuan kakak saya. Jangan sampai dia kecewa karena kadonya dibuat rusak oleh saya.

Kakak kedua saya adalah yang paling sering mendengarkan cerita saya. Secara emosionil dia memang dekat dengan saya. Begitu saya lahir, mama tidak sempat mengurus saya karena pekerjaannya yang terlalu padat. Dia akhirnya meninggalkan saya kepada kakak saya yang kedua.
Masih saya ingat di salah satu album foto, kakak kedua saya dengan badannya yang kecil menggendong saya yang sudah cukup besar. Mukanya yang sendu itu tetap terlihat tegar meski membawa saya yang cukup berat bagi gadis seumuran dia.

Perjalanan hidup kakak kedua saya memang tidak semulus kakak pertama saya. Dia tidak lulus kuliah dan akhirnya meneruskan pekerjaannya sebagai sales promotion girl. Saya ingat sekali dia pernah menjadi seorang sales promotion girl produk spidol ajaib. Saya sangat senang dengan spidol tersebut karena saya bisa memainkannya dengan adik saya di rumah.

Hampir setiap gajian, kakak saya selalu mengajak kami makan-makan. Dia malah masih sempat membelikan saya majalah HAI agar saya tidak ketinggalan informasi dari teman-teman sebaya saya. Saya senang sekali dengan pemberiannya. Hingga satu saat saya pernah berjalan-jalan ke sebuah mall dan melihat langsung kakak kedua saya bekerja. Dia duduk di depan pintu masuk sebuiah  toko buku. Dengan meja kecil dia menunggu anak-anak yang tertarik dengan spidol yang dia jual.

Dari jauh saya melihat kakak saya sering terdiam. Dia memainkan spidol-spidol ajaib tersebut di atas sebuah kertas. Seakan-anak warna ajaib yang muncul dari kertas tersebut memunculkan sebuah gambar yang bisa menghibur hatinya. Kakak kedua saya masih terlalu muda untuk bekerja. Namun dia menghabiskan waktunya untuk membuat kami dan saya bahagia.

Dari kejauhan saya cuma bisa diam. Saya ingin menangis karena saya sudah sering keterlaluan meminta segala hal yang sulit dia tanggung. Saya masih ingat ketika saya marah-marah dan menangis kencang karena kakak kedua saya tidak bisa membelikan saya sebuah kaos Ocean Pacific. Saya baru sadar, hingga kini saya sekalipun  tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada dia atas segala hal yang dia berikan kepada saya.

Dari kakak ketiga, saya belajar banyak hal mengenai keberanian. Di keluarga saya, mungkin dia adalah orang kedua yang paling berani setelah bapak. Dia adalah orang pertama yang mengajari saya keberanian. Ketika masuk sekolah dasar, tiba-tiba saja ketika jam pulang sekolah tiba, dia menghilang. Saya tidak bisa menemukan kakak ketiga saya untuk membawa saya pulang ke rumah.
Saya pun menangis karena tidak yakin bisa pulang ke rumah. Jaraknya memang jauh dan harus melewati jalan besar. Sadar bahwa kakak saya tidak akan menjemput saya, dengan menangis saya memaksakan diri pulang ke rumah.

Dengan berjalan kaki saya berusaha mengingat-ingat jalan menuju rumah. Ujian terbesar saya ketika harus melintasi Jalan Daan Mogot. Saya putus asa dan saya menangis. Batas keberanian saya berakhir. Beruntung, ada seorang bapak-bapak yang bertanya kepada saya kenapa saya menangis. “Kakak enggak jemput wahyu,” kata saya sesunggukan.

Dia pun akhirnya menanyai banyak hal pada saya. Alamat saya, nama bapak saya, nama ibu saya dan sebagainya. Setelah menggandeng tangan saya dia pun akhirnya membawa saya kembali ke rumah. Saya masih ingat, kakak ketiga saya cuma tersenyum simpul ketika melihat saya pulang. Saya cuma bisa menangis waktu itu.

Kakak ketiga saya kembali mengajari saya soal keberanian, ketika topi yang saya miliki diambil oleh pria yang lebih dewasa di kampung saya. Waktu itu pria tersebut memang hanya bilang pinjam untuk sementara. Namun lama kelamaan topi tersebut tidak dikembalikan. Karena lebih tua, saya tidak berani untuk memintanya.

Tapi dia tidak beruntung ketika bertemu dengan kakak ketiga saya di jalan. Kakak ketiga saya heran kenapa topi saya dikenakan oleh pria tersebut. Sesampainya di rumah dia pun menanyakan kepada saya soal topi tersebut. Saya cuma bisa nangis. Belum selesai  tangis saya, kakak saya langsung keluar rumah. Satu jam kemudian dia membawa pulang topi tersebut kepada saya.

Hingga kini keberanian yang dimiliki kakak saya itu jadi pisau bermata dua. Kadang bisa memberikan manfaat bagi dia, namun terkadang justru kerap membuat dia berada dalam posisi berbahaya. Dan sayangnya, dia tidak pernah menyadari bahwa saudara-saudaranya akan sulit membantu dia ketika dia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dari adik saya, saya belajar mengenai penghargaan. Adik saya membukakan mata saya akan pentingnya menghargai seseorang. Memiliki perbedaan usia yang hanya terpaut satu tahun membuat saya dan adik saya layaknya sahabat.Sayangnya, saya memperlakukan dia jauh dari seorang sahabat. Saya justru adalah seorang sahabat yang culas. Saya tidak pernah mau jalan beriringan dengan dia, ketika saya bersama teman-teman saya. Masih saya ingat, saya melemparkan batu ke arah dia, agar dia menjauh dari saya.

Masih saya ingat ketika saya memakai seluruh pakaian yang dia beli sendiri dari hasil jerih payahnya menabung. Sampai-sampai jam Casio G-Shock warna biru yang adalah barang miliknya sendiri, lebih sering saya pakai. Tidak sekalipun dia memiliki waktu untuk menggunakan barang-barang yang dia miliki. Semuanya adalah milik saya.

Entah kenapa dia tetap menghargai saya sebagai kakaknya. Suatu saat, saya mendapati sebuah surat bertuliskan bahasa Inggris. Rupanya tempat dia kursus bahasa Inggris menugaskan dia untuk membuat tulisan tentang orang yang mereka banggakan dan hormati.

Isi tulisan tersebut membuat degup jantung saya berhenti sesaat. Di tulisan itu dia mengatakan bahwa kakaknya lah orang yang paling menginspirasi dia. Berbagai hal dia sebutkan akan kekaguman dia kepada saya.Saya masih ingat warna kertas tulisan tersebut. Saya masih ingat bagaimana huruf-huruf yang dia tuliskan itu. Saya masih ingat hingga kini, ketika saya dan beranjak tua, saya masih merasa adik saya telah memberikan hal terindah yang sampai sekarang masih saya rasakan.

Saat ini saya, ketiga kakak saya dan adik saya sudah beranjak tua.  Kami pun sudah menjalani hidup dengan cerita masing-masing. Banyak penggalan kisah lama yang mungkin sudah tidak kita ingat lagi. Saya hanya ingin bisa mengucapkan kepada mereka, betapa saya sangat menyayangi mereka. Terima kasih telah menjadi peri dan pahlawan di masa kecil saya.

Kak Indah, Kak Wulan, Kak Ida, Ari, aku sangat menyayangi kalian semua.Thanks for everything



Tuesday, December 17, 2013

Selamat Tidur, Kawan


Pernahkah anda datang ke Rumah Sakit Dharmais? Setahun yang lalu, saya mengantar ibu saya ke rumah sakit yang ada di kawasan Slipi tersebut.

Ibu saya terkena penyakit kanker rahim stadium 4 dan perlu segera dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun hari itu saya tidak berhasil mendapatkan satu ruang pun buat ibu saya.

Di antara setiap tingkat yang ada di gedung rumah sakit tersebur tidak satu pun tersisa ruangan yang bisa dibagi untuk ibu saya. Berkali-kali saya bertanya kepada perawat yang menjaga ruangan pendaftaran apakah masih ada ruangan buat ibu saya. Di antara ratusan tumpukan map-map di depan mukanya, perawat tersebut cuma terdiam terpaku.

Ya, saya tahu sepertinya tumpukan map yang dia pegang seperti sudah dapat banyak  berbicara. Rumah sakit ini sudah banjir dengan pasien kanker. 


Dan itu  saya buktikan ketika hendak pergi mencari rumah sakit lain buat ibu saya, para pasien tersebut datang silih berganti. Dengan berbagai penyakit kanker yang tidak sama mereka menatap dunia dengan cara yang sama, kosong dan hampa.

Setahun setelah dari Dharmais, Mama saya meninggal dunia tak lama kemudian. Mama tak bisa bertahan dari kanker rahim stadium 4. Kami sekeluarga pun menjadi yatim piatu, karena setahun sebelumnya Papah juga meninggal dunia.

Saya semakin terbiasa dengan rumah sakit Dharmais, setelah teman baik saya menderita kanker serviks. Ketika datang ke Dharmais, dokter memvonis kankernya masih stadium 3. Dia menyayangkan teman saya yang tidak tanggap ketika sering mengalami keputihan dan pendarahan.

"Seandainya masih stadium 1 dan rahimnya diangkat, mungkin keadaannya akan jauh lebih baik," terang dokter tersebut waktu itu.

Nasi sudah menjadi bubur. Teman saya waktu itu memang lebih memilih menjalani terapi alternatif. Dia tidak ingin rahimnya diangkat dan kehilangan kesempatan mendapatkan anak.

Sayangnya, terapi alternatif tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Kanker terus-terusan menggerogoti tubuhnya. Kondisi kanker yang semulai berada di stadium 3 pun meningkat menjadi stadium 4. Tubuhnya pun habis dimakan kanker yang tersisa tinggal tulang.

Seperti ibu saya, dia pun sudah sulit berjalan. Sakit yang memakan tubuhnya membuat dia sulit tidur. Bahkan untuk memejamkan mata dengan lelap barang 5 menit sulit dilakukan. Setiap detik seluruh badannya terasa panas dan seperti ditusuk-tusuk jarum.

Saya memang tidak bisa merasakan rasa sakitnya. Tapi selama satu tahun saya menemani Mama, saya bisa merasakan betapa rasa sakit tersebut tidak hanya mampu menggerogoti tubuh tapi juga semangat hidup.

Setiap hari dia harus melawan rasa sakit yang disebabkan kanker. Di saat kita mengeluh akan hari yang tiba-tiba  menyebalkan, dia setiap hari harus berusaha tersenyum dengan penderitaan.

Malam ini, kanker akhirnya berhasil menaklukkan teman saya. Dia meninggal tepat setelah adzan maghrib. Entahlah, apakah ini sebuah tanda yang baik atau tidak, saya tidak ingin berspekulasi. Yang saya tahu dia banyak berbuat baik untuk saya dan istri saya. Dan Yang Maha Kuasa menganugerahi segala kebaikan tersebut dengan sebuah penyakit yang dinamakan kanker.

Di malam ini, teman saya meninggal karena kanker di usia 35. Sangat muda memang. Sangat muda ketika dia masih memiliki cita-cita yang jauh terbentang. Namun hidup seseorang bukanlah diukur dari panjang pendek usia.

Apalah arti hari esok, jika tidak mampu memberikan manfaat bagi sesama. Terima kasih kawan, terima kasih atas segala kenangan dan kebaikan yang kita ukir bersama. Selamat jalan, lelaplah dalam pelukan Yang Maha Kuasa.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Saturday, December 07, 2013

Ajo, Liliput Berhati Raksasa



Di antara ratusan orang yang berkumpul di Sabuga, Asep Suhendra bergerak lincah. Meskipun beberapa pengunjung berdesak-berdesakan melihat motor-motor yang dipamerkan di tempat tersebut, Ajo, demikian dia disapa, mengandalkan kedua tangannya menyelinap cepat di antara badan-badan raksasa manusia.

Bagi Ajo, pengunjung yang memadati gedung Sabuga itu memang bak raksasa. Ajo tidak bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan mereka. Ajo bak Liliput dimana tubuh ya men jongkok hampir menyapu lantai. Mungkin dari situlah teman-temannya memanggil dia dengan sebutan Ajo.

Ya, Ajo adalah Asep Jongkok. Seorang pria berusia 43 tahun yang telah merangkak menjalani hidup dengan kedua tangannya. Kedua kakinya sudah tidak berfungsi normal sejak berusia 5 tahun. Mungkin bahkan sebelum dia fasih menyebut nama kedua orang tuanya.

Dokter memvonis Ajo terkena polio, sebuah virus yang ada sejak jaman pra sejarah melumpuhkan sistem saraf pusat Ajo. Virus itu melemahkan dan melumpuhkan ototnya. Tapi, virus itu tidak mampu melemahkan hati ya. Virus yang melemahkan seluruh kakinya, justru gagal melukai harga dirinya. Semuanya berkat hati raksasa yang di miliki.

Dengan segala kekurangannya, Ajo enggan berpangku tangan. Seperti saat saya berusaha mengangkat tubuhnya untuk berpose di atas sepeda motor yang dia buat rancangannya. Dia memilih menaikinya sendiri.

Ajo memang seorang perancang motor untuk pengendara disabilitas. Di bengkelnya yang ada di kawasan Ujungberung, Ajo merancang dan membuat motor-motor roda tiga yang berguna bagi disabilitas. Hasil rancangan Ajo pun ternyata bukan tanpa prestasi, Honda CB 100 roda tiganya menjadi juara kedua kompetisi motor roda tiga se-Indonesia pada kejuaraan classic race yang diadakan klub Moge Brotherhood. Reputasinya yang baik membuat bengkel modifikasi Motorpop meminta jasanya untuk memberikan konsultasi saat mengikuti lomba modifikasi motor untuk disabilitas di Sabuga.

Ajo memang bukan hanya membuat motor disabilitas, dia juga memiliki hati yang besar untuk peduli bagi rekan-rekannya yang disabilitas. Dia pun menghimpun mereka dalam perkumpulan bernama Motor Disabel. Di perkumpulan ini mereka sama-sama berjuang tidak hanya untuk membuat motor yang mampu membuat mereka tetap beraktivitas, tapi juga berkreasi bersama menunjukkan bahwa mereka sama dengan manusia lainnya yang sempurna.

Ajo memang tidak bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dia bak Liliput di tengah manusia lainnya. Tapi hatinya adalah raksasa, membuat dia menjulang tinggi di antara kita.

Friday, December 06, 2013

Hidup, Lebih Mudah Dipahami dengan Melihatnya ke Belakang





Pernahkah kita terpikir, mengapa album-album foto yang kita taruh di dekat ruang keluarga kita begitu menarik bagi tamu-tamu kita. Sementara, kita yang empunya foto justru membiarkannya teronggok begitu saja, termakan debu. Tanpa kita sadari, semua foto yang menangkap seluruh jiwa dan raga kita dalam satu kertas tersebut justru sangat diminati oleh orang lain. Mereka mengamati bahkan mencermati setiap pengalaman yang kita alami. Bahkan mereka mampu merasakan apa yang kita rasakan, meskipun semua itu mereka rasakan lewat sebuahu media mati.

Sama dengan blog ini. Setelah sekian lama “halaman” ini saya tinggalkan, saya kembali dipaksa menengoknya. Ini bermula, lewat sebuah blog Enha’s Note yang baru saja saya baca hari ini. Awalnya, saya hanya mencoba mencari berita-berita saya tentang mobil murah yang selama ini saya tuliskan untuk Koran tempat saya bekerja.

Dari sekian banyak hasil pencarian tersebut, tiba-tiba saja mata saya melihat pada sebuah hasil pencarian di sebuah blog yang berjudul “Tersasar ke Misery Land”. Judulnya sangat dekat dengan saya karena memang nama Misery Land saya gunakan sebagai nama blog saya ketika pertama kali bekerja di Koran Rakyat Merdeka.

Blog itu saya mulai pada September 2004. Waktu itu blogging tengah ngetren dan semua orang yang paham internet tidak mau ketinggalan memiliki blog. Di blog inilah saya merekam seluruh gerak-gerik saya. Tidak hanya pekerjaan tapi juga gerak-gerik saya sebagai manusia. 

Awalnya begitu mudah untuk mengisi “halaman” ini. Namun, lama kelamaan ketika tuntutan hidup semakin beragam, dan gerak pekerjaan lebih lama dihabiskan di lapangan, saya pun meninggalkan “halaman” ini. Terlebih dari itu saya pun melupakannya dan membiarkan “halaman” ini penuh debu dan kering kerontang menunggu mati.

Saya pun tidak pernah terpikir ada orang yang akan membaca blog ini. Sebab dari awal, semua tulisan yang saya buat hanya untuk dijadikan penyaluran perasaan saja. Tidak ada niatan ada orang lain yang membacanya.

Nyatanya, tanpa saya harapkan ada juga yang membaca “blog” ini. Dan saya terkejut, betapa pemilik blog Enha’s Note tersebut mampu memahami apa yang saya rasakan dan saya pikirkan lewat tulisan-tulisan tersebut. Layaknya menikmati album foto yang terdampar di meja keluarga, dia mampu menikmati tulisan yang dulunya menurut saya sudah tidak menarik lagi.

Saya pun berusaha kembali menyelami kembali tulisan-tulisan yang telah saya buat sejak tahun 2004 tersebut. Waktu yang sangat panjang bagi saya untuk merefleksikan lagi perjalanan hidup saya. Saya tersadar lagi betapa bodohnya saya dan betapa naifnya saya kala itu. Lewat tulisan-tulisan tersebut,  kembali  terbayang di kepala saya, sosok Wahyu Sibarani yang waktu itu tengah berusia 24 tahun.
Pengalaman hidup yang saya lewati pun seperti diputar ulang. Dan seperti yang dikatakan Soren Kierkegaard,hidup akan jauh lebih mudah dipahami dengan melihatnya ke belakang. Saya pun jadi setengah mengerti mengapa sekarang saya jadi seperti ini.

Hidup memang sebuah perjalanan panjang,namun segala perubahan yang kita alami tentu saja bisa berlalu tanpa kita sadari. Jika foto hanya mampu merekam perubahan fisik dan momen-momen yang telah terlewati oleh kita, maka media seperti blog, diary dan buku mampu merekam dan mengabadikan tidak hanya perjalan hidup kita tapi juga pikiran kita.

Saya mensyukuri menemukan blog Enha’s Note di hari ini. Sejak membacanya, apa yang rasakan, alami dan akan saya jalani ke depan nanti tidak boleh terbang begitu saja termakan waktu. 

 Foto: AFP/Behrouz Mehri