Wednesday, December 28, 2005

Warna-warni Wajah Aceh

Image hosted by Photobucket.com


Serambi

Sutradara : Garin Nugroho
Produser : Christine Hakim
Produksi : Christine Hakim Film
Durasi : 80 menit
Pemain : Maesarah Untari, Reza Idria, Azhari, Lisa Aulia, Usman dan Jaelani

Film Serambi adalah film kerjasama kedua antara Christine Hakim dan Garin Nugroho. Sebelumya, kedua tokoh senior perfilman Indonesia ini berhasil memproduksi film Daun di Atas Bantal.

Kali ini dengan dukungan dana yang sangat luar biasa dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta BNI 1946, Garin dan Christine mengeluarkan sebuah film doku drama berjudul Serambi.

Film ini sendiri sejatinya diusung oleh 4 orang sutradara. Selain Garin, sutradara lainnya adalah Tonny Trimarsanto, Viva Westi dan Lianto Luseno.

Tonny Trimarsanto terkenal dengan film dokumenter berjudul Tanah Impian yang menceritakan tentang perjuangan warga Porsea, Sumatera Utara menentang keberadaan PT. Indorayon Tbk. Terakhir dalam Jakarta International Film Festival 2005, film dokumentasi Tonny berjudul Kitorang Pu Mama juga ikut ambil bagian.

Viva Westi sendiri bukan orang yang baru dalam dunia film. Gadis berambut pendek dan berkacamata ini adalah penulis scenario film Virgin yang fenomenal itu (he3x). Selain itu Viva juga pernah berkali-kali mendapat piala Vidia atas film televisi Wo Ai Ni dan Jangan Panggil Aku Cina.

Terakhir, Lianto Luseno. Pria ini sudah tidak asing lagi bekerja sama dengan Garin. Sebelum dalam proyek film pendek berjudul Viva Indonesia, Lianto pernah kerja bareng dengan Garin. Hanya saja dalam film pendek yang ide ceritanya sangat luar biasa itu (menulis surat pada Tuhan), Garin duduk sebagai seorang produser.

Film ini sendiri bercerita tentang kehidupan 6 orang Aceh setelah dua bulan tsunami berlalu. Film ini merekam keseharian Usman, Jaelani, Tari, Azhar, Riza, dan Lisa (saya susun nama atas dasar kesukaan saya terhadap peran mereka) menghadapi kesunyian, kenangan bahkan ketakutan atas gulungan ombak setinggi pohon kelapa itu.

Film ini berusaha menggambarkan keinginan masyarakat Aceh untuk kembali membangun Aceh. Dan pertanyaan-pertanyaan masyarakat Aceh kenapa tsunami harus terjadi di bumi rencong.

Usman, kehilangan dua anaknya dan istrinya yang tercinta. Yang tersisa bagi pria bertubuh pendek ini hanyalah becaknya yang ia gunakan untuk menyambung hidup sehari-hari.

Di tempat penampungan Usman berteman dengan Jaelani. Seorang penari seudati yang sangat setia kawan dan sangat-sangat humoris. Entah apa pekerjaan tetap Jaelani yang pasti dia selalu setia berjalan bersama dengan Usman.

Tari, anak kecil berumur 12 tahun yang sudah kehilangan segalanya. Keluarga hingga rumah. Tak ada tempat berlindung Tari cuma punya teman-teman yang senasib dengannya.

Saya cukupkan kepada tiga karakter itu saja karena yang sangat mengena hati saya adalah ketiga karakter tersebut. Tanpa kehadiran mereka film doku-drama ini bagai berjalan tanpa jiwa.

Image hosted by Photobucket.com

Saya benar-benar merasakan film ini benar-benar tanpa makna ketika Usman, Jaelani dan Tari tidak ada. Riza memang berusaha mengajak kita untuk merasakan kegundahannya. Sayang, selama berada di film Riza tidak membawa kita kea lam sana tapi malah menggurui kita dengan segala pertanyaannya.

Usman tak perlu sefilosofis Riza ketika menggambarkan kesedihannya akan tsunami. Usman cukup tampil apa adanya. Matanya yang menerawang, bibirnya yang selalu tertutup kelu dan badannya yang ringkih menggambarkan semua kesedihan itu.

Jaelani dengan bicaranya yang ceplas-ceplos bisa jadi adalah alat bagi dirinya untuk menutupi kepedihan. Dan ketegaran Tari untuk menguburkan rasa ketidakadilan yang menimpa dirinya karena kehilangan keluarga benar-benar terasa dalam film ini.

“Tuhan tidak pernah tidak adil,” ucap Tari.

Saya sendiri sempat bingung dengan kehadiran Riza, Lisa dan Azhari. Saya benar-benar tak merasakan kehadiran mereka sebagai korban tsunami secara khusus. Kehadiran mereka dalam film ini seolah-seolah hanyalah pemanis agar film ini bisa ditelan dengan baik.

Pendapat saya, bahwa narasi yang biasanya ada dalam film-film dokumentasi berada dalam tangan Riza. Dugaan saya datang karena film ini diawali oleh Riza dan juga diakhiri oleh pernyataan Riza tentang orang-orang Aceh.Apalagi Riza digambarkan sebagai seorang pemuda Aceh yang revolusioner dan maniak Che Guevara. (Jujur saya sempat ketawa ketika melihat Riza memiliki gitar Ibanez harga 2 jutaan di tempat penampungan. Dia ternyata masih sempat membawa gitarnya selamar dari tsunami).

Saya memang sempat menanyakan langsung hal itu kepada Garin, usai menonton film. Garin sendiri mengatakan bahwa Riza dan Azhari adalah bagian dari masyarakat Aceh. Dan mereka merefleksikan kesedihan masyarakat Aceh dengan caranya sendiri.

“Mereka berdua mempunyai latar belakang intelektual yang tinggi. Jadi enggak mungkin kita samakan mereka dengan Usman dan Jaelani,” ujar Garin.

Image hosted by Photobucket.com

Bisa jadi saya sangat setuju dengan Garin. Saya memang setuju bahwa film ini adalah film bahasa ekspresi. Namun, yang sangat saya sayangkan adalah kehadiran Riza, Lisa dan Azhari sama sekali tidak menangkap cermin keberadaan masyarakat Aceh.

Padahal tujuan pertama kalinya adalah menangkap dan menghadirkan wajah Aceh yang ada sekarang ini ke masyarakat Indonesia dan dunia secara utuh dan alami.

Sunday, December 25, 2005

Roller Coaster With Peter Jackson

Image hosted by Photobucket.com

Lupakan cerita dan lupakan drama. Bagi saya menonton film King Kong sama saja bermain roller coaster dengan Peter Jackson. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya usai menonton film berdurasi 3 jam 7 menit ini di Djakarta Theater beberapa waktu lalu.

Saya akui film ini adalah film terbaik saya sepanjang tahun 2005 ini. Adrenalin dan jantung saya seakan meloncat keluar ketika menonton film yang diperani oleh Jack Black, Adrien Brody dan Naomi Watts ini.

Dua jam terakhir film King Kong adalah dua jam yang benar-benar menguras tenaga saya. Menguras seluruh detak jantung saya hingga terus-terusan berdetak cepat tak kenal hentinya. Seperti berhubungan seksual, setelah film ini selesai saya ingin kembali mengulanginya hingga titik orgasme yang tertinggi.

Dibanding film pertama King Kong garapan Merian C Cooper yang mengedapankan unsur dramatic tinggi, film King Kong garapan Peter Jackson memang terasa jauh berbeda.

Film ini tak ubahnya sebuah film khayalan tingkat tinggi Peter Jackson. Dan saya maklum karena sutradara asal Selandia Baru itu memang sangat mengidolakan dan mencintai film King Kong milik Cooper.

Atas dasar itulah saya sangat mengerti kenapa Peter Jackson lebih mengedepankan visualisasi efek ketimbang unsur dramatik. Layaknya, seorang anak yang diberikan kado terindah yang ia inginkan dari dulu, maka sangat wajar jika Peter Jackson lebih banyak menumpahkan seluruh ide-ide kreatif yang sangat luar biasa ketimbang unsur dramatik dalam film King Kong tersebut.

Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com

Alasan saya kenapa film ini tidak kental dengan nuansa drama tidak lain karena rasa empati kita kepada Kong (yang geraknya diperani Andy Serkis) dengan paksa diminta keluar oleh Peter Jackson.

Padahal, dalam Kong milik Cooper, empati kita keluar natural dengan sendirinya ketika Kong mengetahui bahwa cintanya sama sekali tak berbalas. Sedangkan di film Kong milik Peter Jackson, rasa empati kita seolah-olah dipaksa keluar karena cintanya benar-benar dibalas oleh Ann Darrow. Di film ini Kong mati karena semua orang ingin dia tidak bisa bersama dengan Darrow. Bukan karena semua orang menolak kehadirannya.

Meski demikian, saya sendiri sangat takjub dengan gambar-gambar yang dihadirkan oleh Peter Jackson. Selama 3 jam mata saya benar-benar dimanjakan Peter Jackson dengan pemandangan yang sangat bagus.

Image hosted by Photobucket.com
Image hosted by Photobucket.com

Saya sangat terkesan betapa detilnya Peter Jackson menghadirkan suasana. Baik di kota New York tahun 1933, samudra pasifik yang ganas hingga hutan tropis yang benar-benar misterius.

Kehadiran Kong di tahun 2005 ini benar-benar jadi pengobat rindu saya akan kehadiran Peter Jackson dalam trilogy film Lord of The Ring. Saya pribadi sebenarya melihat Peter Jackson terlihat tak bisa melepaskan LOTR dalam film Kong.

Bbeberapa kali saya melihat mahluk-mahluk purba yang keluar dalam King Kong hampir mirip muka-mukanya dengan dwarf yang ada dalam film LOTR.

Thursday, December 22, 2005

Semakin Berani Semakin Baik?


Image hosted by Photobucket.com

Tadi malam usai menonton film King Kong di Djakarta Theater ada perdebatan yang cukup menarik antara saya dan tiga orang teman saya, Danang, Ono dan Udin. Karena kita kebetulan adalah wartawan hiburan maka tema diskusi yang kita bicarakan saat itu tentang polemik keabsahan Marcella Zalianty sebagai peraih gelar aktris terbaik Piala Citra 2006.

Ketiga teman saya itu sama sekali tidak setuju jika Marcella Zalianty dipilih sebagai aktris terbaik. Mereka lebih mengunggulkan Cornelia Agatha sebagai aktris terbaik Piala Citra 2005. Alasannya, Cornelia benar-benar tampil total dalam film Detik Terakhir.

Sedangkan saya justru tidak mendukung Cornelia maupun Marcella sebagai aktris terbaik. Menurut saya aktris terbaik justru adalah ketiga bintang film Virgin, yakni Laudya Cinthya Bella, Ardina Rasti dan Anggie.

Kenapa bukan Cornelia? Saya punya alasan bahwa totalitas adegan yang ditampilkan oleh Cornelia dalam film Detik Terakhir bukanlah suatu jaminan bahwa Cornelia layak menjadi aktris terbaik.

Kita mengerti dan sangat tahu bahwa adegan lesbian dan adegan masturbasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Namun, bagi saya seorang aktris terbaik bukanlah artis yang berani melakukan suatu adegan yang luar biasa panas.

Kenapa bukan Marcella? Bagi saya Marcella sama sekali tidak berkembang dalam setiap film yang ia perani. Hampir semua film yang ia perani tidak pernah berubah. Begitu-begitu aja seperti dirinya. Yang agak baik mungkin bagi saya adalah ketika Marcella tampil sebagai special appearance dalam film Missing garapan sutradara Koya Pagayo.

Dalam film itu Marcella berperan sebagai seorang wanita yang terganggu psikologisnya karena dihantui arwah mantan suaminya. Dari situ saya langsung berpikir, Marcella sangat bagus jika berperan sebagai orang yang terganggu jiwanya.

Bagi saya aktris terbaik adalah artis yang benar-benar bisa menghidupkan karakter yang ia perani dan juga mampu menjiwai jalan cerita dengan baik. Saya mencontohkan peran Tom Hanks dalam film Forrest Gump.

Kita tahu bahwa dalam film itu Tom Hanks tidak harus beradegan luar biasa panasnya. Ia cukup menjadi seorang pemuda yang terbelakang. Tapi, walau terbelakang Tom Hanks justru berhasil menghidupkan peran Forrest Gump. Kita pun banyak belajar dari Forrest Gump dan banyak orang setuju bahwa Tom Hanks berakting luar biasa dalam film itu.

Image hosted by Photobucket.com

Atas dasar itulah saya justru terkagum-kagum ketika melihat ketiga kurcaci Virgin benar-benar tampil tulus dalam film tersebut. Saya justru tersentuh ketika melihat Ardina Rasti menangis karena kesempatannya bermain film hilang diambil orang lain karena menjual badannya. Padahal dia sudah mengerahkan semua kemampuannya yang minim.

Saya juga tersentuh ketika melihat Anggie dengan keluguan dan ketololannya terpaksa menyesali di kemudian hari bahwa keperawanan memang tidak pantas diperjualbelikan.

Justru saya merasa heran kenapa banyak orang berpendapat bahwa Cornelia sangat pantas untuk gelar tersebut. Jujur bagi saya adegan-adegan lesbian dan khususnya adegan masturbasi dalam film itu bukanlah adegan yang luar biasa.

Adegan-adegan itu tidak dibangun berdasarkan struktur cerita yang kuat. Adegan-adegan itu hanyalah berupa adegan yang mengatakan bahwa Cornelia memang berani melakukan adegan tersebut.

Hal itu juga diakui oleh Udin yang memang mengatakan bahwa dia juga mengherankan kenapa adegan masturbasi itu harus ada.

Nah inilah yang akhirnya jadi masalah, termasuk pada diri bos rumah produksi Indika Entertainment, Shanker R. Pria India ini menyangka bahwa adegan tersebut adalah adegan masterpiece. Dia menyangka adegan itu adalah adegan yang hanya dilakukan oleh aktris terbaik Indonesia.

Dan ketika Cornelia gagal jadi aktris terbaik Ia pun kecewa dan akhirnya menuduh yang tidak-tidak pada diri Dewan Juri FFI 2005. Orang-orang sekelas Eros Djarot, Sophan Sophian ia tuduh menjual piala seharga Rp 30 juta.

Shanker tidak menyangka bahwa pandangan semakin berani semakin baik justru menjadi suatu pandangan yang menyesatkan bagi perfilman Indonesia. Akhirnya jadi sangat wajarlah ketika kemarin saya mewawancarai Wulan Guritno dan mengucapkan kalimat yang sangat saya tidak percaya.

“Saya berani kok melakukan adegan yang lebih berat seperti Cornelia lakukan,” begitu ucapan Wulan. Dalam hati saya berpikir, astaga harus begitukah artis Indonesia…?

Tuesday, December 20, 2005

Kejar Jakarta
Image hosted by Photobucket.com

Director : Chandra Endroputro dan Bayu Sampurno
Story Idea : Bayu Sampurno
Screenplay : Chandra Endroputro
Durasi : 120 menit

Jangan mengharap ada kelucuan dalam film ini. Meski diisi sejumlah pemain dari Project P dan Project Pop film ini sama sekali tidak lucu. Sangat-sangat tidak lucu.

Hal ini menjadi sangat ironis, ketika saya teringat menonton Belahan Jiwa dan berharap menemukan adanya keseriusan, justru di film itu saya malah sering tertawa terbahak-bahak.

Di film ini, saat saya benar-benar butuh tawa untuk melepaskan penat di tengah liputan yang semakin padat, saya justru hanya bisa duduk nyinyir selama dua jam di Planet Hollywood. Membosankan.

Dalam konferensi persnya kemarin, kebetulan saya juga hadir, Daan Arya sang pemeran utama sendiri mengakui film ini tidak direncanakan untuk menghadirkan adegan-adegan komedi dan slapstick untuk menghasilkan tawa.

Menurutnya, film ini adalah film smart komedi. Karena itulah, menurut Daan, tawa justru akan hadir melalui dialog yang kuat, kondisi dan situasi.

“Jadi kita tidak ingin mengeluarkan tawa itu dengan parodi atau adegan-adegan slapstick. Kita justru ingin membuat penonton tertawa karena situasi atau drama yang kita tampilkan,” kata Daan.

Kata-kata Daan memang benar, film ini memang benar-benar smart. Saking smartnya, saya pun bisa menjadi sangat pintar dan mudah tertawa karena tahu mereka (Project P) sama sekali tidak berbakat untuk tidak berkomedi.

Saya hanya bisa tertawa ketika melihat seorang Ujang (Daan) yang gembul berperan sebagai anak desa yang baru pertama kalinya datang ke kota Jakarta (hari genee belum ke Jakarta, oh my god).

Seperti biasa, layaknya orang yang baru pertama kali datang ke Jakarta, adegan nyasar di jalan selalu pasti jadi adegan favorit. Uniknya, yang bikin saya heran, adegan nyasar itu dilakukan sutradara dengan hanya berputar-putar di daerah Bundaran HI-Sudirman-Thamrin. Saya jadi berpikir, alangkah bodohnya kamu hingga kamu tak bisa membedakan jalan yang kamu lewati berkali-kali.

Adegan film pun dimulai dengan sebuah scene yang menurut saya sama sekali sia-sia. Film ini dimulai dengan adegan tertabraknya Ujang oleh sebuah mobil. Setelah itu film bergerak mundur ke tiga minggu sebelumnya.

Menjadi sia-sia, karena ternyata adegan itu kembali terulang dalam adegan selanjutnya. But hey, film ini disutradarai oleh dua orang jadi bisa saja sutradara pertama tidak memberi tahu sutradara kedua bahwa adegan itu sudah ada di pembukaan film.

Karena fakor dua sutradaralah yang menyebabkan saya merasa pusing di satu jam pertama film. Pengambilan gambar yang bergerak cepat membuat mata saya pusing tujuh keliling.

Berbeda pada satu jam selanjutnya, dimana mata saya benar-benar diistirahatkan dengan gambar yang sejuk. Sya sangat suka adegan dimana Ujang menunggu kedatangan Neng di stasiun Gambir malam hari. Gambar yang dihasilkan benar-benar memperlihatkan keputusasaan Ujang menunggu kehadiran Neng.

Image hosted by Photobucket.com

Saya sama sekali tidak terhibur dengan film ini, suaranya juga berisik yang membuat saya hampir menutup kuping selama film berlangsung. Entah kenapa suara ibu-ibu itu (Wulan Guritno dan Reggy Lawalata) ketika ngerumpi jadi sangat menusuk kuping saya.

Film ini sendiri bercerita tentang keinginan Ujang (Daan) yang ingin mengikuti jejak teman sekampungnya, Dadan (Iyang) sukses di Jakarta. Ide cerita sebenarnya sudah sangat bagus ketika Dadan mengajak Ujang menjadi politikus (demo bayaran) hingga polisi jalanan (pak ogah).

Sebenarnya, dari sanalah Chandra harus berangkat. Bukan langsung mengubah nasib Dadan dan Ujang menjadi seorang pengusaha sukses hanya karena numpang di mobil seorang pengusaha gelap. Yah, biar bagaimanapun film ini harus diberi selamat karena bisa memberitahu kepada masyarakat bahwa Project P memang tidak bisa tidak harus tetap berkomedi. (jujur saya benar-benar terhibur ketika mengikuti konferensi pers mereka dibanding filmnya).

Thursday, December 15, 2005

Kebingungan Saya

Image hosted by Photobucket.com

Ketika seorang pria sudah berumur 25 tahun ke atas, bisa jadi pertanyaan yang sangat ditakutkan adalah soal pernikahan. Mungkin memang ada beberapa pria yang memang tidak memusingkan pertanyaan tersebut.

Tapi bagi saya, seorang pria sederhana dengan gaji pas-pasan dan tak punya tabungan, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat-sangat saya hindari.

Tidak heran ketika pagi hari ini saya kembali di hadapkan dengan pertanyaan tersebut, saya kembali bertanya dalam hati, benarkah saya harus merasa perlu untuk menikah?

Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, kita sekeluarga terbiasa untuk makan pagi bersama. Dalam situasi seperti itu kita sekeluarga bisa mendiskusikan beberapa hal. Termasuk, soal pernikahan saya.

Lagi-lagi, ibu saya yang paling repot bertanya kepada saya kapan saya akan menikah. Alasannya klise saja, biar mereka bisa menyiapkan segala sesuatunya dengan matang.

Memang, alasan itu sangat masuk akal. Saya pun juga harus memikirkan masalah itu dengan matang.

Hanya saja, bagi saya pertanyaan tersebut sama sekali adalah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ada jawabannya. Ibarat tengah terjebak dalam sebuah labirin, saya tak bisa menemukan jalan keluarnya.

Saya sama sekali tidak bisa menentukan waktu yang tepat bagi saya untuk menikah. Saya tidak bisa menghitung secara matematis kesiapan diri dan financial saya untuk memasuki jenjang pernikahan.

Untuk memuaskan keingintahuan kedua orangtua, saya terpaksa mengatakan bahwa saya akan menikah dua tahun lagi. Sebuah jawaban yang menurut saya justru keluar tanpa pertimbangan matang.

Kenapa tidak matang? Karena saya sama sekali tidak bisa membayangkan apakah selama dua tahun ke depan nanti saya benar-benar bisa menabung sebagian penghasilan saya untuk mengurusi tetek bengek dunia pernikahan.

Dan yang lebih terpenting, adalah mengurus masalah kesiapan mental saya untuk bisa menyadari bahwa rumah tangga itu bukan sekedar menikah. Tapi, juga bertanggungjawab akan kelanggengan rumah tangga saya nanti.

Saya akui saya kadang-kadang merasa ragu untuk benar-benar menikah. Saking ragu-ragunya, saya kerap memamerkan kepura-puraan saya kepada calon saya jika ditanya tentang pernikahan.

Saya berlagak bisa menjalani tahapan hidup itu dengan baik. Dan mampu mengurus semuanya sehingga dia merasa yakin bahwa saya memang benar-benar mampu untuk menikah.

Padahal, di saat saya sendirian saya justru sering kebingungan. Saya malah merasa bahwa saya tak ingin untuk menikah. Saya terlanjur kerasan hidup sendirian justru jauh lebih nyaman dibandingkan berkeluarga. Tanpa permasalahan dan kerepotan untuk memikirkan seseorang yang saya nikahi.

Kebingungan itu semakin diperparah dengan kondisi financial, yang justru menurut saya tidak akan pernah cukup untuk dibawa berumah tangga.

Saya sadar bahwa kebingungan ini akan membawa saya pada suatu kondisi yang sangat parah. Saya terlanjur sudah berkomitmen dengan seorang gadis yang memang saya cintai.

Seandainya saya masih seorang diri, tentu saya tidak akan sebingung saat ini. Jika pun saya benar-benar menikah nanti, saya berharap kebingungan-kebingungan ini tak perlu saya pikirkan lagi.

Wednesday, December 14, 2005

9 Naga Dicekal?

Image hosted by Photobucket.com

Cekal = mencegah dan menangkal

Beberapa hari ini dunia perfilman Indonesia dikagetkan dengan berita “pencekalan” film 9 Naga garapan sutradara Rudy Soedjarwo. 9 Naga terpaksa “dicekal” karena tagline film tersebut yakni “Manusia Terbaik di Indonesia adalah Penjahat” dianggap terlalu provokatif. Setelah itu alasan kedua pencekalan tersebut adalah gambar pusar Fauzi Baadillah yang dianggap tidak pantas.

Begitu mendengar berita tersebut, saya memang tergelitik untuk mencari tahu informasi langsung dari sang sutradara Rudy Soedjarwo untuk memberikan keterangan soal berita tersebut.

Sayang, waktu itu sutradara film Ada Apa Dengan Cinta? Ini Cuma berkomentar singkat. “Tunggu saja konferensi persnya besok,”

Karena tidak bisa mengorek keterangan dari Rudy, akhirnya saya berusaha mencoba menelpon ketua Lembaga Sensor Film, Titi Said. Beruntung, waktu itu Titi Said mau memberikan sedikit komentarnya tentang “pencekalan” tersebut.

Menurut Titi, LSF sama sekali tidak mencekal film tersebut. Lha wong kata dia film itu juga belum selesai sama sekali. Menurut Titi, LSF hanya memberikan pertimbangan tentang poster yang hendak diedarkan oleh RELOAD Production (produser film 9 Naga).

“Nah, karena memang kita memang diminta yah LSF memberikan pertimbangannya,” ujar Titi kala itu kepada saya.

Titi mengakui dua alasan tersebut, yakni tagline yang provokatif dan pusar Fauzi Baadillah yang terlalu kebesaran. Nah, dari pertimbangan-pertimbangan itulah timbul kata-kata cekal dari pihak produsen film.

Menurut Titi, tagline tersebut cenderu ambigu. Soalnya, di tengah keadaan masyarakat saat ini kalimat manusia terbaik adalah penjahat sama sekali mempunyai makna yang positif.

Sementara itu soal pusar, Titi mengatakan keberatan LSF ternyata keberatan dengan gambarnya yang terlalu besar. Apalagi hanya setengah badan.

“Yah nanti orang pikirnya yang enggak-enggak begitu menonton film ini,” kata ibu setengah baya ini.

Terakhir, Titi mengatakan proses pencekalan biasanya terjadi ketika film itu sudah diedarkan atau sudah jadi produksi.

“Nah ini belum jadi kok sudah dibilang cekal-cekal,” kata Titi waktu itu.

Sementara itu malam harinya saya juga kebetulan hadir dalam konferensi pers yang dilakukan Rudy di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Rudy sendiri mengaku tidak terlalu memikirkan tindakan LSF itu. Menurut Rudi perbedaan pola pikir memang tidak perlu diperdebatkan. Meskipun Rudy punya makna filosofis sendiri tentang tagline tersebut.

Yang bikin menarik adalah mendengar komentar Rudy tentang isu pencekalan tersebut tak lain adalah strategi marketing yang dilakukan RELOAD Production. Rudy dengan nada emosional mengatakan bahwa dia tak butuh publikasi.

“Saya enggak butuh publikasi. Mau filmnya saya enggak ada yang nonton kek saya enggak bakalan rugi,” kata Rudy.

Sementara itu Fauzi Baadillah mengatakan bahwa pose yang ia tampilkan sama sekali tidak memberikan kesan fulgar. Menurut Fauzy dia hanya diarahkan untuk memberikan kesan visual tentang seorang pria yang tengah bingung menentukan pilihan. Tapi, Fauzi tidak bisa menjawab kenapa harus setengah badan.

Get Rich or Die Tryin dan 9 Naga

Image hosted by Photobucket.com

Sebenarnya peristiwa “pencekalan” ini sama sekali tidak baru menurut saya. Sebelumnya di negara yang berbeda, poster film semi autobiografi penyanyi rap asal Amerika 50 Cent berjudul Get Rich or Die Tryin juga mengalami hal yang sama.

Di negara bagian Philadelphia dan Los Angeles poster film semi autobiografi 50 Cent terpaksa diturunkan karena dianggap mengganggu kenyamanan. Dalam poster tersebut digambarkan 50 Cent membawa mikrofon di tangan kanan dan pistol di tangan kiri. Setengah telanjang juga, namun 50 Cent membelakangi badan.

Sebenarnya kalau kita pikir-pikir dua poster tersebut memang sama. Dan yah hampir miriplah menurut saya. Sama-sama punya tagline yang provokatif dan sama-sama setengah badan.

Dan akhirnya, pemerintah kota Los Angeles dan Philladelphia memang menurunkan semua billboard tersebut. Nah, yang ini menurut saya baru adalah sebuah tindakan yang benar-benar memenuhi unsur pencekalan.

Berdasarkan factor kebebasan ekspresi dan kreasi, sebenarnya tindakan LSF adalah tindakan yang kontraproduktif. Tindakan LSF dianggap tindakan otoriter yang memberangus kebebasan dan akan kembali membuat beberapa orang menjadi tidak produktif.

Namun, ada baiknya kita juga melihat sesuatu dari sudut yang lain. Bisa saja, masyarakat kita memang belum bisa menerima sesuatu yang baru seperti halnya tagline yang provokatif seperti 9 Naga.

Lagipula, tagline seperti manusia terbaik di Indonesia aalah seorang penjahat bisa jadi adalah pengalaman pribadi seseorang yang memang tidak pantas untuk digeneralisasikan.

Thursday, December 08, 2005

Membaca Rieke Diah Pitaloka

Image hosted by Photobucket.com


Tadi malam sempat menghadiri peluncuran buku kumpulan puisi, Ups milik bintang sinetron dan penggiat seni, Rieke Diah Pitaloka, di Goethe Institut, Jakarta Pusat.

Ini merupakan buku kumpulan puisi ketiga Oneng, setelah Renungan Kloset, dan Renungan Kolset (Dari Cengkeh sampai Utretch).

Berbeda dengan peluncuran buku lainnya yang biasa diisi dengan tumpengan nasi kuning atau semarak pesta, peluncuran buku kumpulan puisi milik istri Dony Gahral Adian ini diisi dengan sangat istimewa.

Bertepatan ketika Gus Dur datang, tak lama kemudian acara dibuka oleh lagu It’s Time oleh grup musik etnik Valet. Nuansa timur sangat terasa dalam lagu It’s Time tersebut, membuat saya terbawa suasana yang temaram di dalam aula Goethe Institut.

Setelah lagu dinyanyikan berturut-turut tiga selebritas seperti Nany Widjaya, Fanny Fadila dan Inul Daratista membacakan puisi milik Keke-panggilan akrab Rieke. Masing-masing membacakan dua puisi.

Acungan dua jempol saya sematkan kepada Nany Widjaya. Ibu artis mendiang Sukma Ayu ini berhasil membawakan puisi Keke dengan baik. Kesedihan warga Aceh karena tsunami terasa makin pedih ketika Nany merintih membawakan puisi berjudul Di Depan Baiturrahman.

Setelah Nany, giliran Fanny dan Inul Daratista membacakan puisi. Sayang, Inul tidak membawakan puisi-puisi Keke dengan baik. Inul sepertinya kehilangan soul yang digoreskan Keke dalam setiap puisinya.

Penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur ini seperti berjalan tak tentu arah, dan tak mengenal mana titik dan koma. Tapi, tak apalah setidaknya dia berniat sungguh-sungguh untuk membacakan puisi itu.

Ok, kembali ke topik, buku Rieke ini berisi dari 40 buah puisi. Hampir sebagian puisi di tulis di tahun 2005 ini. Bahkan sang empunya buku mengaku semua puisinya di tulis di sela-sela syuting Bajaj Bajuri dan Salon Oneng.

Secara keseluruhan puisi yang dibawakan Keke memang tidak lepas dari keseharian Keke sebagai artis dan aktivis.Membaca puisi ini seperti membaca kegelisahan Keke tentang segala keadaan terutama tentang social, politik dan budaya.

Puisi-puisi yang ia keluarkan tak pernah lepas dari isyu-isyu masyarakat marjinal seperti peristiwa busung lapar, kebijakan pemerintah yang tak populis dan kesetaraan gender.

Berbeda dengan buku kumpulan puisi yang sebelumnya, Keke kali ini jauh lebih banyak menggunakan kata-kata lugas. Semua puisinya terasa tujuannya hendak kemana.

Alhasil, setelah membaca puisi pembaca tak lagi dibawa Keke untuk mencapai tahap proses perenungan. Ok lah, Keke mungkin tak ingin pembacanya terlalu bingung menafsirkan apa yang hendak ia katakana.

Tapi, daripada pembacanya terlalu mudah menelan kata-kata dan membuang penafsiran mereka di pinggiran selokan, ada baiknya Keke tetap menyisakan sedikit ruang bagi pembacanya untuk berinteraksi dengan puisi tersebut.

Seperti kata Pablo Neruda, penyair tugasnya adalah mendewasakan bangsanya. Kita berharap Keke makin terus mendewasakan kita dan bukan mengarahkan kita.

Selamat Ke, tetap terus berkreasi..!!!

Friday, December 02, 2005

Sinetron Dakwah-Horror Pembodohan Akal Sehat

Image hosted by Photobucket.com

Tadi malam saya sempat dikagetkan dengan cerita ibu saya tentang peristiwa pemakaman seorang tetangga. Suasana pemakaman yang seharusnya khidmat ternyata berubah menjadi chaos ketika jenazah sang almarhum ternyata tidak muat ke dalam lubang kubur. Alhasil, anak-anak almarhum yang berada di lokasi shock berat, bahkan ada yang langsung jatuh pingsan.

Tak heran, suasana pun langsung jadi sangat panik. Banyak yang menyangka adzab Tuhan, seperti yang seperti ditayangkan sinetron-sinetron dakwah, tengah terjadi.

Untungnya, suasana yang chaos itu berhasil diademkan oleh beberapa orang yang langsung mengukur panjang lubang kuburan. Ternyata, setelah diukur-ukur panjang kuburan ternyata tidak sesuai dengan panjang tubuh almarhum yang memang mencapai sekitar 190 meter.

Jenazah jadi tidak muat karena memang si penggali kuburan telah salah mengira panjang tubuh almarhum. Alhasil, galian yang seadanya itu tidak cukup bagi almarhum untuk masuk ke liang kubur. (Ibu saya tidak bohong dan ini memang kisah nyata).

Dari gambaran di atas terlihat dengan jelas bahwa pengaruh sinetron-sinetron horror-dakwah menjadi gambaran yang sangat mengerikan bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang tak bisa secara sehat menyaring informasi-informasi yang mereka dapatkan dari sinetron tersebut.

Alhasil, ketika berhadapan dengan fenomena yang harusnya bisa diterima nalar, mereka malah dan membelakangkan logika dan malah mengasosiakan hal tersebut dengan adzab dan siksa yang tengah diberikan Tuhan.

Beberapa waktu lalu aktor dan sutradara Deddy Mizwar juga mengkritik maraknya sinetron tersebut. Menurut sutradara film Ketika ini sinetron-sinetron yang umumnya berjudul Rahasia Ilahi, Adzab Ilahi, Jalan Kebenaran dan segala macamnya itu bukanlah sinetron yang religius.

Alasannya, yang paling banyak dieksploitasi dari sinetron tersebut adalah penampakan jin. Selain itu sinetron tersebut justru paling banyak fokus pada masalah kutukan. Padahal menurut Deddy, agama bukan seluruhnya bersifat mistis dan gaib.

Saya sendiri juga sering merasa bingung, entah kenapa sinetron-sinetron tersebut banyak digemari oleh masyarakat. Sebelum tulisan ini jadi, saya juga sempat membaca sebuah postingan tentang hal yang sama di pelacurkorporat.multiply.com.

Dalam postingan itu sang penulis mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang naturalnya menyukai segala hal yang berbau mistik. Tidak heran, kalau semuanya selalu diasosiasikan dengan hal-hal berbau mistik.

Dari postingan ini berkembang beberapa dugaan yang mengatakan bahwa sinetron horror-dakwah sengaja dibentuk guna menghindari isu-isu sentral yang terjadi di masyarakat.

Saya memang mengerti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat timur yang sangat mistis dan religius. Saya juga mengerti bahwa masyarakat Indonesia butuh hiburan. Yang saya tidak mengerti adalah kenapa akal sehat kita selalu dibodohi oleh segelintir orang yang memang hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan komersil.

Tanya kenapa…?

Dari Bidan Panggilan Jadi Pemilik Rumah Sakit

Perjuangan Kasih Sayang Bidan Dedeh

Image hosted by Photobucket.com

Menjadi seorang bidan memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Ketika sedang bekerja, dua nyawa berada di tangan seorang bidan. Dari beban itu saja sudah sedikit tergambar bahwa menjadi seorang bidan bukanlah pekerjaan yang mudah.

Nah, bagaimana kalau beban itu ditambah ketika seorang bidan ditugaskan di sebuah daerah terpencil yang tak ia tahu sebelumnya. Bidan Dedeh Nuriyati justru mampu menjawab tantangan tersebut. Hebatnya dengan keikhlasan hati Bidan Dedeh justru tidak hanya berhasil menjalankan tugasnya sebagai bidan tapi juga berhasil membangun sebuah rumah sakit umum di kawasan Karang Tengah, Ciledug, Tangerang.

Kepada SINDO beberapa waktu lalu, Bidan Dedeh mengaku perjalanannya sebagai seorang bidan memang tidak lebih adalah karunia Tuhan. Bayangkan, begitu lulus dari sekolah bidan di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1974, Bidan Dedeh malah mantap hati memilih Cipondoh, Tangerang sebagai lokasi tugasnya. Padahal, mendengar dan menyebut kata Tangerang saja Bidan Dedeh belum pernah.

“Waktu itu saya sebenarnya mau tugas di Tasikmalaya karena saudara dan keluarga saya ada di sana. Tapi, waktu disuruh pilih entah kenapa saya tiba-tiba kepengen tugas di Tangerang,” kata Bidan Dedeh.

Karena sudah mantap hati, Bidan Dedeh akhirnya nekat pergi juga. Padahal, keberangkatan dia ke Tangerang sempat ditentang Abdul Zafar, yang waktu itu masih berstatus calon suaminya. Zafar hanya ingin Dedeh menjadi istri, dan merasa mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. "Tetapi permintaan itu saya tolak karena saya terikat pada sumpah bidan. Biar saya tidak kenal Tangerang, tetapi saya tetap berangkat ke sana," cerita Dedeh.

Begitu sampai di Tangerang, bayangan kota Tangerang yang ada di benak Bidan Dedeh ternyata benar-benar terwujud. Apalagi, waktu itu Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang memerintahkan bidan dedeh untuk bertugas di Puskesmas Cipondoh.

“Padahal waktu itu transportasi di Tangerang sangat sulit. Saya ke Cipondoh saja harus naik kendaraan umum yang biasa datang 2 jam sekali,” kata Bidan Dedeh.

Tidak heran,selama bertugas di Cipondoh, Bidan Dedeh mengaku sering jatuh bangun. Bahkan, Bidan Dedeh pernah jatuh beneran dari sepeda ontel ketika hendak ke rumah salah satu pasiennya.

“Waktu itu saya sering banget naik truk tanah atau sepeda ke rumah pasien. Pernah karena saking terburu-burunya saya jatuh dari sepeda. Meski luka-luka saya tetap harus datang ke rumah pasien,” kata Bidan Dedeh.

Cipondoh Waktu Itu

Di tengah suasana yang minim fasilitas, Bidan Dedeh juga semakin dipersulit dengan cara pandang masyarakat Cipondoh yang waktu itu masih sangat minim.

“Masyarakat Cipondoh waktu itu masih sering menggunakan dukun paragi. Parahnya, karena rata-rata penduduk rumahnya berlantai tanah, jadi bayi yang lahir seluruh tubuhnya penuh dengan tanah. Bukan itu saja, perlengkapan bayi pun mereka tidak ada jadinya sangat berbahaya bagi kesehatan bayi,” kata Bidan Dedeh.

Guna mengubah pandangan masyarakat Cipondoh itulah akhirnya Bidan Dedeh terus semangat berkerja. Tanpa mengenal waktu dan lelah, Bidan Dedeh terus berusaha mengubah pandangan tersebut.

Bahkan, agar masyarakat Cipondoh mau menggunakan jasa bidan, Bidan Dedeh mengaku tidak pernah menarik bayaran.

“Kalau ada yang melahirkan saya jarang meminta imbalan jasa. Terserah saja seridhonya mereka. Sebagian ada yang membayar dengan sayur-sayuran, buah kelapa atau beras ketan. Tetapi, saya senang karena saya merasa bermanfaat bagi orang lain,” ucap Bidan Dedeh.

Menurut Bidan Dedeh, peristiwa melahirkan buat seorang ibu adalah peristiwa yang sangat menegangkan. Ibu harus merasa tenang dan nyaman sehingga dia bisa menjalani proses melahirkan itu dengan baik.

"Ketika melahirkan, seorang ibu berada dekat dengan maut. Jika dia panik dan ketakutan,
bisa membahayakan bayi dan dirinya sendiri. Makanya, setiap kali membantu seorang ibu melahirkan saya melakukannya sepenuh hati, dan menganggap ibu itu diri saya sendiri," kata putrid pasangan almarhum Udin Fahrudin dan Sadiah ini serius.

Komitmen Dedeh untuk membantu dengan sepenuh hati itu, yang akhirnya membuat Dedeh sekarang bisa memiliki sebuah rumah sakit umum tipe C, yakni RSU (Rumah Sakit Umum) Bhakti Asih di Karang Tengah, Ciledug, Tangerang. Di rumah sakit itu tersedia 80 tempat tidur dengan fasilitas kamar operasi, laboratorium, radiologi, pelayanan fisioterapi, unit gawat darurat, dan klinik umum.

"Namun walau rumah sakit itu sudah melayani umum, titik fokusnya tetap untuk ibu dan anak. Saya sediakan fasilitas untuk senam hamil, pijat bayi, dan klinik konsultasi untuk orangtua dalam persiapan kelahiran. Biar bagaimanapun, saya berangkat dari sana," ungkap Dedeh
yang memulai karier bidannya sejak tahun 1974.

Setelah enam tahun praktik menjadi bidan panggilan, Dedeh merasa lelah. Dia mengumpulkan uang dan berhasil membeli dua tempat tidur lalu mendirikan praktik bidan di rumahnya. tyernyata dua tempat tidur itu tidak mencukupi permintaan masyarakat. Tidak lama kemudian, Dedeh menambah tempat tidurnya menjadi 15 buah.

"Praktik bidan saya ramai sekali. Dalam sebulan, sedikitnya saya melayani 68 persalinan. Dan ternyata pasien yang datang tidak hanya ibu yang akan melahirkan. Pasien dengan penyakit lain pun berdatangan. Padahal saya tidak berwenang untuk menyembuhkan penyakit mereka," cerita dia.

Melihat permintaan masyarakat yang tinggi, akhirnya Dedeh mengubah praktik bidannya menjadi rumah bersalin dan klinik spesialis berikut balai pengobatan 24 jam dan klinik penunjang medik, seperti laboratorium, radiologi, dan fisioterapi. Sekarang dia tidak lagi bekerja sendiri, tetapi sudah dibantu beberapa bidan, dokter umum, dokter spesialis, dan paramedis. Saat ini, untuk operasional RSU Bhakti Asih, Dedeh dibantu oleh 40 dokter dan 200 orang karyawan.

Ibu dan Suami Faktor Utama

Pilihan menjadi seorang bidan bagi Bidan Dedeh tak lepas dari pengaruh ibunya, Sadiah. Menurut Bidan Dedeh, waktu kecil dulu ibunya kerap bercerita tentang bidan dan perawat yang jauh lebih manjur dibandingkan dokter.

“Waktu itu ibu saya cerita kenapa waktu di rumah sakit lebih cepat sehat ketika dipegang bidan atau perawat dibanding sama dokter. Waktu itu ibu justru meminta saya untuk menjadi perawat atau bidan,” ucap Bidan Dedeh.

Menurut Bidan Dedeh, ibunya mengatakan seorang bidan yang baik adalah bidan yang mempunyai kasih sayang dengan semua pasiennya dan orang lain.

“Makanya sampai saat ini saya berjuang untuk kasih sayang,” ucap Bidan Dedeh.

Lebih lanjut Bidan Dedeh mengaku bersyukur mempunyai seorang suami sesabar Abdul Zafar. Sebab, tanpa kehadiran Abdul Zafar lah Bidan Dedeh tidak sesukses sekarang ini.

“Saya bersyukur suami saya mau mengizinkan saya untuk berkerja di luar rumah. Saya sangat menyayangi dia,” ucap Bidan Dedeh dengan mata berkaca-kaca. (wahyu sibarani)

Dari Rumah Petak Hingga Rumah Sakit Tiga Tingkat

Image hosted by Photobucket.com

Siapa nyana kalau Rumah Sakit Umum Bhakti Asih yang dimiliki oleh Bidan Dedeh Nuriyati pada mulanya hanyalah sebuah rumah petak yang ada di jalan Raden Saleh No. 10 Karang Tengah, Ciledug, Tangerang.

Menurut Bidan Dedeh rumah petak itu pada awalnya ditempati oleh dia dan suaminya. Awalnya, Bidan Dedeh berniat membuat rumah tersebut sebagai rumah tinggal. Namun, karena panggilan hati nurani Bidan Dedeh membuka praktek bidan di rumah tersebut.

“Waktu itu sebagian rumah saya buat jadi tempat praktek. Dua tempat tidur saya bikin untuk rawat inap. Biasanya, saya praktek sore hari sepulang kerja dari puskesmas. Karena sudah punya anak saya kadang-kadang bekerja sambil menggendong anak di punggung saya,” kata Bidan Dedeh.

Karena niat awalnya adalah menolong sesama, Bidan Dedeh kerap tidak menerima bayaran dari pasiennya yang kurang mampu. Karena factor itulah, rumah bersalin mini Bidan Dedeh makin ramai dikunjungi pasien.

Karena semakin banyak yang jadi pasien, pada tahun 1993, Bidan Dedeh akhirnya memperluas rumah bersalin itu menjadi rumah bersalin dan klinik spesialis. Perubahan besar justru terjadi pada tahun 1995, ketika Bidan Dedeh bersama Yayasan Bhakti Asih membangun rumah sakit bersalin itu tiga tingkat.

“Waktu itu saya terdorong dengan kebutuhan pasien yang cukup banyak. Terutama golongan menengah ke bawah yang terpaksa dirujuk ke rumah sakit lain karena kita memang statusnya bukan rumah sakit,” ucap Bidan Dedeh.

Dari segi fasilitas, rumah sakit Budhi Asih memang bisa dikatakan sangat lengkap. Ri rumah sakit itu tersedia 80 tempat tidur dengan fasilitas kamar operasi, laboratorium, radiologi, pelayanan fisioterapi, unit gawat darurat, dan klinik umum.

Bidan Dedeh mengaku sengaja memilih nama Budhi Asih karena sesuai dengan niatnya dari awal, yakni melayani dengan kasih.

“Waktu bikin nama rumah sakit saya konsultasi dengan teman saya yang juga seorang notaries. Kebetulan, karena saya memang berniat melayani dengan kasih sayang makanya dinamakan Budhi Asih,” ucap Bidan Dedeh.

Hebatnya, Bidan Dedeh sendiri mengaku pembangunan rumah sakit Budhi Asih ini belum tuntas. Ia malah mengatakan akan terus membangun rumah sakit Budhi Asih.

"Ini baru sepertiganya. Saya akan bangun rumah sakit ini tiga kali lagi,” ucap Bidan Dedeh bersemangat. (wahyu sibarani)