Tuesday, June 27, 2006

Being Wartawan Hiburan

Sebenarnya rasa aneh ini sudah lama saya pendam. Titel sarjana hukum seharusnya memang berkutat dengan hal-hal yang sifatnya yuridis. Tapi, toh ternyata saya, seorang sarjana hukum dari sebuah universitas negeri di Jawa Tengah justru malah berkutat dengan hal-hal yang sifatnya jauh dari bayangan seorang sarjana hukum yakni gossip.

Perasaan aneh itu makin terasa ketika saya bertemu teman-teman kampus saya beberapa waktu lalu. Pertemuan itu terjadi karena kebetulan ibu dari teman saya meninggal dunia.

Karena dia adalah teman yang istimewa banyak teman yang menyempatkan waktu untuk datang. Kebetulan juga saya dan teman-teman sudah lama tidak bertemu.

Acara dukacita itu pun secara mendadak jadi ajang untuk bersilaturrahmi. Tukar menukar nomor handphone, bertanya-tanya kabar, hingga satu hal yang paling tidak saya sukai, berbicara soal pekerjaan.

Di antara teman-teman, memang hanya saya saja yang memilih untuk berkecimpung di dunia jurnalistik. Mereka rata-rata bekerja jadi jaksa, hakim atau paling minim pekerja kantoran lah yang saya enggak tahu sebutannya.

Dulu, saya memang sedikit bisa berbangga karena saya adalah wartawan politik. Sedikitnya saya masih punya positioning atau alasan yang membuat saya merasa lebih penting dibandingkan mereka yang telah memilih untuk eksis sesuai latar belakang akademik mereka.

Hanya saja kali ini saya adalah seorang wartawan hiburan. Wartawan yang sehari-harinya hanya bertugas menuliskan berita tentang kehidupan selebritas berikut isyu-isyu terbaru yang terjadi di kehidupan mereka.

Perubahan ini memang berimbas pada perubahan pandangan mereka. Ketika berbicara tentang pekerjaan saya mereka selalu membicarakan hal itu dengan guyonan atau tertawa.

Entah apa yang membuat mereka tertawa. Apakah pekerjaan saya adalah sesuatu yang lucu atau memang pekerjaan saya memang pantas ditertawakan.

Saya sadari memang pekerjaan wartawan hiburan memang adalah sesuatu pekerjaan yang memang khusus. Bukan karena dibutuhkan keahlian khusus, melainkan karena memang hanya dibutuhkan sebagai pelengkap saja.

Begitu juga dari segi jurnalistik, berita-berita hiburan memang berada dalam posisi yang kurang sepadan dengan berita-berita umum. Minimnya pengaruh atau efek pada publik membuat berita hiburan hanya dianggap sebagai pelengkap.

Awalnya saya memang selalu berusaha menerima pelabelan tersebut. Hanya saja masalahnya menjadi sangat krusial bagi saya karena saat ini saya justru mendapatkan nada-nada sumbang soal pekerjaan saya ini.

Teman saya sudah meminta kepada saya untuk memikirkan masa depan saya dengan secepat mungkin pindah desk halaman. Kakak saya lebih parah lagi, dia bilang otak saya sudah enggak bisa lagi diajak untuk berpikir keras. Apalagi jika membahas soal fenomena-fenomena hukum yang terjadi saat ini.

Hal itu semakin diperparah lagi karena kebetulan pada saat yang bersamaan adik saya, justru semakin terasah pemahaman hukumnya karena dia memang bekerja di sebuah situs berita yang memang concern membahas masalah hukum.

Saya akui saya memang mengalami kemunduran jika membahas hal-hal yang bersifat tekhnis hukum. Saya akui juga saya memang agak sedikit terbelakang karena selalu ketinggalan berita-berita umum.

Dulu, saya pernah membela diri kepada teman-teman saya agar bisa sedikit berbangga karena memiliki status sebagai wartawan hiburan. Menurut saya, melalui dunia hiburan saya dan teman-teman bisa mengetahui segala hal yang tidak diketahui ketika bekerja sebagai wartawan umum.

Kita jadi fasih berbicara KUHP seperti fasihnya wartawan kriminal. Kita juga fasih berbicara soal pernikahan dan perceraian seperti fasihnya seorang hakim dan pengacara hukum. Kita juga bisa berbicara soal hukum karena memang artis-artis juga sering terlibat pertikaian hukum. Terakhir, kita juga bisa concern atas Rancangan Undang-undang yang dilakukan di DPR seperti concern-nya wartawan politik atas rancangan tersebut. Jadi sebagai wartawan hiburan kita juga bisa mengerti apa yang dibutuhkan oleh negara saat ini.

Hal itu terjadi karena kita, wartawan hiburan, selalu berhubungan dengan tingkah laku manusia terutama artis. Seperti kita ketahui tingkah laku manusia memang tidak terbatas. Mereka selalu menyentuh segala aspek kehidupan mulai dari hukum, politik, kriminalitas, achievement hingga murni hiburan sendiri. Jadi kalau disadari kita selalu mendapatkan nilai lebih dari pekerjaan kita sendiri.

Sayangnya, pekerjaan ini memang tidak pernah mendapatkan posisi terhormat di mata masyarakat. Dari namanya memang sudah susah juga, wartawan hiburan, yah posisinya emang sebagai penghibur saja bukan pelaku utama.

Posisi dilematis ini memang membuat saya kadang terenyuh sendiri. Apalagi, saya kadang teringat betapa susahnya meluluskan diri dari sebuah fakultas hukum. Bahkan ketika beberapa waktu lalu saya membaca skripsi saya, saya hanya bisa tersenyum sendiri karena memang saya sudah jauh sekali dari awal saya bermula.

Lagi-lagi

Tadi malam saya menghadiri konferensi pers Taufik Hidayat menanggapi tuduhan telah mempunyai anak bernama Excel di Lantai 12 Gedung Patra Jasa, Jakarta Selatan.

Sebenarnya berita Taufik itu tidak akan masuk ke koran saya. Mengingat, mertua Taufik, Agum Gumelar adalah Komisaris MNC Grup. Jadi akan sangat tidak sopan jika koran saya ikut-ikutan memberitakan berita tersebut.

Namun karena alasan ingin tahu akhirnya saya datang juga ke kantor pengacara Roesmanhadi and Associates itu.

Begitu datang, saya sudah menduga bahwa ruangan yang dipakai untuk konferensi pers tidak akan mencukupi jumlah infotainment dan wartawan hibura yang datang ke konpers tersebut.

Untungnya, konferensi pers dimulai 30 menit lebih awal. Jadinya, banyak infotainment yang datang terlambat.Kalaui tidak, saya enggak bisa membayangkan bagaimana bentuk dari ruangan konpers itu karena kelebihan muatan dari para krew infotainment.

Ketika konferensi pers dimulai memang sudah menjadi dugaan wartawan dan infotainment sebelumnya, Taufik sangat irit berbicara. Pebulutangkis nasional ini hanya mengatakan akan melakukan usaha hukum baik pidana dan perdata terkait berita yang cenderung ke arah fitnah tersebut. Tidak lupa, Taufik melalui kuasa hukumnya mengatakan bahwa dia tidak mempunyai hubungan hukum dengan Fanny atau Excel sesuai dengan Undang-undang perkawinan.

Pekerja infotainment memang sepertinya tidak terlihat puas dengan jawaban tersebut. Sayangnya berkali-kali pertanyaan atau desakan wartawan justru tidak digubris dengan baik oleh Taufik.Alhasil, konpers pun berakhir cepat dan sama sekali tidak memuaskan.

Setelah konpers selesai, seperti biasa para pekerja infotainment sepertinya tidak mau melepaskan buruannya. Ibarat anjing pemburu yang lapar, mereka masih terus-terusan mengejar Taufik.

Taufik sendiri langsung mengamankan diri di sebuah ruangan kantor tersebut. Parahnya, pekerja infotainment juga bertahan di muka pintu ruangan tersebut.

Di sinilah bencana dimulai. Mungkin tepatnya bukan bencana, soalnya semua ini adalah hal yang sangat biasa terjadi ketika semua para pekerja infotainment bekerja.

Ketika Taufik berusaha meninggalkan gedung Patra terjadi aksi penggerubungan dan dorong mendorong antara pekerja infotainment dan pengawal Taufik. Akibatnya, jalur jalan yang ada di lantai 12 gedung Patra penuh sesak dan penuh dengan aura panas yang keluar dari infotainment dan pengawal.

Saling sikut dan singgung-menyinggung itulah akhirnya terjadi kecelakaan yang dialami oleh seorang crew cameramen dari salah satu infotainment ternama. Lampu kamera yang ia gunakan pecah.Kerugian dihitung berkisar jutaan rupiah.

Entah, kejadian tadi malam adalah kejadian yang keberapa kali. Sepertinya, kejadian dorong-mendorong atau ribut mulut adalah hal yang harus dilakukan ketika konferensi pers artis terutama yang berkasus terjadi.

Saya sendiri sering kebingungan ketika menghadapi masalah seperti ini. Jika terus-terusan peristiwa seperti itu terjadi yang rugi bukan hanya kita saja. Tapi, semua orang mulai dari artisnya, wartawannya hingga masyarakatnya.

Artisnya dirugikan karena hak-hak privasi mereka dilanggar. Kenyamanan mereka terganggu hingga nyawa mereka terancam hanya karena tidak mau lagi memberikan komentar usai konferensi pers.

Bagi kita para wartawan atau pekerjaan infotainment hal itu memang sangat dirugikan. Selain karena sering mengalami kerugian materiil seperti rusaknya kamera atau alat perekam, kedudukan kita di mata artis juga mengalami degradasi. Tidak heran kalau saat ini lebih banyak artis sulit diwawancara, bahkan ketika mereka tidak berkasus.

Masyarakat juga dirugikan karena berita yang keluar di masyarakat cenderung adalah berita yang sangat tendensius. Berita yang keluar tidak lain adalah berita yang sama sekali tidak balance dan dibuat seakan-akan dibuat untuk memojokkan orang tertentu.

Contohnya, ketika pagi harinya berita yang keluar tentang Taufik justru aksi dorong mendorong diberikan porsi yang lebih besar ketimbang pernyataan Taufik sendiri.

Saat ini memang sudah banyak orang atau pengamat yang mengkritisi kebiasaan-kebiasaan ini. Hanya saja semakin banyak kritikan yang keluar justru tidak pernah merubah kebiasaan tersebut.

Sulit memang untuk merubah pandangan para pekerja infotainment agar selalu bisa meletakkan segala sesuatunya dalam proporsi yang benar. Sebab, bagi mereka berita yang keluar bukanlah sebuah produk jurnalisme melainkan adalah sebuah kemasan produk yang mereka inginkan.

Jadinya tidak heran ketika proses pekerjaan membuat berita itu akhirnya juga dilakukan dengan cara-cara pemaksaan. Soalnya, produk yang mereka inginkan tentu tidak akan terjadi jika sang narasumbernya tidak memberikan jawaban-jawaban yang mereka inginkan.


Monday, June 26, 2006

Ujian Nasional

Judul di harian Warta Kota beberapa waktu lalu bikin hati saya miris. Saya sudah lupa judulnya, hanya saja waktu itu disebutkan lebih dari 6 ribu pelajar SMA dinyatakan tidak lulus ujian nasional.

Awalnya, saya hanya bisa miris dan mencoba melupakan seolah tidak mau peduli. Toh itu memang urusan mereka. Namun, saya tidak bisa untuk tidak peduli ketika salah satu keponakan saya, Rintar, juga tengah menunggu hasil ujian nasional tingkat SMP.

Saya merasa cemas dan takut. Saya tidak bisa membayangkan keponakan saya bisa jadi korban dari ganasnya sistem baru tersebut.

Kecemasan saya jadi ketakutan yang sangat menjadi-jadi, mengingat keponakan saya itu memang bukan tipe anak yang suka belajar. Secara akademik pun prestasi yang ia cetak selama ini biasa-biasa saja.

Ternyata kecemasan itu bukan hanya saya saja yang merasakan. Seluruh keluarga saya terutama kedua orang tua saya benar-benar cemas dengan pengumuman kelulusan tersebut.

Berkali-kali orang tua saya meminta saya untuk mencari informasi seputar ujian nasional SMP. Pertanyaannya pun selalu sama, apakah kriteria yang ada dalam ujian nasional tingkat SMA juga diterapkan pada ujian nasional tingkat SMP.

Jika memang diterapkan sama, maka jawabannya adalah bencana. Kita semua enggak bisa memikirkan apakah keponakan saya yang gemuk satu itu bisa sukses mendapatkan nilai lebih di atas 4,26 untuk semua mata pelajaran khususnya matematika.

Matematika memang jadi momok menakutkan bagi Rintar. Menghitung memang bukan pekerjaan yang ia suka. Seperti saya, ia lebih suka menyanyi. Setiap hari setiap waktu selalu ia habiskan dengan bernyanyi dan bernyanyi.

Tidak heran, kalau bayang-bayang ketidak lulusan justru lebih banyak bergayut di benak saya dan keluarga saya. Kita semua tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika Ririn benar-benar tidak lulus.

Bagi keluarga kami ketidaklulusan memang bisa dikatakan adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua kakak dan adik saya menjalani studi akademiknya dengan baik.

Ketakutan saya semakin menguat ketika saya berbicara kepada teman saya di desk nasional. Menurut dia, sistem yang digunakan oleh ujian nasional SMP sama dengan ujian nasional SMA.

Sama-sama hanya tiga mata pelajaran yang diujikan dan juga sama-sama menggunakan koefisien tertentu untuk menentukan kelulusan seseorang.

Keterangan teman saya itu membuat saya semakin berat untuk mengatakan kepada keluarga saya tentang sistem ujian nasional SMP itu. Alhasil, saya terpaksa berbohong kepada kedua orangtua saya dengan mengatakan bahwa semua anak SMP dipastikan lulus. Sedangkan tiga mata pelajaran itu hanya dijadikan standar untuk menentukan apakah keponakan saya itu bisa diterima di SMA negeri atau tidak.

Mama memang terlihat senang dengan keterangan saya waktu itu. Sebab, dengan keterangan itu dia bisa merasa bahagia melihat cucu tersayangnya itu tidak dilanda kesedihan karena tidak lulus ujian.

Meski demikian kekalutan itu toh tetap datang juga. Pagi hari tadi, semua keluarga sudah berkumpul semua di ruang keluarga untuk menunggu hasil ujian nasional.

Bahkan setahu saya tadi malam Kak Wulan, ibu Rintar, sudah tadi malam mencoba lewat SMS untuk mengetahui hasil ujian tersebut. Sayang, cara itu justru tidak berguna sama sekali. Soalnya, yang keluar hanyalah permintaan-permintaan aneh untuk memberikan nomor-nomor yang tidak jelas.

Alhasil, pagi tadi saya bersama Rintar naik motor menuju warnet terdekat. Berbeda dengan dulu, kali ini informasi kelulusan memang bisa diakses melalui internet.

Setelah sampai di warnet ternyata bukan hanya saya dan keponakan saya juga yang sedang sibuk mencari hasil ujian. Ternyata ada beberapa anak SMP lainnya melakukan hal yang sama.

Ada perasaan was-was ketika saya mengetikkan nomor ujian Ririn di daftar search kelulusan. Saya takut menjadi orang pertama yang melihat kekecewaan di muka keponakan saya itu jika ia benar-benar dinyatakan tidak lulus.

Sialnya, begitu nomor dimasukkan dan icon search saya tekan ternyata yang keluar adalah pengumuman bahwa hasil ujian akan bisa diketahui jam 14.00 WIB.

Saya dan Rintar pun akhirnya pulang dengan perasaan hampa. Ditambah perasaan was-was yang semakin menggunung karena tidak bisa mengetahui hasil ujian.

Sepulangnya di rumah, Kak Wulan meminta saya untuk melihat hasil ujian itu melalui internet kantor. Saya sebenarnya tidak mau melakukan itu. Sebab, saya memang tidak kuat melihat hasilnya jika keponakan saya dinyatakan tidak lulus.

Namun, tanggung jawab sebagai paman memang saya harus embankan. Ketika jam kantor sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, akhirnya saya mengakses situs yang sudah diberikan keponakan saya itu.

Awalnya, memang sangat sulit untuk membuka situs tersebut. Saya menduga hal ini terjadi karena memang pada saat yang bersamaan banyak orang yang membuka situs itu.

Setelah menunggu 15 menit tampilan utama pun akhirnya keluar. Dengan hati-hati saya mengetikkan nomor ujian keponakan saya itu.

Perlahan-lahan gambar yang ada di depan computer pun keluar. Dan saya melihat sebuah kata yang saya cari-cari beberapa hari terakhir ini, LULUS di sudut kanan komputer.

Kejutannya, semua nilai yang ada di ujian tersebut benar-benar membelalakkan mata saya. Semua nilainya di atas enam. Memang belum maksimal, tapi saya bangga dengan dia. Ternyata di balik kekurangannya dia memang benar-benar berusaha semaksimal mungkin untuk jadi kebanggaan orangtuanya.

Belum lepas mata saya melihat pengumuman tersebut di komputer, handphone saya berdering dan suara di sana bertanya kepada saya, “bagaimana?”

Dengan ikhlas saya jawab dengan bahagia karena telah jadi yang pertama. “Lulus kak”.

Alhamdulillah.

Sunday, June 11, 2006

Busway, Tidak Punya Rem?

Photobucket - Video and Image Hosting

Tidak bisa dipungkiri, sebagai sarana transportasi Busway sangat berguna bagi para penggunanya. Busway berhasil mengatasi solusi kemacetan yang terjadi di
Jakarta khususnya di jalur-jalur yang memang padat akan kendaraan.

Meski masih sering berdesak-desakan, pengguna Busway masih tetap betah menggunakan busway karena keunggulannya membawa penggunanya ke tujuan dengan cepat.

Sampai saat ini saya sendiri belum pernah menggunakan busway. Kebetulan saya sehari-harinya memang menggunakan motor yang alhamdulillah sudah lunas untuk bekerja.

Berbeda dengan pengguna Busway, saya justru merasakan Busway adalah ancaman terbesar ketika saya berkendara di jalan. Kebetulan, jalur pekerjaan saya sehari-hari selalu bersinggungan dengan rute Busway khususnya di Koridor III yakni Kalideres-Pulogadung.

Koridor III Busway Kalideres-Pulogadung memang sangat berbeda dengan Koridor I Blok M-Kota. Jika diperhatikan, Koridor III Busway memang jauh lebih berbahaya dibandingkan Koridor I.

Mulai dari kerapihan rute, minimnya jembatan penyeberangan hingga banyaknya celah kosong untuk perpindahan jalur. Dari kekurangan yang saya sebutkan itu tidak heran kalau di Koridor III seringkali terjadi kecelakaan yang melibatkan busway.

Alhamdulillah, saya pribadi memang belum pernah mengalami kecelakaan dengan busway. Hanya saja saya tidak sekedar menuduh kalau saya sering membaca koran-koran kota yang memberitakan adanya kecelakaan yang melibatkan busway.

Coba saja anda Google kecelakaan Busway di internet. Pasti akan ditemukan ada beberapa berita yang mengatakan terjadi tabrakan antara pengguna lalulintas dan busway. Korban tabrakan itu pun mengalami kejadiaan bervariasi, ada yang luka ringan, luka berat hingga tewas.

Faktor minimnya fasilitas pengaman memang jadi faktor utama pemicu kecelakaan. Hanya saja saya sedikit khawatir dengan cara mengendara supir-supir Busway.

Adanya jalur khusus bukan jadi jaminan bagi para supir busway untuk mengendarai mobil dengan hati-hati. Sepanjang yang saya lihat mereka justru mengendaraka mobil dengan kencang.Tidak hanya ketika jalur benar-benar kosong atau jalur yang ternyata dilewati oleh pengguna jalan lainnya.

Saya pernah berbincang kepada adik saya Ari. Sebagai pengguna busway dia memang mencemaskan gaya berkendara para supir busway.

Dia mengatakan kepada saya supir busway sepertinya tidak pernah mau mengurangi kecepatannya ketika melintas.

Contoh nyata yang saya alami sendiri adalah di perempatan Tomang-Cideng. Di pagi hari sebelum jam 10.00 WIB, semua kendaraan yang datang dari Tomang atau Tangerang memang diperbolehkan menggunakan dua jalur. Baik Tomang-Harmoni atau sebaliknya, Harmoni-Tomang.

Biasanya semua orang yang mau pindah ke arah Tanah Abang langsung bepindah jalur. Karena perpindahan tersebut, semua pengendara harus mengawasi apakah di depan atau di belakang mereka akan melintas Busway atau tidak.

Biasanya di pagi hari memang ada beberapa petugas DLLAJR yang selalu mengawasi perpindahan lintasan tersebut. Hanya saja, sering juga beberapa petugas DLLAJR telah meninggalkan lokasi terutama ketika jam sudah mau menunjukkan pukul 10.00 WIB.

Nah, biasanya sejak ditinggal itulah perpindahan sering agak kacau. Pengemudi busway sepertinya tidak pernah rela lintasannya dilewati begitu saja. Seakan-akan untuk menakut-nakuti semua kendaraan yang ada di depannya, laju kendaraan justru semakin dipercepat.

Bagi saya tindakan pengemudi busway itu memang sangat aneh. Jalur khusus yang diberikan bukan memperbolehkan mereka untuk secepat-cepatnya menekan gas.

Jalur khusus diberikan agar para pengemudi busway bisa mengendarakan kendaraannya dengan bertanggungjawab tanpa merugikan para pengguna lalulintas lainnya. Terutama untuk sekali-kali menggunakan fasilitas yang ada di busway itu sendiri yaitu, rem.

Thursday, June 08, 2006

The Crescent Moon (Choseung-dal-gwa bam-bae)

Photobucket - Video and Image Hosting


“Apakah karena kita tidak punya orang tua maka kita orang jahat”

Tak ada bulan yang tak seindah bulan purnama. Lalu, apakah bulan sabit adalah bulan yang sempurna?

Crescent Moon mengajarkan kepada kita betapa hidup ini memang selalu tidak pernah sempurna. Selalu banyak kekurangan dalam hidup yang memang harus kita terima. Hanya saja kekurangan itu bukan membuat kita harus berpangku tangan dan menyerahkan diri pada perputaran nasib.

Semua orang mempunyai kekurangannya masing-masing. Dan di tengah kekurangan itu kita harus berusaha saling membantu dan menyayangi. Manusia ada di dunia karena saling membutuhkan dan membantu satu sama lainnya.

Beruntung bagi saya ketika terlahir di dunia kedua orangtua yang baik dan penuh kasih sayang selalu ada di samping saya. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Nan-na dan Oh-gi yang ketika lahir mereka tak mendapati siapa pun untuk disebut ayah dan ibu.

Tanpa kehadiran orang tua, sejak kecil Nan-na dan Oh-gi sudah merasakan manis dan pahit getirnya kehidupan. Bagi Oh-gi dan Nan-na hidup jadi semakin sulit karena mereka tidak didampingi ayah dan ibu.

Sedari kecil Nan-na terpaksa belajar banyak untuk bertanggungjawab. Sedangkan, Oh-Gi yang memang mengalami cacat fisik dengan segala kebesaran hatinya berusaha menerima apa yang terjadi pada dirinya. Baik tak punya orang tua dan tak punya fisik yang normal.

Namun sekali lagi orang tua adalah bagian yang sangat terpenting bagi anak-anak. Hal itulah yang dirasakan Oh-Gi dan Nan-na. Keinginan yang besar untuk mempunyai orang tua terpaksa membuat mereka menjadi korban kerasnya kehidupan. Mereka berkelahi, mereka berpisah, mereka jadi korban polisi, hingga akhirnya saling

Jujur, sulit bagi saya untuk tidak menahan air mata ketika menonton film ini. Selain karena terkesima dengan kemampuan akting para pemain filmnya, saya juga mati-matian menahan haru, kesal, dan tersenyum tertawa melihat betapa rumitnya kehidupan Oh-gi dan Nan-na.

Layaknya hidup, Nan-na dan Oh-gi tidak selalu seiring sejalan. Karena cemburu tidak lagi jadi pusat perhatian Neneknya, Nan-na selalu mengkasari Oh-gi. Apalagi cacat fisik Oh-gi membuat Nan-na terus-terusan merasa malu.

Film ini menjadi sangat realistis karena kehidupan Oh-gi, Nan-na dan Neneknya, digambarkan selalu naik turun. Apa yang dialami Oh-gi, Nan-na dan Neneknya, tak selamanya ditampilkan menyedihkan. Mereka juga kadang bahagia dan tak selamanya harus menitikkan air mata. Hanya saja hidup terlalu keras bagi mereka tanpa didampingi orangtua.

Dari pengalaman Oh-Gi dan Nan-na kita diajarkan bahwa kita harus benar-benar mencintai kehidupan ini. Mensyukuri apa yang telah kita punya dan mengikhlaskan kekurangan yang ada.

Seperti yang dikatakan oleh Nan-Na di akhir film.

“Saya sadar kenapa ibu meninggalkan saya. Karena dia tahu saya dan Oh-gi akan saling membantu”

Bagi semua orang, khususnya yang sudah berkeluarga, saya benar-benar yakin bahwa film ini benar-benar higly recommended.

Bioskop, Bapak dan Saya

Saya tidak tahu sejak kapan saya senang menonton film. Setahu saya dari kecil saya sudah senang sekali menonton film.Beruntung, saya punya bapak yang sangat mendukung hobby saya yang satu ini.

Ketika berbicara tentang film, bapak saya adalah sosok yang paling istimewa. Dia adalah orang yang pertama kali mengajak dan memperkenalkan saya pada bioskop dan studio 21.

Saya selalu ingat masa-masa indah saya ketika menonton film Sahur Sepuh di Tomang Ria Theater hingga film American Ninja yang diperankan oleh Michael Dudikoff di Roxy Theater.

Bagi bapak saya pergi ke bioskop adalah saat-saat yang paling istimewa. Saya teringat ketika bapak meminjam mobil teman agar kita sekeluarga bisa menonton aksi Brama Kumbara.

Kadang saat-saat itu membuat saya sering tersenyum sendiri. Soalnya, waktu itu kita sekeluarga sama-sama duduk di lantai theater karena semua kursi sudah terisi.

Ketika studio-studio 21 mulai berjamuran dan theater-theater kecil mulai berjatuhan, kebiasaan bapak mengajak kita menonton film tidak pernah pudar. Hanya saja karena tiket 21 tidak semurah tiket theater, bapak semakin selektif untuk mengajak anak-anaknya menonton film.

Sebagai anak laki-laki pertama, saya cukup beruntung karena dia sering mengajak saya ketimbang kakak-kakak dan adik saya.

Biasanya bapak sering mengajak saya ke Columbia 21. Soalnya, bioskop itu yang paling dekat dengan rumah kita. Jaraknya kira-kira 2 kilometer.

Karena jaraknya yang tidak begitu jauh dan tidak mau keluar ongkos lebih bapak dan saya selalu berjalan kaki menuju bioskop. Sepanjang perjalanan menyusuri pinggir kali yang kebetulan memang ada di situ, bapak selalu bercerita kepada saya tentang bagusnya bioskop-bioskop baru yang pernah ia datangi bersama teman-temannya.

Ia pernah mengatakan kepada saya, Kartika Chandra 21 (sekarang Planet Hollywood) adalah bioskop termegah yang pernah ia datangi. Ia bahkan mengatakan bioskop Columbia kalah besar dibandingkan bioskop Kartika Chandra.

Ketika mendengar cerita bapak, saya memang benar-benar terperangah. Soalnya, bagi saya Columbia 21 sudah sangat besar dan mewah.

Seolah bisa membaca ketakjuban di muka saya, bapak langsung berjanji akan segera membawa saya ke sana suatu saat nanti.

Seperti saya, bapak tidak pernah suka terlambat menonton film. Bagi dia tiba di theater 30 menit lebih awal lebih baik ketimbang telat 3 menit setelah film dimulai.

Ia juga paling anti mencari kursi tempat duduk ketika lampu dalam bioskop dimatikan. Soalnya, seperti juga saya, dia ingin benar-benar menikmati jalannya film dari awal hingga selesai.

Ketika selesai nonton, bapak dan saya sekali lagi lebih sering pulang berjalan kaki. Ketika pulang, bapak lebih senang mendengarkan cerita saya tentang film yang sudah kita tonton bersama-sama.

Bapak memang bukan kritikus film yang hebat. Tapi, sepanjang ini ia selalu mengajak saya nonton film-film yang sangat bagus.

Melalui film, dia juga sering bercerita kepada saya tentang tokoh-tokoh film yang sudah kita tonton. Ia sering bercerita bagaimana cerita sebenarnya tentang Fong Sai Yuk usai menonton film Tai Chi Master.

Ketika harga tiket 21 semakin mahal dan melangit bapak memang sudah tidak pernah lagi mengajak saya nonton film. Apalagi, bapak memang dari dulu tidak bekerja. Jadi sangat sulit bagi dia untuk membeli tiket yang harganya sudah puluhan ribu rupiah itu.

Saat ini Bapak lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menonton film-film di layar kaca. Hanya saja kebiasaan dia mengajak keluarga untuk menonton film sepertinya tidak pernah terkurangi.

Ia kerap mengajak saya nonton bareng film-film lama yang ada di Metro TV setiap hari Minggu. Seperti biasa, ia selalu berkata. “Film ini bagus Yu”

Meski sudah lama tidak sering bersentuhan dengan film layar lebar, bukan berarti bapak saya tidak paham akan film-film bagus yang sedang ada di bioskop 21.

Dulu, ia bahkan sering bertanya-tanya kepada saya kapan film tentang Perang Salib (Kingdom of Heaven) itu keluar. Atau ketika ia bertanya, “katanya Michael Douglas main film jadi Secret Service (The Sentinel),”

Ketika saya mendengar pertanyaan itu, saya memang langsung memberinya sejumlah uang agar segera datang ke Citra Land untuk segera menonton. Namun, karena saya terlalu sibuk bekerja, pasangannya kali ini berbeda. Bapak lebih banyak menghabiskan waktunya menonton bersama Mama.

Terkadang, saya ingin sekali menonton bareng sekali lagi dengannya. Sekedar berbagi kesenangan yang memang sangat kita senangi.

Dalam hati saya, suatu saat nanti saya akan membawa dia ke Kartika Chandra, tempat dia pernah memberikan sebuah mimpi kepada saya.

Monday, June 05, 2006

Sejenak dengan Melati

Melati, lahir 4 hari sebelum gempa di Yogyakarta terjadi. Belum genap satu minggu usianya, Melati harus kehilangan ayah.

Ayah menutup mata karena tertimbun reruntuhan rumah. Meninggalkan Melati seorang diri dengan ibunya.

Melati memang belum bisa menyadari ketidakhadiran ayah, namun Melati sudah kehilangan bau badan khas ayah. Bau yang selalu membuatnya merasa nyaman ketika ayah memeluknya dalam dekapan.

Sejak ayah pergi Melati memang tak pernah mendengar lagi suara ayah. Melati, bahkan tak pernah lagi mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan ibu.

Lagu Nina Bobo yang biasa dinyanyikan ibu kini tak ada lagi. Semua berubah jadi rintihan karena ibu tak sanggup menahan sakit dari kakinya yang patah.

Luka kaki memang bisa menghilang, tapi luka batin karena ditinggalkan ayah membuat ibu tak kuasa untuk menatap masa depan.

Di sudut-sudut tenda Desa Banyudono, ibu dan Melati masih berusaha menghitung ulang pintu nasib. Makanan dan pakaian memang akan datang, rumah bisa dibangun ulang, namun jalan ke masa depan sulit untuk dibayangkan.

Friday, June 02, 2006

Sebatas Menonton

Pagi hari besok, saya akan berangkat ke Yogyakarta. Entah kenapa sepertinya berat sekali buat saya untuk melangkahkan kaki ke sana.

Ketika undangan itu masuk ke kantor, saya sudah lama mengutarakan niat saya untuk tidak mau ke sana. Segala macam alasan saya katakan mulai dari takut ketinggian, hingga trauma naik pesawat terbang.

Tapi, ternyata kondisi yang makin ramping di kantor, mengingat makin banyak wartawan yang dipindahkan, membuat saya harus rela untuk pergi mengunjungi kota Gudeg tersebut.

Beruntung, saya cuma sehari di sana. Tiga hari atau empat hari di kota itu mungkin tidak akan membuat saya bertahan. Bukan karena saya tidak bisa membantu atau membagi sedikit empati.

Tapi, saya tak kuasa menghindar hanya menjadi seorang penonton di atas sebuah kata penderitaan. Seumur-umur mungkin ini adalah liputan yang akan paling akan terus menghantui saya.

Hanya demi sebuah iklan, saya harus meliput penyerahan sumbangan yang disponsori sebuah produk makanan.

Bisa jadi, ketika menapakkan kaki di sana, saya adalah wartawan yang paling nyaman di antara teman-teman saya yang sudah ada di sana.

Di dalam benak saya sudah tergambar apa yang akan saya kerjakan di sana. Begitu turun dari pesawat, saya dan kawan-kawan langsung dijemput dengan menggunakan bis dengan pendinginnya yang nyaman.

Melihat penderitaan dari sebuah aquarium kaca, tanpa berusaha untuk menyembuhkan luka yang terdalam di memori mereka.

Ketika “pesta” dimulai, saya pun langsung bekerja. Menuliskan, melaporkan dan mengabadikannya dalam sebuah halaman kertas berukuran besar. Menjadikan pesta ini jadi sebuah catatan dalam sejarah, bahwa mereka telah memberikan bantuan.

Setelah acara buyar dan perhelatan usai, cukup sudah tugas saya di sana. Pulang ke Jakarta dengan menaiki burung besi dengan hati yang pasti tertinggal di sana.

Ketika semua itu akan terjadi, saya hanya bisa tertunduk sedih mengingat amanat keluarga teman saya yang meminta saya untuk mengunjungi desanya, desa Sampeng, Gunung Kidul, Wonosari. Terngiang dalam kuping saya sebuah harapan yang akan berujung sia-sia.

“Yu, sempatkan datang ke sana. Mereka sama sekali belum mendapatkan bantuan. Mudah-mudahan kamu bisa membantu mereka,”

Tuhan, maafkan saya, saat ini saya hanya bisa menjadi penonton.

Thursday, June 01, 2006

Siapa Terseram?

Saya memang bukan penikmat film horror. Bahkan untuk nonton film horror pun saya selalu berusaha mengajak adik saya ikut serta. Soalnya, jelas, saya takut nonton film itu sendirian.

Tapi, godaan untuk mencoba keseraman itu selalu tidak pernah hilang. Otomatis ketika menonton film itu saya selalu berjuang melawan ketakutan saya. Beruntung adik saya selalu setia menemani.

Dibanding film-film horror Hollywood saya memang lebih suka film horror dari Asia. Bahkan koleksi film horror asia yang saya miliki jauh lebih banyak film-film horror Hollywood.

Bagi saya film horror Asia jauh lebih menegangkan ketimbang film horror Hollywood. Apakah itu film horror Jepang, Korea, Hong Kong, Korea atau Thailand. Lalu, kalau mereka yang terseram dibandingkan Hollywood, jadi siapa yang paling seram?

Pertanyaan itu keluar justru bukan dari mulut saya. Beberapa waktu lalu ketika saya mencari DVD di Pasar Festival, ada seorang pembeli yang bertanya kepada saya, mana nih yang paling seram antara Jepang atau Korea?

Wah, kontan saja saya bingung menjawabnya. Karena kebetulan yang nanya wanita cantik, jadi saya sebisanya mengatakan Jepang yang paling seram sambil menunjukkan DVD Marebito milik sutradara Takashi Shimizu.

Saya menjawab asal karena setahu saya memang film Jepang lah yang paling banyak diadaptasi oleh Hollywood. Contohnya, The Grudge, The Ring dan Dark Water.

Tapi, dengan pertimbangan tersebut apakah benar Jepang yang terseram?

Saya enggak bisa memastikan, yang pasti menurut saya mereka mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri.

Film horror Hong Kong, seperti Indonesia, mereka lebih banyak mengambil sumber cerita dari folkstale yang mereka punya. Tidak heran, kalau film-film Hong Kong justru hantu-hantunya selalu sama. Jangan heran, kalau di era millennium ini sutradara Hong Kong lebih senang mengambil tema-tema horror yang memang sangat standar.

Jangan heran kalau tokoh hantu yang meloncat-loncat itu lebih sering nongol di film-film horror Hong Kong.

Film horror Hong Kong yang paling terkreatif menurut saya adalah film berjudul Haunted Office yang disutradarai Marco Mak. Temanya sebenarnya standar, yakni setiap gedung pasti ada penghuninya. Namun, keunggulan di film ini adalah keberhasilan sang penulis cerita memanipulasi pikiran kita akan sosok setan yang sebenarnya. Quotenya pun cukup bagus, “hantu senang sekali membohongi pikiran kita”

Dan uniknya, begitu nonton film ini saya justru langsung keingat film Berbagi Suami. Hahaha, Haunted Office is a hyperlink movie. Clever, smart with excellent twist. Try it.

Sama dengan Hong Kong, Thailand juga mempunyai kecenderungan yang sama. Mereka lebih mengeksploitasi keseraman masyarakat melalui cerita-cerita legenda masyarakat. Siapa yang enggak kenal Nang-nak? Wanita seram yang sering muncul di kali ini mengingatkan kita pada sosok Si Manis Jembatan Ancol.

Bukan hanya dari segi legenda, Thailand juga sering mengeksploitasi ketakutan manusia atas dugaan tak berdasar. Misalnya, takut akan rumah sakit, takut akan salon sama takut akan WC.

Meski sedikit mengalami kemajuan film horror Thailand masih seperti Indonesia. Mereka selalu tertarik dengan hal-hal mistis. Contoh film Long Khon yang mirip dengan santet Indonesia.

Film horror Thailand yang saya suka, sudah jelas Shutter. Berbeda dengan film horror lainnya, film ini digarap sangat baik. Film ini menekankan suasana teror dengan membangun suasana yang mencekam.

Bagaimana dengan Korea? Film horror Korea mungkin ada baiknya dijelaskan dengan film horror Jepang saat bersamaan. Soalnya diantara yang lain, kedua negara ini lah yang paling banyak kesamaan.

Mulai dari tema yang diusung seperti, kekelaman sifat manusia, hingga tampilan adegan-adegan slasher yang berusaha membuat bulu kuduk kita berdiri.

Bagi mereka horror itu bukan karena munculnya sosok hantu, melainkan bagaimana manusia yang sudah jadi korban hantu itu menghabisi manusia-manusia lainnya dengan cara yang sangat tidak beradab.

Entah, saya sudah menonton semua film horror Korea dan Jepang atau belum. Sepanjang yang saya tahu mereka memang senang menjadikan manusia sebagai obyek kekerasannya.

Lalu siapa yang paling seram? Waduh, sepanjang yang saya tahu semuanya seram sih. Bagi saya film itu jadi sangat seram ketika adik saya pergi meninggalkan saya nonton seorang diri. Hehehe.