Monday, June 26, 2006

Ujian Nasional

Judul di harian Warta Kota beberapa waktu lalu bikin hati saya miris. Saya sudah lupa judulnya, hanya saja waktu itu disebutkan lebih dari 6 ribu pelajar SMA dinyatakan tidak lulus ujian nasional.

Awalnya, saya hanya bisa miris dan mencoba melupakan seolah tidak mau peduli. Toh itu memang urusan mereka. Namun, saya tidak bisa untuk tidak peduli ketika salah satu keponakan saya, Rintar, juga tengah menunggu hasil ujian nasional tingkat SMP.

Saya merasa cemas dan takut. Saya tidak bisa membayangkan keponakan saya bisa jadi korban dari ganasnya sistem baru tersebut.

Kecemasan saya jadi ketakutan yang sangat menjadi-jadi, mengingat keponakan saya itu memang bukan tipe anak yang suka belajar. Secara akademik pun prestasi yang ia cetak selama ini biasa-biasa saja.

Ternyata kecemasan itu bukan hanya saya saja yang merasakan. Seluruh keluarga saya terutama kedua orang tua saya benar-benar cemas dengan pengumuman kelulusan tersebut.

Berkali-kali orang tua saya meminta saya untuk mencari informasi seputar ujian nasional SMP. Pertanyaannya pun selalu sama, apakah kriteria yang ada dalam ujian nasional tingkat SMA juga diterapkan pada ujian nasional tingkat SMP.

Jika memang diterapkan sama, maka jawabannya adalah bencana. Kita semua enggak bisa memikirkan apakah keponakan saya yang gemuk satu itu bisa sukses mendapatkan nilai lebih di atas 4,26 untuk semua mata pelajaran khususnya matematika.

Matematika memang jadi momok menakutkan bagi Rintar. Menghitung memang bukan pekerjaan yang ia suka. Seperti saya, ia lebih suka menyanyi. Setiap hari setiap waktu selalu ia habiskan dengan bernyanyi dan bernyanyi.

Tidak heran, kalau bayang-bayang ketidak lulusan justru lebih banyak bergayut di benak saya dan keluarga saya. Kita semua tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika Ririn benar-benar tidak lulus.

Bagi keluarga kami ketidaklulusan memang bisa dikatakan adalah sebuah peristiwa yang sangat langka. Semua kakak dan adik saya menjalani studi akademiknya dengan baik.

Ketakutan saya semakin menguat ketika saya berbicara kepada teman saya di desk nasional. Menurut dia, sistem yang digunakan oleh ujian nasional SMP sama dengan ujian nasional SMA.

Sama-sama hanya tiga mata pelajaran yang diujikan dan juga sama-sama menggunakan koefisien tertentu untuk menentukan kelulusan seseorang.

Keterangan teman saya itu membuat saya semakin berat untuk mengatakan kepada keluarga saya tentang sistem ujian nasional SMP itu. Alhasil, saya terpaksa berbohong kepada kedua orangtua saya dengan mengatakan bahwa semua anak SMP dipastikan lulus. Sedangkan tiga mata pelajaran itu hanya dijadikan standar untuk menentukan apakah keponakan saya itu bisa diterima di SMA negeri atau tidak.

Mama memang terlihat senang dengan keterangan saya waktu itu. Sebab, dengan keterangan itu dia bisa merasa bahagia melihat cucu tersayangnya itu tidak dilanda kesedihan karena tidak lulus ujian.

Meski demikian kekalutan itu toh tetap datang juga. Pagi hari tadi, semua keluarga sudah berkumpul semua di ruang keluarga untuk menunggu hasil ujian nasional.

Bahkan setahu saya tadi malam Kak Wulan, ibu Rintar, sudah tadi malam mencoba lewat SMS untuk mengetahui hasil ujian tersebut. Sayang, cara itu justru tidak berguna sama sekali. Soalnya, yang keluar hanyalah permintaan-permintaan aneh untuk memberikan nomor-nomor yang tidak jelas.

Alhasil, pagi tadi saya bersama Rintar naik motor menuju warnet terdekat. Berbeda dengan dulu, kali ini informasi kelulusan memang bisa diakses melalui internet.

Setelah sampai di warnet ternyata bukan hanya saya dan keponakan saya juga yang sedang sibuk mencari hasil ujian. Ternyata ada beberapa anak SMP lainnya melakukan hal yang sama.

Ada perasaan was-was ketika saya mengetikkan nomor ujian Ririn di daftar search kelulusan. Saya takut menjadi orang pertama yang melihat kekecewaan di muka keponakan saya itu jika ia benar-benar dinyatakan tidak lulus.

Sialnya, begitu nomor dimasukkan dan icon search saya tekan ternyata yang keluar adalah pengumuman bahwa hasil ujian akan bisa diketahui jam 14.00 WIB.

Saya dan Rintar pun akhirnya pulang dengan perasaan hampa. Ditambah perasaan was-was yang semakin menggunung karena tidak bisa mengetahui hasil ujian.

Sepulangnya di rumah, Kak Wulan meminta saya untuk melihat hasil ujian itu melalui internet kantor. Saya sebenarnya tidak mau melakukan itu. Sebab, saya memang tidak kuat melihat hasilnya jika keponakan saya dinyatakan tidak lulus.

Namun, tanggung jawab sebagai paman memang saya harus embankan. Ketika jam kantor sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB, akhirnya saya mengakses situs yang sudah diberikan keponakan saya itu.

Awalnya, memang sangat sulit untuk membuka situs tersebut. Saya menduga hal ini terjadi karena memang pada saat yang bersamaan banyak orang yang membuka situs itu.

Setelah menunggu 15 menit tampilan utama pun akhirnya keluar. Dengan hati-hati saya mengetikkan nomor ujian keponakan saya itu.

Perlahan-lahan gambar yang ada di depan computer pun keluar. Dan saya melihat sebuah kata yang saya cari-cari beberapa hari terakhir ini, LULUS di sudut kanan komputer.

Kejutannya, semua nilai yang ada di ujian tersebut benar-benar membelalakkan mata saya. Semua nilainya di atas enam. Memang belum maksimal, tapi saya bangga dengan dia. Ternyata di balik kekurangannya dia memang benar-benar berusaha semaksimal mungkin untuk jadi kebanggaan orangtuanya.

Belum lepas mata saya melihat pengumuman tersebut di komputer, handphone saya berdering dan suara di sana bertanya kepada saya, “bagaimana?”

Dengan ikhlas saya jawab dengan bahagia karena telah jadi yang pertama. “Lulus kak”.

Alhamdulillah.

1 comment:

Bunda RaRa said...

duh wahyu, g bacanya ampe deg deg an