Tuesday, June 27, 2006

Being Wartawan Hiburan

Sebenarnya rasa aneh ini sudah lama saya pendam. Titel sarjana hukum seharusnya memang berkutat dengan hal-hal yang sifatnya yuridis. Tapi, toh ternyata saya, seorang sarjana hukum dari sebuah universitas negeri di Jawa Tengah justru malah berkutat dengan hal-hal yang sifatnya jauh dari bayangan seorang sarjana hukum yakni gossip.

Perasaan aneh itu makin terasa ketika saya bertemu teman-teman kampus saya beberapa waktu lalu. Pertemuan itu terjadi karena kebetulan ibu dari teman saya meninggal dunia.

Karena dia adalah teman yang istimewa banyak teman yang menyempatkan waktu untuk datang. Kebetulan juga saya dan teman-teman sudah lama tidak bertemu.

Acara dukacita itu pun secara mendadak jadi ajang untuk bersilaturrahmi. Tukar menukar nomor handphone, bertanya-tanya kabar, hingga satu hal yang paling tidak saya sukai, berbicara soal pekerjaan.

Di antara teman-teman, memang hanya saya saja yang memilih untuk berkecimpung di dunia jurnalistik. Mereka rata-rata bekerja jadi jaksa, hakim atau paling minim pekerja kantoran lah yang saya enggak tahu sebutannya.

Dulu, saya memang sedikit bisa berbangga karena saya adalah wartawan politik. Sedikitnya saya masih punya positioning atau alasan yang membuat saya merasa lebih penting dibandingkan mereka yang telah memilih untuk eksis sesuai latar belakang akademik mereka.

Hanya saja kali ini saya adalah seorang wartawan hiburan. Wartawan yang sehari-harinya hanya bertugas menuliskan berita tentang kehidupan selebritas berikut isyu-isyu terbaru yang terjadi di kehidupan mereka.

Perubahan ini memang berimbas pada perubahan pandangan mereka. Ketika berbicara tentang pekerjaan saya mereka selalu membicarakan hal itu dengan guyonan atau tertawa.

Entah apa yang membuat mereka tertawa. Apakah pekerjaan saya adalah sesuatu yang lucu atau memang pekerjaan saya memang pantas ditertawakan.

Saya sadari memang pekerjaan wartawan hiburan memang adalah sesuatu pekerjaan yang memang khusus. Bukan karena dibutuhkan keahlian khusus, melainkan karena memang hanya dibutuhkan sebagai pelengkap saja.

Begitu juga dari segi jurnalistik, berita-berita hiburan memang berada dalam posisi yang kurang sepadan dengan berita-berita umum. Minimnya pengaruh atau efek pada publik membuat berita hiburan hanya dianggap sebagai pelengkap.

Awalnya saya memang selalu berusaha menerima pelabelan tersebut. Hanya saja masalahnya menjadi sangat krusial bagi saya karena saat ini saya justru mendapatkan nada-nada sumbang soal pekerjaan saya ini.

Teman saya sudah meminta kepada saya untuk memikirkan masa depan saya dengan secepat mungkin pindah desk halaman. Kakak saya lebih parah lagi, dia bilang otak saya sudah enggak bisa lagi diajak untuk berpikir keras. Apalagi jika membahas soal fenomena-fenomena hukum yang terjadi saat ini.

Hal itu semakin diperparah lagi karena kebetulan pada saat yang bersamaan adik saya, justru semakin terasah pemahaman hukumnya karena dia memang bekerja di sebuah situs berita yang memang concern membahas masalah hukum.

Saya akui saya memang mengalami kemunduran jika membahas hal-hal yang bersifat tekhnis hukum. Saya akui juga saya memang agak sedikit terbelakang karena selalu ketinggalan berita-berita umum.

Dulu, saya pernah membela diri kepada teman-teman saya agar bisa sedikit berbangga karena memiliki status sebagai wartawan hiburan. Menurut saya, melalui dunia hiburan saya dan teman-teman bisa mengetahui segala hal yang tidak diketahui ketika bekerja sebagai wartawan umum.

Kita jadi fasih berbicara KUHP seperti fasihnya wartawan kriminal. Kita juga fasih berbicara soal pernikahan dan perceraian seperti fasihnya seorang hakim dan pengacara hukum. Kita juga bisa berbicara soal hukum karena memang artis-artis juga sering terlibat pertikaian hukum. Terakhir, kita juga bisa concern atas Rancangan Undang-undang yang dilakukan di DPR seperti concern-nya wartawan politik atas rancangan tersebut. Jadi sebagai wartawan hiburan kita juga bisa mengerti apa yang dibutuhkan oleh negara saat ini.

Hal itu terjadi karena kita, wartawan hiburan, selalu berhubungan dengan tingkah laku manusia terutama artis. Seperti kita ketahui tingkah laku manusia memang tidak terbatas. Mereka selalu menyentuh segala aspek kehidupan mulai dari hukum, politik, kriminalitas, achievement hingga murni hiburan sendiri. Jadi kalau disadari kita selalu mendapatkan nilai lebih dari pekerjaan kita sendiri.

Sayangnya, pekerjaan ini memang tidak pernah mendapatkan posisi terhormat di mata masyarakat. Dari namanya memang sudah susah juga, wartawan hiburan, yah posisinya emang sebagai penghibur saja bukan pelaku utama.

Posisi dilematis ini memang membuat saya kadang terenyuh sendiri. Apalagi, saya kadang teringat betapa susahnya meluluskan diri dari sebuah fakultas hukum. Bahkan ketika beberapa waktu lalu saya membaca skripsi saya, saya hanya bisa tersenyum sendiri karena memang saya sudah jauh sekali dari awal saya bermula.

3 comments:

dahlia said...

met ultah tulang wahyu...

Bunda RaRa said...

profesi apapun baik, asal bukan dukun cabul aja hehehe

Anonymous said...

Itu juga yang selalu gue rasakan Wahyu. Bergulat di dunia yang tidak kita sukai sama sekali. Mungkin (mungkin...nih) kalau bukan desakan ekonomi, udah cabut aja. Tapi karena ekonomi juga, kira harus 'rela' melakukan hal yang paling kita BENCI.....