Pagi hari besok, saya akan berangkat ke Yogyakarta. Entah kenapa sepertinya berat sekali buat saya untuk melangkahkan kaki ke sana. Ketika undangan itu masuk ke kantor, saya sudah lama mengutarakan niat saya untuk tidak mau ke sana. Segala macam alasan saya katakan mulai dari takut ketinggian, hingga trauma naik pesawat terbang.
Tapi, ternyata kondisi yang makin ramping di kantor, mengingat makin banyak wartawan yang dipindahkan, membuat saya harus rela untuk pergi mengunjungi kota Gudeg tersebut.
Beruntung, saya cuma sehari di sana. Tiga hari atau empat hari di kota itu mungkin tidak akan membuat saya bertahan. Bukan karena saya tidak bisa membantu atau membagi sedikit empati.
Tapi, saya tak kuasa menghindar hanya menjadi seorang penonton di atas sebuah kata penderitaan. Seumur-umur mungkin ini adalah liputan yang akan paling akan terus menghantui saya.
Hanya demi sebuah iklan, saya harus meliput penyerahan sumbangan yang disponsori sebuah produk makanan.
Bisa jadi, ketika menapakkan kaki di sana, saya adalah wartawan yang paling nyaman di antara teman-teman saya yang sudah ada di sana.
Di dalam benak saya sudah tergambar apa yang akan saya kerjakan di sana. Begitu turun dari pesawat, saya dan kawan-kawan langsung dijemput dengan menggunakan bis dengan pendinginnya yang nyaman.
Melihat penderitaan dari sebuah aquarium kaca, tanpa berusaha untuk menyembuhkan luka yang terdalam di memori mereka.
Ketika “pesta” dimulai, saya pun langsung bekerja. Menuliskan, melaporkan dan mengabadikannya dalam sebuah halaman kertas berukuran besar. Menjadikan pesta ini jadi sebuah catatan dalam sejarah, bahwa mereka telah memberikan bantuan.
Setelah acara buyar dan perhelatan usai, cukup sudah tugas saya di sana. Pulang ke Jakarta dengan menaiki burung besi dengan hati yang pasti tertinggal di sana.
Ketika semua itu akan terjadi, saya hanya bisa tertunduk sedih mengingat amanat keluarga teman saya yang meminta saya untuk mengunjungi desanya, desa Sampeng, Gunung Kidul, Wonosari. Terngiang dalam kuping saya sebuah harapan yang akan berujung sia-sia.
“Yu, sempatkan datang ke sana. Mereka sama sekali belum mendapatkan bantuan. Mudah-mudahan kamu bisa membantu mereka,”
Tuhan, maafkan saya, saat ini saya hanya bisa menjadi penonton.
1 comment:
we are have our own reason, mo jadi penonton or jadi aktor, yg penting luruskan niat aja
"ada yg jadi aktor cuman krn pengen beken doang kan?"
Post a Comment