Thamrin terbangun, matanya yang hitam tiba-tiba terbelalak karena suara keras dua orang laki-laki yang membentak dirinya.
”Hei kamu, bangun jangan tidur saja,” ujar dua laki-laki yang berjanggut putih.
Awalnya, sangat sulit bagi Thamrin untuk membuka matanya. Rasa perih di bagian perutnya, membuat ia sulit untuk menggerakkan kelopak mata. Hanya saja karena bentakan dua orang pria itu sangat keras, mau tak mau Thamrin pun membuka matanya.
Belum selesai kesadarannya pulih,tiba-tiba saja kedua pria yang menggunakan jubah berwarna hitam itu kembali bertanya. “Hei, pria tahukah kamu dimana kamu berada saat ini,” tanyanya.
Pertanyaan itu membuat otak kepala Thamrin tergelitik. Karena ketakutan tidak bisa menjawab pertanyaan kedua pria itu, Thamrin berusaha keras untuk mengetahui dimana ia berada saat ini.
Hanya saja semakin keras ia berusaha mengingat semakin bingung ia untuk menjawab. Yang ia lihat hanyalah kegelapan, satu-satunya cahaya hanya berasal dari kedua orang pria tersebut.
Sekali lagi pertanyaan dengan nada keras kembali memekakkan telinga Thamrin. “Kamu, kenapa diam saja. Jangan-jangan kamu tidak tahu siapa Tuhan kamu?” tanya dua pria itu kembali.
Mendengar kata Tuhan, sontak Thamrin semakin kebingungan. Dimana ini, pikirnya. Kenapa aku tiba-tiba ditanya tentang siapa Tuhanku. Padahal nama Tuhan, telah aku tinggalkan sejak aku jatuh dalam kemiskinan, ujarnya dalah hati.
Tuhan yang aku kenal hanyalah Tuhan yang ada dalam bangku pelajaran. Aku telah meninggalkan Tuhan, ketika ia tidak pernah bisa memberikan jawaban kenapa ada kemiskinan, kenapa ada rasa sakit, kenapa ada kelaparan dan kenapa ada kematian.
Teringat kata kematian, membuat badan Thamrin berguncang hebat. Ia langsung teringat petuah guru agamanya di waktu SD. “Thamrin, jika kita sudah mati maka akan ada dua malaikat yang akan menanyai kita di alam kubur. Mereka akan bertanya tentang Tuhan kita dan amal perbuatan kita,”
Perlahan-lahan, Thamrin mulai bisa menyusun satu per satu ingatannya. Neuron-neuron di kepalanya langsung mengembalikan semua pengalaman yang pernah ia lalui. “Ini kah alam alam kubur. Apakah aku benar-benar telah meninggal. Tapi kenapa aku bisa meninggal?” tanya Thamrin.
Thamrin yang tengah berusahat mengingat tersadar dari lamunan karena bentakan keras dari kedua pria tersebut.”Astaga Nak betapa berdosanya dirimu, bahkan Tuhanmu pun kau tak tahu. Jangan-jangan kau tak tahu kenapa kau mati,” tanya pria satu lagi yang menggunakan tongkat berkepala sabit.
Mendengar pertanyaan itu, Thamrin pun berusaha mencari jawaban. “Yah, kenapa aku berada di sini. Kenapa aku bisa mati. Terakhir aku hanya ingat tiga orang sipir penjara mendatangi selku dan mengajakku untuk bertemu teman-teman.”
Tapi, bukan itu, saat itu mereka hanya memberikan kesempatan bagiku untuk bertemu dengan keluargaku yang tercinta. Mereka memberi kesempatan kepada ku untuk berbicara dengan keluargaku, karena aku akan menjalani hukuman mati. “Ya, aku dihukum mati. Perbuatanku menjual narkoba kepada anak-anak sekolah telah membuatku dipenjara. Parahnya, ketika aku dikejar polisi aku justru membunuh polisi agar tidak ditangkap,”
Pengadilan tidak bisa memaafkanku. Perbuatanku sangat berat hingga tak pantas untuk diberikan maaf. Disaat aku merusak generasi muda, aku juga telah menghilangkan nyawa seorang bapak yang memberikan nafkah bagi keluarganya. “Tapi bukan berarti aku harus mati, kenapa aku harus mati bukankan Tuhan sendiri mempunyai rasa kasih sayang yang luas kepada hambanya. Kenapa manusia justru tak pernah bisa memaafkan.”
Belum lagi pulih ingatannya akan hukuman mati, Thamrin kembali terhenyak ketika kedua pria tersebut mendatangi dan menjambak rambutnya. “Sudah cukup bagi kami akan kekurangajaranmu. Kini terimalah siksamu,” kata kedua pria tersebut.
Siksa, mendengar kata-kata itu Thamrin langsung tak kuasa, bibirnya bergetar saking ketakutan. Ia mengingat kata-kata tersebut pernah dikatakan sipir penjara. Sipir yang berkumis tipis itu mengatakan bahwa ia akan mengalami hari-hari yang penuh siksaan sebelum dihukum mati. “Bagaimana perasaanmu Thamrin. Tiga hari lagi kau akan dihukum mati. Kau akan merasa sangat tersiksa, sampai-sampai kau perlu menikmati setiap helaan nafasmu yang keluar. Dan ketika nafasmu terhenti, siksaan itu belum selesai teman,” kata sipir penjara.
Senyuman sinis sipir penjara, membuat semua ingatan Thamrin terbuka lebar. Ia ingat ketika hari penentuan tiba, Thamrin dibawa keluar penjara. Kala itu tengah malam, di saat ia tengah memejakan mata, ketiga orang sipir mendatangi selnya dan membangunkan dirinya.
Belum matanya terbuka lebar, Thamrin melihat seorang ustadz berdiri di luar sel. Ia kemudian mendekati Thamrin dan mengatakan, “Nak, dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang mau kah kau bertobat. Berikanlah jiwamu kepada Tuhan dengan ikhlas,” kata Ustadz tersebut.
Melihat hal tersebut, Thamrin cuma diam, ia tahu saat ini waktu hidupnya di dunia sudah habis. Tidak ada lagi matahari yang terbit melalui sela-sela jendela penjara. Tak ada lagi siraman embun yang ia rasakan ketika bangun pagi di dalam penjara.
Karena Thamrin merasa ia seorang atheis, ia cuma diam saja. Pikirnya, buat apa Tuhan datang kepadanya di saat terakhir menuju mati. Harusnya, ia datang ketika aku menderita di dalam penjara.
Akhirnya, Ustadz itu pun pergi. Setelah itu dengan sigapnya ketiga sipir itu menutup kedua mata Thamrin dengan seikat kain. Thamrin mengeluh, inikah hari akhir itu. “Bahkan ketika menjelang mati pun aku tak bisa melihat siapa yang mencabut nyawaku. Padahal ketika waktu belajar agama, guru-guru pengajianku selalu mengatakan kalau malaikat pencabut nyawa menampakkan dirinya ketika mencabut nyawa manusia. Betapa tidak adilnya,” ujar Thamrin dalam hati.
Entah berapa lama, Thamrin dibawa ke luar penjara. Ia tidak tahu dibawa kemana. Yang hanya tahu, dari teman-temannya di penjara, semua orang yang akan dihukum mati, biasanya dibawa ke lapangan luas yang tak akan bisa dijangkau oleh setiap orang apalagi bagi wartawan. "Buat apa mereka menghukum mati diriku. Kalau mereka ingin membuat orang lain jera karena hukuman mati ini, kenapa mereka tidak mengajak masyarakat untuk melihat. Di zaman koboy saja orang digantung di depan umum, kok sekarang malah berbeda. Apa maksudnya?" tanya Thamrin dalam hati.
Ketika banyak pertanyaan timbul dalam benak Thamrin, tiba-tiba mesin mobil berhenti. Dalam keadaan mata tertutup Thamrin dipaksa keluar mobil. Setelah keluar, ikat kain yang dipakai Thamrin akhirnya dilepas juga. Perlahan-lahan, mata Thamrin terbuka dan melihat lapangan hijau luas terhampar.
Bendar cahaya bulan membuat lapangan itu terlihat kelabu. Gelapnya malam, dan keremangan malam, membuat rumput hijau yang meranggas itu terasa nyaman. Derik jangkerik menggema, suara angin berbisik dan menghembus rambut Thamrin. "Aku belum potong rambut hari ini. Benar-benar cara yang nyaman untuk mati, meninggal tanpa didampingi keluarga," ujar Thamrin dalam hati.
No comments:
Post a Comment