Namanya, Veto Star Pangaribuan. Entah kenapa tiba-tiba dia datang mencariku. Bajunya yang berwarna merah terlihat kontras dengan penampilannya yang kikuk dan serba salah. Aku tidak mengenalnya, tapi ia terus mendekati diriku, terpaksa senyuman lebar ala birokrat pun ku pajang.
Pertemuan ini memang serba tidak terencana, karena suara Pak Djajuli, salah satu staff data dikantor, yang membuat aku terpaksa menemui dirinya.
Ketika datang, ia memang tampak terlihat kaku. Mungkin karena amplop warna coklat yang ia pegang, langkah kakinya jadi terasa berat. Ataukah karena harapan yang ada di dadanya hingga ia merasa terlalu lunglai untuk menanggung itu semua.
Melihat amplop itu aku langsung tahu. Bukan tahu apa yang ia inginkan, tapi tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghadapinya. "Oh, mau ngelamar yah, tahu darimana, alamat kamu dimana, lulusan mana, ya udah aku taruh dulu yah karena yang berhak untuk menentukan kamu bisa masuk itu orang lain dan saat ini tidak ada di tempat,".
Kata-kata itu memang terdengar klise bagi diriku. Tapi entah bagi dirinya, ia cuma bertanya sekali lagi kepada diriku. "Kira-kira kapan yah saya bisa tahu hasilnya," tanya dia.
Ah, kata-kata itu juga pernah ku ucapkan. Aku tahu apa yang ia rasakan, tapi apakah aku perduli. Apakah aku memang mau membantunya. Yang ada justru aku ingin segera ia pergi dari hadapanku karena datang dalam waktu yang tidak tepat. Sekali lagi jawaban klise ku berikan padanya. "Kami akan meneliti isi lamaran ini dan dalam waktu yang secepatnya akan kami beritahu,"
Ia pun berlalu begitu saja, kembali pulang ke rumahnya mungkin. Bergabung dengan teman-temannya yang sesama pengangguran dan berusaha melupakan pertemuan ini. Atau bisa jadi ia saat ini berada dalam penungguan yang panjang, menunggu telepon yang pernah aku janjikan.
Ketika ia pergi aku langsung terpaku melihat amplop warna coklat ini. Awalnya, aku tidak mau untuk membuka isinya. Sebab aku benci jika terlibat secara emosional dengan seluruh harapan yang ada di amplop tersebut.
Namun, akhirnya aku tetap melihat isi amplop tersebut. Aku masih ingin menyisakan rasa kemanusiaan yang ada dalam diriku. Aku tidak mau mencampakkan seluruh harapan itu. Harapan yang ia tulis demi suatu cita-cita.
Seandainya aku bisa berharap aku ingin sekali menjadi Tuhan dan Pimpinan perusahaan. Dengan sekali ucapan kuterima, mungkin aku bisa mewujudkan harap itu. "Sayang, aku toh cuma manusia,"
No comments:
Post a Comment