Orang memang tidak akan mati karena kelaparan. Tapi orang akan mati karena kemiskinan. Beberapa hari yang lalu majalah Forbes mengeluarkan daftar 200 orang terkaya di dunia. Dari 200 orang itu ternyata ada dua orang dari Indonesia yang masuk dalam jajaran tersebut.
Selain itu dari daftar itu diketahui bahwa tidak banyak orang dari Asia yang digolongkan sebagai orang kaya. Daftar orang paling kaya di dunia itu didominasi oleh orang-orang asal Amerika dan Eropa.
Di kesempatan yang sama, gue juga membaca majalah Times, yang mengangkat tema tentang kemiskinan. Dalam laporan utama itu, Time membahas tentang buku Jeffrey D. Sacht yang mengupas habis cara-cara untuk mengentaskan kemiskinan. Yang membuat miris adalah, Jeffrey mengatakan bahwa hampir setiap tahun 8 juta orang meninggal dunia karena kemiskinan.
Bukan itu saja menurut Jeffrey, Asia merupakan salah satu negara yang paling banyak orang miskinnya dibandingkan Eropa, dan Amerika.
Dari keterangan di atas bisa kita bandingkan, bahwa ternyata jumlah orang yang kaya sangat berbeda jauh dengan jumlah orang yang miskin. Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu giliran untuk mati, sementara di sisi lain ada juga orang yang bergelimpangan harta seolah hidup tidak akan pernah berakhir.
Dalam bukunya itu Jeffrey D. Sacht mengemukakan berbagai cara untuk mengentaskan kemiskinan. Diantaranya adalah meminta sumbangan 0,7 % per tahun dari GNP negara-negara donor. Ini artinya, Jeffrey berusaha mengetuk hati setiap negara donor untuk peduli akan pengentasan kemiskinan.
Sebenarnya secara sederhana, Jeffrey hanya mengembalikan tema usang yaitu soal kepedulian sosial. Sayang di dunia bisnis, kapitalisme dan korporasi ini, masih kah tersisa akan kepedulian sosial? Tekanan komersialisasi dan liberalisme telah mengikis kepedulian sosial sampai akar-akarnya. Untuk mudahnya, dalam satu hari ini pernah gak sih kita menyisihkan uang kita untuk menyumbang atau memberikan uang recehan kepada pengemis. Nope, mungkin kita lebih senang berpikir untuk menabung untuk membeli keperluan kita.
No comments:
Post a Comment