Dua puluh enam tahun yang lalu, saya besar di sini. Sebuah kampung, yang dulunya sangat rimbun akan ilalang. Dulu, yang saya ingat Kampung Bali terkenal akan kalinya yang masih sangat dalam. Kali yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon pisang dan ladang-ladang milik para petani kampung yang rindu akan kampung halaman.
Ketika saya masih kecil, kampung Bali adalah tempat yang sangat besar untuk saya jelajahi. Semua tempat yang ada mempunyai kesan dan pengalaman baru yang tak pernah akan berhenti. Mulai dari gang yang mengambil nama sebuah binatang, hingga pabrik baut yang telah lama mati. Kedua tempat itu memberikan banyak cerita pada saya dan teman-teman. Mulai dari misteri, dan tempat bermain yang selalu menyajikan fantasi-fantasi liar buat kami anak-anak Kampung Bali. Ya, Kampung Bali dulu jadi indah karena kami, anak-anak kampung bali. Kami, adalah anak-anak yang tak pernah berhenti riang dan optimis akan masa depan. Setiap hari kami lalui dengan pergi bersekolah, siang hari pergi mengaji dan malam hari bermain galaksin.
Di waktu itu saya dan teman-teman tidak akan pernah ragu akan masa depan. Kita yakin dan percaya bahwa setiap kita mempunyai masa depan yang indah. Seindah jembatan kayu yang melintasi kali di kampung kami.
Dulu, kami yakin jembatan kayu itu akan mampu menahan berat dari ratusan orang yang hendak masuk menuju kampung kami. Bahkan, teman saya pernah berkelakar kalau jembatan itu sangat kuat, saking kuatnya, banyak cerita mistis sekitar jembatan itu.
Hanya saja keperkasaan dan kegagahan jembatan kayu itu tidak sanggup bertahan akan gempuran modernisasi. Ketika Pabrik Baut jadi sebuah stasiun televisi, dan ladang dan kebun pisang jadi sebuah mall, jembatan kayu itu pun abruk tergantikan jembatan beton.
Seiring dengan runtuhnya jembatan kayu itu, masa depan anak-anak kampung bali pun luruh. Modernisasi ternyata ibarat pedang bermata dua. Memberikan kemajuan sekaligus memberikan kehancuran.
Perubahan yang terjadi di Kampung Bali awalnya memberikan kami harapan bahwa kampung kami sedikitnya mengalami banyak kemajuan. Hadirnya mall juga membuat kami optimis tidak akan gagap akan hiburan. Adanya stasiun televisi memberi kami dugaan bahwa suatu saat kita bisa mencari sesuap nasi di sana.
Hanya saja harapan tinggal harapan, saya ingat ketika banyak teman-teman tidak diterima bekerja di sana. Saya ingat betapa banyak orang-orang impor berkulit pucat seliweran di kampung kami. Yang bisa masuk ke posisi terhormat kurang dari hitungan satu tangan. Yang masih bisa tersenyum, sampai kini hanya jadi penjaga keamanan.
Situasi pun makin diperparah ketika jumlah diskotik bertambah. Mereka beranak pinak seperti tak kenal waktu. Setiap sudut yang ada di tempat kami, hampir tak tersisa dengan tempat-tempat penuh lender itu.
Saya ingat betapa muramnya kampung kami waktu itu. Ketika stasiun televisi itu bermandikan cahaya, rumah-rumah kami justru kehilangan akan asa. Dan ketika anak anak-anak kampung bali kehilangan harapan, kita pun turun ke jalan. Dan satu-satunya tujuan, menjaja kehormatan dan menjadi preman.
Anak-anak kampung bali pun seperti tak punya masa depan. Kami yang dulu sangat bersemangat mencari tantangan kini hanya berbicara seputar selangkangan dan betapa indahnya bius obat-obat terlarang.
Kini, 26 tahun yang berlalu, anak-anak kampung bali tak seperti yang saya kenal dulu. Ketika kami melewati semua ini, ternyata ironi masih menerpa anak-anak di bawah kami.
Anak-anak lelaki Kampung Bali ketika kecil jadi jagoan, sudah besar jadi preman, dan tuanya jadi tahanan.
No comments:
Post a Comment