Tuesday, January 25, 2005

Tepatkah UU Pers sebagai Lex Specialis

Di dunia hukum ada adagium yang mengatakan hukum yang bersifat khusus akan menggantikan hukum yang bersifat umum. Atau bahas Belandanya sering disebut Lex specialis derogat legi generali. Artinya, setiap hukum yang memang mengatur suatu masalah secara khusus dan mendalam, maka akan menggantikan hukum yang telah dipakai namun bersifat umum.

Di dunia pers, kita ketahui bahwa sampai saat ini banyak kalangan jurnalis menginginkan agar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 atau lebih dikenal dengan UU Pers, harus menjadi Lex specialis untuk menyelesaikan sengketa pers. Selama ini pemerintah memang masih menggunakan KUHP sebagai dasar penyelesaian sengketa hukum.

Banyak kalangan jurnalis menolak penggunaan KUHP dalam penyelesaian sengketa, karena ancaman hukuman yang diberikan kepada insan pers berupa ancaman pidana. Menurut mereka seharusnya masalah pertikaian pers harus diselesaikan dengan cara pers juga. Salah satu mekanisme penyelesaian itu dikenal dengan istilah Hak Jawab.

Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan era yang cerah bagi kalangan pers. Presiden SBY berencana akan menjadikan UU Pers sebagai Lex Specialis. Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil yang mengaku tengah mempelajari UU Pers agar bisa diterapkan menjadi Lex Specialis.

Pernyataan tersebut layaknya seperti angin surga bagi kalangan pers. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi wartawan yang dipenjarakan. Dan kebebasan pers pun terbentuk dengan baik.

Tapi, di lain pihak ada juga tokoh-tokoh pers tidak setuju dengan penerapan UU Pers sebagai Lex Specialis. Diantara Rosihan Anwar, Nono Anwar Makarim dan Parni Hardi. Parni Hardi contohnya, ketika hadir pada sebuah acara di depan para kepala humas Polda-se Indonesia dengan tegas ia mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan penerapan Lex Specialis pada UU Pers. Alasannya, UU Pers terlebih dahulu harus direvisi.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Rosihan Anwar. Tokoh senior pers Indonesia ini mengatakan bahwa di dalam UU Pers tidak cukup lengkap memasukkan sanksi-sanksi atas sengketa pers.

Kurang lengkapnya UU Pers itu memang sangat wajar. Sebab, UU Pers dibentuk dalam suatu keadaan yang darurat. Saat itu Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membentuk undang-undang tersebut. Alhasil, undang-undang tersebut hanya melindungi pihak-pihak tertentu dan tidak memecahkan persoalan yang ada. Yaitu bagaimana perlindungan terhadap narasumber yang telah dirugikan.

Di dalam dunia hukum pidana, kejahatan bisa terwujud dalam beberapa bentuk. Diantaranya berupa niatan, perbuatan bahkan juga sebuah tulisan. Kejahatan juga selalu mengalami peningkatan baik kualitas dan kuantitas. Alhasil, saat ini ada berbagai macam bentuk tindak pidana baru.

Begitu juga dengan dunia pers. Saat ini penyalahgunaan berta memang banyak terjadi. Bahkan, dengan makin majunya dunia pers atau media massa, banyak terjadi bentuk-bentuk baru kesalahan berita yang merugikan narasumber atau orang yang diberitakan.

Contohnya berita yang bisa merugikan keadaan fisik dan moril seseorang. Apakah penggunaan hak jawab mampu menjawab permasalahan. Bagaimanakah dengan pengaruh berita tersebut terhadap pandangan masyarakat?

No comments: