Monday, January 17, 2005

Elegankah Mereka?

Kata siapa pers bisa independen, kata siapa pers bisa berdiri tegak diantara keberpihakan. Di tengah industri pers yang berkembang pesat ini, tiada itu semangat kesetiakawanan diantara insan-insan pers. Contoh baik, lihat saja Majalah Tempo, edisi 17-23 Januari 2005 halaman 92 yang berjudul “Cara Lurus Meluruskan Berita” .

Berita yang ditulis oleh seorang wartawan senior bernama Stepanus S. Kurniawan ini benar-benar mencontohkan bagaimana pers itu ternyata berpihak dan tidak setiakawan.

Berita itu menceritakan bagaimana perwakilan SBY-Kalla, mendatangi kantor KOMPAS dan kantor Rakyat Merdeka, tempat aku bekerja untuk meluruskan masalah berita yang pernah kami buat jadi Headline halaman depan dengan judul Presiden dan Wapres Bisa Perang Terbuka. Saat itu SBY, mengirimkan juru bicara kepresidenan Andi Malarangen, Dino Pati Jalal dan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil.

Teknisnya, mereka memang benar melakukan langkah tersebut. Sayangnya, mereka tidak pernah mengupas fakta bagaimana mereka menyampaikan keberatan mereka. Arogan dan sangat memaksa.

Aku memang saat itu tidak terlibat langsung. Namun, aku sadar kalau saat itu ada pertemuan penting di lantai 8. Yang ada saat itu hanyalah temanku, Zikrie. Ia sengaja terlibat karena dialah yang membuat berita itu.

Dari mulut Zikrie aku tahu kalau ketiga orang itu memang sangatlah arogan. Mereka tidak pernah mau membahas bagaimana berita itu keluar. Mereka hanya mau hak jawab mereka dimuat dan dengan ukuran yang sama seperti koran yang kita buat. Secara tidak langsung mereka menggunakan kekuasaan dan otoritas mereka untuk pemaksaan hak.

Mereka justru sama sekali tidak memberikan fakta-fakta yang kuat bahwa tidak ada perang terbuka antara Presiden SBY dengan Wapresnya, Yusuf Kalla. Justru sebaliknya, berita yang kami muat tidak datang dari sebuah opini belaka. Kita tahu secara nyata bahwa hubungan SBY dengan Kalla memburuk ketika Kalla menandatangani SK Presiden No 1 tahun 2004 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat.

Apakah Yusuf Kalla tidak tahu, bahwa tugas seorang Wapres hanyalah berhubungan dengan hal-hal yang bersifat acara. Ia tidak punya hak untuk menghasilkan sebuah surat kenegaraan. Ini bukan bukti pertama, bukti lainnya banyak sekali. Mulai dari dominasi Jusuf Kalla yang tidak memberi ruang kepada SBY untuk terlibat dalam penanganan Aceh hingga ketika Kalla menghindar untuk bertemu dengan SBY, seusai SBY mengadakan kunjungan ke Aceh.

Jadi jangan tertipu dengan cara elegan mereka menyembunyikan fakta. Hak jawab menurut anggota Dewan Pers, Hindca Panjaitan harus disertai bukti kuat tentang pokok permasalahan.

No comments: