Di kantorku bekerja seringkali berita yang tampil di koran adalah berita pelintiran. Tapi di kantorku sama sekali tidak dikenal istilah pelintiran yang kami kenal adalah penajaman. Euphimisme untuk sebuah kepentingan komersil. Kita lupa bahwa berita adalah fakta, sedangkan pemelintiran ataupun penajaman justru telah menggeser berita menjadi opini.
Opini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan justru tidak hanya merugikan konsumen atau pembaca, tetapi juga menyakitkan narasumber. Kredibilitas koran juga akan dipertanyakan. Padahal, koran selain berfungsi sebagai layanan publik, juga mempunyai tanggungjawab moral.
Berdasarkan argumen diatas, maka wajar aku mempertanyakan berita yang dibawa oleh UKY hari ini. Ia mengatakan bahwa Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menolak adanya Lembaga Swadaya Masyarakat Kristen ada di Aceh. Alasannya, LSM Keagamaan dicurigai mempunyai misi lain di Aceh. Misalnya, kasus WorldHelp yang baru-baru ini terjadi.
Mendengar hal itu aku terperanjat, bagaimana seorang Din Syamsuddin mengeluarkan pernyataan sekonyol itu. Bukankah dia adalah seorang tokoh Lintas Agama yang selalu mengampanyekan toleransi dan penghormatan terhadap pemeluk agama lain.
Setelah aku cecar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, UKY baru mengakui bahwa Din Syamsudin memang tidak bicara seperti itu. Ia hanya merasa perlu mengubah kalimat Din, karena menganggap dari situlah pernyataan Din mempunyai nilai berita. Jelas ini adalah kesalahan besar, bagaimana jika berita itu naik cetak di koran. Betapa kita tidak bertanggungjawab dengan efek yang ditimbulkan oleh berita itu.
Jelas ini bukan lagi pelanggaran kode etik wartawan. Tapi pelanggaran dan ketidaktahuan terhadap fungsi dan tujuan pers. Sekali lagi kawan, kita memang harus belajar banyak soal kebebasan dan tanggungjawab.
No comments:
Post a Comment