Masak ada yang mengusulkan pembalap perempuan untuk menjadi pembalap kedua. Perempuan kok disuruh balap.Gue mau saja ada pembalap kedua, tetapi harus yang berkualitas. Bukannya gue mau meremehkan, tetapi sekali lagi, olahraga ini enggak gampang dan enggak murah. Orang harus total untuk terjun di sini dan butuh pengorbanan besar seperti yang sudah gue alamin. Masalahnya adalah tidak ada Nanda-Nanda lain di Indonesia saat ini. (Ananda Mikola, Kompas 19 Februari 2006, Hal 25) Minggu pagi, seperti biasa saya selalu menyempatkan diri membaca koran. Selain Koran Seputar Indonesia, setiap hari minggu saya memang selalu meminta ayah saya untuk membelikan Koran Kompas.
Kompas Edisi hari minggu memang selalu menarik minat saya. Sebab, selain membandingkan resensi-resensi film yang mereka buat, saya selalu tertarik membaca setiap tema gaya hidup yang mereka kupas setiap hari minggu.
Berbeda dengan edisi-edisi sesudahnya, kompas minggu kemarin benar-benar membuat saya marah besar. Bukan karena beritanya yang tidak berkenan dengan hati saya tapi karena ada sebuah berita yang menceritakan tentang kegelisahan Ananda Mikola setelah gagal total di ajang A1 Grand Prix, Sentul beberapa waktu lalu.
Awalnya, memang sangat mengasyikkan membaca berita tersebut. Disitu digambarkan dengan gaya yang mewah, Ananda Mikola masih sempat mengendarai mobil Porsche Cayenne di Sirkuit Sentul. Saya tidak mau menggambarkan betapa mewah dan luar biasanya gaya hidup anak botak satu ini. Tapi yang bikin saya marah, justru kalimat yang diucapkan Nanda-panggilan akrab Ananda Mikola, yang saya tulis di atas.
Sungguh, saya tidak pernah bisa membayangkan kata-kata itu bisa keluar dari seorang olahragawan seperti Nanda. Dunia olahraga yang menjunjung tinggi ideologi sportifitas justru diinjak-injak dan diludahi setelah pria kelahiran Jakarta, 27 April 1980 ini mengucapkan kata-kata tersebut.
Saya sedikit heran, apakah karena helm Nanda sedemikian sempitnya, hingga dia tidak bisa menggunakan otak yang ada di kepalanya dengan baik dan benar. Apakah dia tidak tahu bahwa wanita juga bisa membalap.
Apakah matanya memang cuma digunakan untuk membaca trek sirkuit, sehingga dia tidak pernah membaca berita, bahwa banyak pembalap-pembalap wanita yang berlaga di ajang balap mobil. Sayang, mungkin matanya terlalu rabun karena selalu masturbasi. Atau mungkin, dunianya sangat sempit sehingga dia tidak bisa menyadari bahwa ada yang lebih baik dibandingkan dirinya.
Setelah puas membaca sampai habis, saya benar-benar harus berpikir keras kenapa Nanda bisa mengucapkan kata-kata itu. Awalnya, saya menduga bahwa hal itu terjadi karena tekanan yang disandang Nanda sangat berat, sehingga dia gelisah dan benar-benar kecewa ketika kalah.
Harapan banyak orang yang gagal ia luluskan membuat dirinya terbawa emosi dan stress berat. Padahal, setahu saya dia sendiri yang sesumbar bahwa Sirkuit Sentul adalah halaman belakang rumahnya,secara yang bikin adalah bapaknya dan rumahnya ada di Sentul juga. Mana ada orang Indonesia yang mempunyai ekspektasi tinggi terhadap Nanda untuk memenangkan lomba tersebut. (Kecuali bapaknya mungkin).
Tapi, setelah membaca semua isi berita saya mengerti bahwa kata-kata tersebut keluar karena beban berat yang ia sandang. Kata-kata itu justru keluar dari keegoisannya, kearoganan atau mungkin tidak kedewasaan Nanda.
Nanda yang seharusnya bisa legowo akan kekalahan tersebut, justru menyalahkan banyak pihak dalam berita tersebut. Yang pertama, Media massa yang menurutnya tidak fair dalam memberitakan keberhasilan dirinya menjadi pembalap tercepat ketiga dalam balapan tersebut.
Nanda mengatakan bahwa dirinya bisa menang, namun karena factor luck saja makanya dia tidak menang. Nanda malah menambahkan bahwa semua orang selalu melihat posisi akhir dalam ajang balap mobil. Nanda membela banyak factor yang membuat seorang pembalap gagal, misalnya tabrakan.
Saya cuma bisa ketawa membaca pernyataan Nanda. Dimana-mana ukuran lap tercepat enggak bakalan membuat seseorang dikatakan bisa jadi juara balap. Lha wong, dianya juga cuma bisa sekali bikin catatan waktu terbaik itu. Aneh ya Nanda, aneh banget elu.
Terus soal tabrakan, Nanda mungkin lupa kali ye, sudah berkali-kali dia tabrakan di ajang AI Grand Prix. Enggak terhitungkan, di Durban, Afrika Selatan aja dia langsung tabrakan di lap pertama. Aduh, Nanda jangan karena elu tabrakan terus dong jadinya elu kehilangan ingatan. Untuk jadi perhatian, foto di atas justru diambil ketika Nanda terjung di ajang F3 Asia, lagi-lagi Nanda sial, tabrakan mulu.
Kedua, Nanda menyalahkan pemerintah yang kurang serius membantu perkembangan dunia balap Indonesia. Pernyataan ini sama sekali tidak berdasar. Sudah berapa banyak uang yang dihabiskan pemerintah untuk memenuhi ambisi Nanda dan bapaknya itu.
Mulai dari sirkuit sentul yang gagal total itu. Hingga Pertamina yang terus-terusan merogoh koceknya agar Nanda bisa pamer barang di depan umbrella girl seluruh dunia.
Ketiga yang paling fatal adalah cara Nanda menghilangkan persaingan dengan mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak membalap.
Terus terang, saya bukanlah seorang feminis. Tapi, saya benar-benar merasa marah akan ucapan nanda. Nanda, tidak berhak mengatakan bahwa perempuan tidak boleh balapan.
Keegoisan Nanda memang sangat terasa di berita tersebut. Nanda mengatakan bahwa tidak ada Nanda-Nanda lainnya di Indonesia. Soalnya, menurut Nanda, tidak ada orang lain yang segila babenya yang menyiapkan Nanda menjadi seorang pembalap. (hihihihi, kacau nih babenya sendiri dibilang gila).
Dari kegoisan itulah timbul kearoganan Nanda. Tanpa disadari Nanda mengatakan bahwa babenyalah yang paling berjasa di dunia mobil balap ini.
Ibu saya yang seorang mantan guru malah jadi orang yang paling berang dengan ucapan-ucapan nanda. Ia malah meminta saya untuk segera membuat surat protes kepada Nanda tentang berita tersebut. Bahkan, judul untuk surat protes itu pun sudah ia buat, judulnya, Jangan Ngomong Nanda, Mulutmu Bau.
Saya sebenarnya pengen banget marah-marah sama Nanda. Tapi, setelah mikir-mikir saya langsung teringat kalau Nanda itu memang tidak makan bangku sekolahan (itu diakui sendiri oleh Nanda bahwa dirinya meninggalkan bangku sekolah).
Jadi saya merasa wajar jika Nanda mengucapkan kata-kata tersebut. Ah, jangan-jangan dugaan saya malah benar lagi, si Nanda ini malah enggak bisa membaca sama sekali. Jadi miskin informasi dan miskin pergaulan, Nanda-Nanda kasihan kali kamu nak. Ditinggalin Wulan Guritno susah kali ye, jadi kagak bisa cuci barang, makanya stress berat.