Tuesday, January 03, 2006

Memoirs of a Geisha

Image hosted by Photobucket.com


Directed : Rob Marshall

Produced : Steven Spielberg

Cinta bisa terjadi kapan saja. Cinta bisa datang di saat ketika menderita atau pun bahagia. Dan dengan cinta kita juga belajar untuk menggapai semua cita-cita.

Tersebutlah Chiyo, seorang gadis kecil berumur belasan tahun yang terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya bersama sang kakak karena terlilit hutang. Penderitaan Chiyo tak sampai di situ.

Chiyo dan kakaknya justru dijual kembali agar mendapatkan uang. Di sinilah perjalanan Chiyo kelak nantinya bernama Sayuri, bermula. Perjalanan menjadi seorang Geisha, perjalanan ketika menemukan musuh dalam hidupnya dan perjalanan inspirasional ketika ia menemukan belahan jiwanya.

Cerita yang dihadirkan dalam Memoir of a Geisha memang sangatlah sederhana. Cerita yang disadur dari buku berjudul sama karangan Sir Arthur Golden ini hanya bercerita bahwa betapa kuatnya sebuah cinta dan betapa indahnya hidup jika kita bisa mencintai seseorang yang benar-benar kita cintai.

Karena cinta yang gagal jugalah hidup seseorang bisa menjadi tak bermakna. Hatsumoto (diperankan dengan sangat baik oleh Gong Li), seorang Geisha yang punya masa depan cerah terpaksa menjadi seorang pecundang hanya karena dia tak bisa berjuang untuk cintanya yang sejati. Akhirnya, ia terbuang bukan karena kecantikan melainkan karena ketulusan hati.

Dari segi tema cerita film yang diperani oleh Zhang Ziyi, Michelle Yeoh dan Gong Li ini memang tidak terlalu menarik alias biasa-biasa saja. Kita sudah sering menonton cerita ini di berbagai puluhan film lainnya.Bahkan banyak film lain yang bercerita tentang kehidupan Geisha yang jauh lebih fokus dibandingkan film ini.

Yang jadi istimewa adalah bagaimana sutradara Rob Marshall mengolah sebuah cerita dan konflik-konfliknya dengan rapih. Konflik tidak sengaja didatangkan secara beruntun, namun mengalir dengan sendirinya layaknya sebuah kehidupan normal. Hingga akhirnya, film ini hidup seolah-olah seperti bukan sebuah film. (wajar mengingat Rob Marshall juga pernah membuat film berjudul Chicago yang penuh nuansa vokal, tari dan drama)

Selain soal cerita yang tertata rapi, film ini juga sangat tertata rapi baik setting alam, kota dan suasana kota Jepang. Yang menjadi nilai lebih adalah music score yang mengalun sepanjang film. Kehadiran music score yang digawangi John Williams sangat enak untuk didengar di telinga. Suasana kota di Jepang jadi sangat terasa hidup dalam film ini.

Sayang meski berjudul Memoir of a Geisha film ini tidak terlalu mengangkat secara utuh kehidupan Geisha di Jepang. Sepanjang cerita, kita hanya diceritakan tentang seorang perjalanan cinta Sayuri menggapai cinta Chairman (Ken Watanabe). Bukan kehidupan Sayuri sebagai geisha.

Akibatnya, slogan yang mengatakan bahwa seorang Geisha bukanlah seorang pekerja seks komersial melainkan seorang artis menjadi sia-sia.

Padahal menurut Mameha (Michelle Yeoh), seorang Geisha adalah seorang artis yang tetap harus menceriakan dunia meskipun langit sudah runtuh (bedakan dengan Fiat Justitia Et Pareat Mundus). “Dunia boleh tertawa dan menangis tapi kita tetap harus tersenyum,” ujar Mameha bijak.

Tidak heran di film ini sosok Geisha tidak benar-benar terepresentasikan oleh Sayuri. Sayuri di sini hanyalah seorang gadis desa yang berwajah sangat cantik, punya tarian yang eksotis dan delikan mata dan senyuman maut yang bisa membuat seorang pria bertekuk lutut.

Seandainya Rob Marshall bisa mengangkat kehidupan Hatsumono justru jauh lebih menarik dibandingkan kehidupan Sayuri. Hatsumoto benar-benar hadir sebagai wakil manusia biasa. Dia penuh dengan rasa kecemburuan dan ketidakadilan karena cinta kasihnya hilang.

Kita benar-benar tidak tahu, bahkan hingga film berakhir darimana dan kemana Hatsumoto pergi setelah Jepang kalah takluk dalam Perang Dunia II. (Tentu saja akan sangat jauh berbeda dengan versi bukunya).

Film seolah-olah terfokus dalam perjuangan cinta Sayuri yang merasa terpikat dengan cinta tulus seorang pria. Cinta yang membuat dia menolak tawaran laki-laki yang jauh lebih kaya dan berkuasa.

Beruntung film ini awalnya diperankan oleh seorang aktris cilik Jepang yang sangat berbakat. Saya benar-benar sangat menikmati penampilan Chiyo cilik sepanjang film. Kehadirannya ibarat angina segar bagi film dan menyebabkan film ini tak terlalu terfokus pada Zhang Ziyi yang memang bagi saya biasa-biasa saja.

No comments: