Wednesday, January 25, 2006
Fanatisme Film
Banyak orang mempunyai cara yang berbeda untuk menentukan bagus atau tidaknya sebuah film. Karena kita manusia, maka sangat wajar jika kita mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menonton film.
Saya sendiri sebenarnya adalah pecinta film science fiction dan thriller. Tidak terkecuali film-film seks komedi seperti American Pie. Soalnya, secara pribadi menonton film-film tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan saya akan tawa dan keingin tahuan yang tinggi.
But hey, saya tidak punya keinginan untuk mengkotak-kotakkan film yang akan saya tonton. Justru, saya benar-benar menikmati film semi porno THRUST sama seperti saya menikmati film Old Boy.
Adik saya justru punya selera yang lebih lain unik lagi. Pria berbadan besar ini sangat menggemari film-film yang jenisnya gore dan ultra violent.
Tidak heran kalau adik saya justru merasa senang ketika menonton I Spit On Your Grave’s Merchi Zair, Audition dan Itchi The Killer’s Takashi Miike, Suicide Club milik Shion Shono hingga Violent Cop dan Fireworks kepunyaan Takeshi Kitano. Tapi dia benar-benar merasa tersentuh ketika menonton Turtles Can Fly.
Selera kita berdua memang sangat berbeda. Saking berbedanya kita mempunyai kebiasaan untuk tidak mau nonton bersama. Saya lebih merasa nyaman jika dia tidak ada di samping saya. Begitu juga sebaliknya, dia merasa nyaman ketika saya tidak berada di sampingnya karena sering merasa ngilu dan berteriak ketakutan selama menonton film.
Karena saya yang lebih sering membeli DVD dia sering karena terlalu banyak membeli DVD yang ceritanya tidak ia suka. Ia justru meminta saya untuk membeli DVD yang isinya jauh lebih menghibur ketimbang menonton film yang membuat kita harus mengernyitkan kening mencari makna cerita.
Film sendiri hakekatnya adalah sebuah hiburan. Namun, beranjak dari situ film bukan hanya sekedar untuk menyajikan hiburan yang semata-mata artifisial. Film yang baik adalah film yang benar-benar mengajak penontonnya menuju sebuah kesadaran baru (new consiusness).
Pandangan ini datang karena anggapan bahwa film ada cermin dan jendela keadaan dunia. Film adalah representasi budaya dan peristiwa yang ada di sekitar kita.
Saya sendiri merasa yakin bahwa pandangan seperti itulah yang membuat orang lebih banyak menentukan baik atau buruknya sebuah film. Karena tidak sesuai realitaslah maka banyak orang di sinemaindonesia mengatakan bahwa film 9 Naga garapan Rudy Soedjarwo sangat buruk.
Contohnya kutipan komentar seorang yang mengatakan; “anak menteng coba-coba bikin film tentang anak priuk”. Keluhan itu terjadi karena ketiga tokoh dalam film 9 Naga justru lebih asyik berfilsafat ketimbang memikirkan target korban kejahatan mereka nanti.
Namun, tidak selamanya pandangan seperti tersebut bisa dijadikan pandangan yang paling utama untuk menentukan baik atau tidaknya sebuah film.
Pandangan yang paling sering saya lihat terjadi pada banyak review film adalah dari sudut pandang kreativitas ide. Dalam pandangan ini sutradara film diharuskan untuk menghadirkan film yang benar-benar baru.
Meski kita ketahui bahwa banyak sutradara yang tidak bisa lepas dari pengaruh film-film sebelumnya. Misal film Bad Education garapan sutradara Paolo Almodovar yang memang tidak bisa lepas dari pengaruh Alfred Hitchkok.
Walau gayanya sama, tapi film yang diperani Gael Garcia Bernal ini justru banyak mendapat pujian.
Nah, dari banyak pandangan inilah seharusnya kita tahu bahwa perbedaan atau komentar-komentar tentang film tentu tidak akan seragam. Semua orang mempunyai kebebasan untuk berkomentar tentang film-film yang mereka tonton.
Perdebatan akan film pun sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan baru-baru ini Roger Ebert kritikus film dari Chichago Sun Times beradu pendapat soal film Crash dengan Scott Faundas. Faundas mengatakan bahwa Crash adalah film yang sangat berbahaya dan terburuk di tahun 2005. Namun, Ebert punya pandangan yang berbeda dan mengatakan bahwa film garapan sutradara Paul Haggis ini adalah film yang benar-benar baik sepanjang tahun 2005.
Meski berbeda pendapat, saling adu silang tidak pernah menjurus pada direct insult. Hal yang berbeda justru terjadi di Indonesia, perbedaan pendapat dan kritikan justru memacu pada penghinaan.
Selain tingkat kritis yang sangt tinggi saya sendiri beranggapan bahwa hal ini terjadi karena terjadinya fanatisme penonton terhadap karya film. Fanatisme memang sering terjadi pada agama, namun di Indonesia fanatisme justru bisa masuk pada ruang-ruang film.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment