Wednesday, December 28, 2005

Warna-warni Wajah Aceh

Image hosted by Photobucket.com


Serambi

Sutradara : Garin Nugroho
Produser : Christine Hakim
Produksi : Christine Hakim Film
Durasi : 80 menit
Pemain : Maesarah Untari, Reza Idria, Azhari, Lisa Aulia, Usman dan Jaelani

Film Serambi adalah film kerjasama kedua antara Christine Hakim dan Garin Nugroho. Sebelumya, kedua tokoh senior perfilman Indonesia ini berhasil memproduksi film Daun di Atas Bantal.

Kali ini dengan dukungan dana yang sangat luar biasa dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta BNI 1946, Garin dan Christine mengeluarkan sebuah film doku drama berjudul Serambi.

Film ini sendiri sejatinya diusung oleh 4 orang sutradara. Selain Garin, sutradara lainnya adalah Tonny Trimarsanto, Viva Westi dan Lianto Luseno.

Tonny Trimarsanto terkenal dengan film dokumenter berjudul Tanah Impian yang menceritakan tentang perjuangan warga Porsea, Sumatera Utara menentang keberadaan PT. Indorayon Tbk. Terakhir dalam Jakarta International Film Festival 2005, film dokumentasi Tonny berjudul Kitorang Pu Mama juga ikut ambil bagian.

Viva Westi sendiri bukan orang yang baru dalam dunia film. Gadis berambut pendek dan berkacamata ini adalah penulis scenario film Virgin yang fenomenal itu (he3x). Selain itu Viva juga pernah berkali-kali mendapat piala Vidia atas film televisi Wo Ai Ni dan Jangan Panggil Aku Cina.

Terakhir, Lianto Luseno. Pria ini sudah tidak asing lagi bekerja sama dengan Garin. Sebelum dalam proyek film pendek berjudul Viva Indonesia, Lianto pernah kerja bareng dengan Garin. Hanya saja dalam film pendek yang ide ceritanya sangat luar biasa itu (menulis surat pada Tuhan), Garin duduk sebagai seorang produser.

Film ini sendiri bercerita tentang kehidupan 6 orang Aceh setelah dua bulan tsunami berlalu. Film ini merekam keseharian Usman, Jaelani, Tari, Azhar, Riza, dan Lisa (saya susun nama atas dasar kesukaan saya terhadap peran mereka) menghadapi kesunyian, kenangan bahkan ketakutan atas gulungan ombak setinggi pohon kelapa itu.

Film ini berusaha menggambarkan keinginan masyarakat Aceh untuk kembali membangun Aceh. Dan pertanyaan-pertanyaan masyarakat Aceh kenapa tsunami harus terjadi di bumi rencong.

Usman, kehilangan dua anaknya dan istrinya yang tercinta. Yang tersisa bagi pria bertubuh pendek ini hanyalah becaknya yang ia gunakan untuk menyambung hidup sehari-hari.

Di tempat penampungan Usman berteman dengan Jaelani. Seorang penari seudati yang sangat setia kawan dan sangat-sangat humoris. Entah apa pekerjaan tetap Jaelani yang pasti dia selalu setia berjalan bersama dengan Usman.

Tari, anak kecil berumur 12 tahun yang sudah kehilangan segalanya. Keluarga hingga rumah. Tak ada tempat berlindung Tari cuma punya teman-teman yang senasib dengannya.

Saya cukupkan kepada tiga karakter itu saja karena yang sangat mengena hati saya adalah ketiga karakter tersebut. Tanpa kehadiran mereka film doku-drama ini bagai berjalan tanpa jiwa.

Image hosted by Photobucket.com

Saya benar-benar merasakan film ini benar-benar tanpa makna ketika Usman, Jaelani dan Tari tidak ada. Riza memang berusaha mengajak kita untuk merasakan kegundahannya. Sayang, selama berada di film Riza tidak membawa kita kea lam sana tapi malah menggurui kita dengan segala pertanyaannya.

Usman tak perlu sefilosofis Riza ketika menggambarkan kesedihannya akan tsunami. Usman cukup tampil apa adanya. Matanya yang menerawang, bibirnya yang selalu tertutup kelu dan badannya yang ringkih menggambarkan semua kesedihan itu.

Jaelani dengan bicaranya yang ceplas-ceplos bisa jadi adalah alat bagi dirinya untuk menutupi kepedihan. Dan ketegaran Tari untuk menguburkan rasa ketidakadilan yang menimpa dirinya karena kehilangan keluarga benar-benar terasa dalam film ini.

“Tuhan tidak pernah tidak adil,” ucap Tari.

Saya sendiri sempat bingung dengan kehadiran Riza, Lisa dan Azhari. Saya benar-benar tak merasakan kehadiran mereka sebagai korban tsunami secara khusus. Kehadiran mereka dalam film ini seolah-seolah hanyalah pemanis agar film ini bisa ditelan dengan baik.

Pendapat saya, bahwa narasi yang biasanya ada dalam film-film dokumentasi berada dalam tangan Riza. Dugaan saya datang karena film ini diawali oleh Riza dan juga diakhiri oleh pernyataan Riza tentang orang-orang Aceh.Apalagi Riza digambarkan sebagai seorang pemuda Aceh yang revolusioner dan maniak Che Guevara. (Jujur saya sempat ketawa ketika melihat Riza memiliki gitar Ibanez harga 2 jutaan di tempat penampungan. Dia ternyata masih sempat membawa gitarnya selamar dari tsunami).

Saya memang sempat menanyakan langsung hal itu kepada Garin, usai menonton film. Garin sendiri mengatakan bahwa Riza dan Azhari adalah bagian dari masyarakat Aceh. Dan mereka merefleksikan kesedihan masyarakat Aceh dengan caranya sendiri.

“Mereka berdua mempunyai latar belakang intelektual yang tinggi. Jadi enggak mungkin kita samakan mereka dengan Usman dan Jaelani,” ujar Garin.

Image hosted by Photobucket.com

Bisa jadi saya sangat setuju dengan Garin. Saya memang setuju bahwa film ini adalah film bahasa ekspresi. Namun, yang sangat saya sayangkan adalah kehadiran Riza, Lisa dan Azhari sama sekali tidak menangkap cermin keberadaan masyarakat Aceh.

Padahal tujuan pertama kalinya adalah menangkap dan menghadirkan wajah Aceh yang ada sekarang ini ke masyarakat Indonesia dan dunia secara utuh dan alami.

No comments: