Ketika seorang pria sudah berumur 25 tahun ke atas, bisa jadi pertanyaan yang sangat ditakutkan adalah soal pernikahan. Mungkin memang ada beberapa pria yang memang tidak memusingkan pertanyaan tersebut. Tapi bagi saya, seorang pria sederhana dengan gaji pas-pasan dan tak punya tabungan, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat-sangat saya hindari.
Tidak heran ketika pagi hari ini saya kembali di hadapkan dengan pertanyaan tersebut, saya kembali bertanya dalam hati, benarkah saya harus merasa perlu untuk menikah?
Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, kita sekeluarga terbiasa untuk makan pagi bersama. Dalam situasi seperti itu kita sekeluarga bisa mendiskusikan beberapa hal. Termasuk, soal pernikahan saya.
Lagi-lagi, ibu saya yang paling repot bertanya kepada saya kapan saya akan menikah. Alasannya klise saja, biar mereka bisa menyiapkan segala sesuatunya dengan matang.
Memang, alasan itu sangat masuk akal. Saya pun juga harus memikirkan masalah itu dengan matang.
Hanya saja, bagi saya pertanyaan tersebut sama sekali adalah pertanyaan yang sama sekali tidak bisa ada jawabannya. Ibarat tengah terjebak dalam sebuah labirin, saya tak bisa menemukan jalan keluarnya.
Saya sama sekali tidak bisa menentukan waktu yang tepat bagi saya untuk menikah. Saya tidak bisa menghitung secara matematis kesiapan diri dan financial saya untuk memasuki jenjang pernikahan.
Untuk memuaskan keingintahuan kedua orangtua, saya terpaksa mengatakan bahwa saya akan menikah dua tahun lagi. Sebuah jawaban yang menurut saya justru keluar tanpa pertimbangan matang.
Kenapa tidak matang? Karena saya sama sekali tidak bisa membayangkan apakah selama dua tahun ke depan nanti saya benar-benar bisa menabung sebagian penghasilan saya untuk mengurusi tetek bengek dunia pernikahan.
Dan yang lebih terpenting, adalah mengurus masalah kesiapan mental saya untuk bisa menyadari bahwa rumah tangga itu bukan sekedar menikah. Tapi, juga bertanggungjawab akan kelanggengan rumah tangga saya nanti.
Saya akui saya kadang-kadang merasa ragu untuk benar-benar menikah. Saking ragu-ragunya, saya kerap memamerkan kepura-puraan saya kepada calon saya jika ditanya tentang pernikahan.
Saya berlagak bisa menjalani tahapan hidup itu dengan baik. Dan mampu mengurus semuanya sehingga dia merasa yakin bahwa saya memang benar-benar mampu untuk menikah.
Padahal, di saat saya sendirian saya justru sering kebingungan. Saya malah merasa bahwa saya tak ingin untuk menikah. Saya terlanjur kerasan hidup sendirian justru jauh lebih nyaman dibandingkan berkeluarga. Tanpa permasalahan dan kerepotan untuk memikirkan seseorang yang saya nikahi.
Kebingungan itu semakin diperparah dengan kondisi financial, yang justru menurut saya tidak akan pernah cukup untuk dibawa berumah tangga.
Saya sadar bahwa kebingungan ini akan membawa saya pada suatu kondisi yang sangat parah. Saya terlanjur sudah berkomitmen dengan seorang gadis yang memang saya cintai.
Seandainya saya masih seorang diri, tentu saya tidak akan sebingung saat ini. Jika pun saya benar-benar menikah nanti, saya berharap kebingungan-kebingungan ini tak perlu saya pikirkan lagi.
3 comments:
nikah? duh...emang one of the scariest thing untuk dipikirin...hehehe...banyak doa aja minta petunjuk dari yg diatas...=) btw gue inget kok ama lo, cuman tadi rada bingung aja soalnya liputan lo udah berubah haluan gituuu =)
see, siapa sebenarnya yang mo nikah. paling tidak dibingungkan dengan kata ''nikah''
ups..wasn't me...hehehe...
NEY .... GIMANA KLO KITA KASIH SEMUAKE YANG MAHA MEMILIKI KUASA & MAHA PEMBERI JALAN,DON,T BE AFRAID OK .... VRA
Post a Comment