Kejar Jakarta
Director : Chandra Endroputro dan Bayu Sampurno
Story Idea : Bayu Sampurno
Screenplay : Chandra Endroputro
Durasi : 120 menit
Jangan mengharap ada kelucuan dalam film ini. Meski diisi sejumlah pemain dari Project P dan Project Pop film ini sama sekali tidak lucu. Sangat-sangat tidak lucu.
Hal ini menjadi sangat ironis, ketika saya teringat menonton Belahan Jiwa dan berharap menemukan adanya keseriusan, justru di film itu saya malah sering tertawa terbahak-bahak.
Di film ini, saat saya benar-benar butuh tawa untuk melepaskan penat di tengah liputan yang semakin padat, saya justru hanya bisa duduk nyinyir selama dua jam di Planet Hollywood. Membosankan.
Dalam konferensi persnya kemarin, kebetulan saya juga hadir, Daan Arya sang pemeran utama sendiri mengakui film ini tidak direncanakan untuk menghadirkan adegan-adegan komedi dan slapstick untuk menghasilkan tawa.
Menurutnya, film ini adalah film smart komedi. Karena itulah, menurut Daan, tawa justru akan hadir melalui dialog yang kuat, kondisi dan situasi.
“Jadi kita tidak ingin mengeluarkan tawa itu dengan parodi atau adegan-adegan slapstick. Kita justru ingin membuat penonton tertawa karena situasi atau drama yang kita tampilkan,” kata Daan.
Kata-kata Daan memang benar, film ini memang benar-benar smart. Saking smartnya, saya pun bisa menjadi sangat pintar dan mudah tertawa karena tahu mereka (Project P) sama sekali tidak berbakat untuk tidak berkomedi.
Saya hanya bisa tertawa ketika melihat seorang Ujang (Daan) yang gembul berperan sebagai anak desa yang baru pertama kalinya datang ke kota Jakarta (hari genee belum ke Jakarta, oh my god).
Seperti biasa, layaknya orang yang baru pertama kali datang ke Jakarta, adegan nyasar di jalan selalu pasti jadi adegan favorit. Uniknya, yang bikin saya heran, adegan nyasar itu dilakukan sutradara dengan hanya berputar-putar di daerah Bundaran HI-Sudirman-Thamrin. Saya jadi berpikir, alangkah bodohnya kamu hingga kamu tak bisa membedakan jalan yang kamu lewati berkali-kali.
Adegan film pun dimulai dengan sebuah scene yang menurut saya sama sekali sia-sia. Film ini dimulai dengan adegan tertabraknya Ujang oleh sebuah mobil. Setelah itu film bergerak mundur ke tiga minggu sebelumnya.
Menjadi sia-sia, karena ternyata adegan itu kembali terulang dalam adegan selanjutnya. But hey, film ini disutradarai oleh dua orang jadi bisa saja sutradara pertama tidak memberi tahu sutradara kedua bahwa adegan itu sudah ada di pembukaan film.
Karena fakor dua sutradaralah yang menyebabkan saya merasa pusing di satu jam pertama film. Pengambilan gambar yang bergerak cepat membuat mata saya pusing tujuh keliling.
Berbeda pada satu jam selanjutnya, dimana mata saya benar-benar diistirahatkan dengan gambar yang sejuk. Sya sangat suka adegan dimana Ujang menunggu kedatangan Neng di stasiun Gambir malam hari. Gambar yang dihasilkan benar-benar memperlihatkan keputusasaan Ujang menunggu kehadiran Neng.
Saya sama sekali tidak terhibur dengan film ini, suaranya juga berisik yang membuat saya hampir menutup kuping selama film berlangsung. Entah kenapa suara ibu-ibu itu (Wulan Guritno dan Reggy Lawalata) ketika ngerumpi jadi sangat menusuk kuping saya.
Film ini sendiri bercerita tentang keinginan Ujang (Daan) yang ingin mengikuti jejak teman sekampungnya, Dadan (Iyang) sukses di Jakarta. Ide cerita sebenarnya sudah sangat bagus ketika Dadan mengajak Ujang menjadi politikus (demo bayaran) hingga polisi jalanan (pak ogah).
Sebenarnya, dari sanalah Chandra harus berangkat. Bukan langsung mengubah nasib Dadan dan Ujang menjadi seorang pengusaha sukses hanya karena numpang di mobil seorang pengusaha gelap. Yah, biar bagaimanapun film ini harus diberi selamat karena bisa memberitahu kepada masyarakat bahwa Project P memang tidak bisa tidak harus tetap berkomedi. (jujur saya benar-benar terhibur ketika mengikuti konferensi pers mereka dibanding filmnya).
No comments:
Post a Comment