Tuesday, January 31, 2006
Jangan Berkelahi Lagi Jet Li
Judul : Fearless
Pemain : Jet Li
Sutradara : Ronny Yu
Menonton Fearles bisa jadi adalah momen paling buruk sepanjang karir gue menonton film di bioskop. Kebijakan Djakarta Theater yang langsung memutar film lebih awal dari jadwal tiket membuat gue kehilangan beberapa adegan film biopic tentang perjalanan hidup pendiri klub Wushu Jinwu, Huo Yuanjia ini.
Keterlambatan itu memang bukan tanpa sebab. Gue sebenarnya merasa yakin bisa nyampe di bioskop 5 menit sebelum diputar. Nyatanya, begitu masuk ruangan bioskop sudah gelap. Dan ini lah yang paling memuakkan, gue terpaksa mondar-mandir mencari kursi.
Petugas bioskop mengatakan bahwa kursi gue ada di sebelah kanan paling pojok. Payahnya, dia tidak membimbing gue ke tempat duduk dan membiarkan gue berjalan sendiri. Otomatis, gue pun duduk di tempat yang salah. Yang bikin malu, kejadian salah tempat duduk itu berulang sampai dua kali. Gue jadi terlihat seperti gosokan yang mondar-mandir mencari tempat duduk.
Beruntung, setelah mondar-mandir ada seorang penonton yang berbaik hati menanyakan nomor tempat duduk gue. Ternyata, satu kursi kosong di samping penonton itu adalah kursi saya. Mimpi burukj saya semakin berlanjut karena saya duduk di kursi yang paling depat, tepat di tenga-tengahnya.Akibatnya, saya terpaksa agak melonjorkan badan agar penglihatan saya bisa terasa nyaman.
Secara keseluruhan film Fearless tidaklah berbeda dengan film Jet Li sebelumnya seperti film-film jadulnya yang berjudul Tai Chi Master dan Born To Defence hingga film Jet LI yang pali anyar seperti The One dan Danny The Dog.
Berbeda dengan film Biopic lainnya yang kini tengah marak contoh Walk The Line yang diperani Joaquin Phoenix, film Fearless sama sekali mati rasa ketika bercerita tentang kehidupan Huo Yuanjia sebagai jagoan Kung Fu nomor satu di Cina.
Bahkan dengan film yang temanya hampir sama seperti Fighter in The Wind yang bercerita tentang kehidupan Master Aoyama, dari segi penuturan cerita Fearless benar-benar jauh ketinggalan.
Film terkesan berjalan cepat tanpa mengembangkan atau focus pada kehidupan Huo Yuanjia. Bahkan, kapan Huo Yuanjia benar-benar bisa belajar Kung Fun pun tidak diperlihatkan dengan jelas. Tiba-tiba saja Huo Yuanjia yang berpenyakit asma ini bisa jadi seorang ahli Kung Fu yang ditakuti di Tianjian. Padahal, awalnya Huo Yuanjia tidak boleh belajar Kung Fu atas perintah ayahnya.
Awalnya saya menduga bahwa film ini memang sengaja melompat lebih cepat agar lebih focus pada perjuangan Huo Yuanjia menjadi orang nomor satu. Tapi setelah mengingat beberapa waktu lalu menulis berita Fearles, saya langsung tahu bahwa masa kecil Huo YUanjia adalah salah satu bagian yang paling banyak kena potong.
Wang Bin, salah seorang penulis skenarionya sendiri pernah mengatakan bahwa skrip cerita Fearless sangat lemah. Bahkan, Wang Bin mengatakan bahwa film Fearless tentang hanya cocok untuk dijadikan film di layar televisi.
Entah kenapa saya selalu berpikir bahwa kelemahan terbesar dari Jet Li adalah kemampuannya berakting. Dia memang boleh jago kung fu tapi dia sangat lemah dalam berakting. Sehingga film sebagus apapun, Jet Li tetaplah seorang Jet Li.
Beruntung, Jet Li berhasil menemukan sutradara sehandal Ronny Yu. Sutradara yang pernah menggarap film berjudul Warriors of Virtue dan 51st State ini benar-benar tahu caranya memuaskan penonton.
Ronny tahu bahwa semua orang hanya suka Jet Li ketika berkelahi ketimbang berakting. Tidak heran, kalau dari awal film dimulai tiga buah adegan fighting langsung dimulai. Dan jangan heran puluhan adegan fighting lainnya sudah menunggu sampai film ini selesai.
Selain itu, dengan dukungan sinematograper, Ronny benar-benar berhasil menunjukkan gambar-gambar yang indah serta pergerakan kamera yang benar-benar luar biasa baru. Pergerakan kamera yang dinamis membuat adegan fighting Jet Li benar-benar terasa hidup.
Bukan hanya handal mengambil adegan fighting. Bahkan, scene perubahan musim pun dengan sangat indah ditampilkan oleh Ronny Yu.
Otomatis dengan eksploitasi berlebihan di adega akting plot cerita sama sekali tidak berkembang. Padahal, Jet Li mengatakan bahwa film ini adalah film yang dibuat guna menggugah rasa nasionalisme China.
Sayang, cara yang digunakan Jet Li untuk menggugah perasaan agung itu justru terpendam akibat buruknya akting Jet Li. Beruntung, Jet Li berhasil mengatasi keburukan itu dengan cara-cara yang benar sangat haram dilakukan oleh film-film fighting lainnya.
Terakhir, Jet Li mengatakan bahwa pertarungan bukanlah untuk menjadi seorang jagoan. Pertarungan adalah untuk mencari teman dan persaudaraan. Jangan pernah bertarung untuk dendam, karena dendam hanyalah melahirkan dendam yang paling dahsyat.
Saya rasa pesan itu sangat tepat untuk ditujukan kepada Jet Li. “Jet-Jet jangan bertarung lagi yah. Sama aja ngelihatnya.” Beruntung Jet Li pernah mengatakan bahwa film ini adalah film Kung Fu terakhir yang ia perani.
Saturday, January 28, 2006
Meraba Sisi Gelap Manusia
Judul Film : Old Boy dan Sympathy For Mr. Vengeance
Sutradara : Park Chan Wook
Wednesday, January 25, 2006
Fanatisme Film
Banyak orang mempunyai cara yang berbeda untuk menentukan bagus atau tidaknya sebuah film. Karena kita manusia, maka sangat wajar jika kita mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menonton film.
Saya sendiri sebenarnya adalah pecinta film science fiction dan thriller. Tidak terkecuali film-film seks komedi seperti American Pie. Soalnya, secara pribadi menonton film-film tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan saya akan tawa dan keingin tahuan yang tinggi.
But hey, saya tidak punya keinginan untuk mengkotak-kotakkan film yang akan saya tonton. Justru, saya benar-benar menikmati film semi porno THRUST sama seperti saya menikmati film Old Boy.
Adik saya justru punya selera yang lebih lain unik lagi. Pria berbadan besar ini sangat menggemari film-film yang jenisnya gore dan ultra violent.
Tidak heran kalau adik saya justru merasa senang ketika menonton I Spit On Your Grave’s Merchi Zair, Audition dan Itchi The Killer’s Takashi Miike, Suicide Club milik Shion Shono hingga Violent Cop dan Fireworks kepunyaan Takeshi Kitano. Tapi dia benar-benar merasa tersentuh ketika menonton Turtles Can Fly.
Selera kita berdua memang sangat berbeda. Saking berbedanya kita mempunyai kebiasaan untuk tidak mau nonton bersama. Saya lebih merasa nyaman jika dia tidak ada di samping saya. Begitu juga sebaliknya, dia merasa nyaman ketika saya tidak berada di sampingnya karena sering merasa ngilu dan berteriak ketakutan selama menonton film.
Karena saya yang lebih sering membeli DVD dia sering karena terlalu banyak membeli DVD yang ceritanya tidak ia suka. Ia justru meminta saya untuk membeli DVD yang isinya jauh lebih menghibur ketimbang menonton film yang membuat kita harus mengernyitkan kening mencari makna cerita.
Film sendiri hakekatnya adalah sebuah hiburan. Namun, beranjak dari situ film bukan hanya sekedar untuk menyajikan hiburan yang semata-mata artifisial. Film yang baik adalah film yang benar-benar mengajak penontonnya menuju sebuah kesadaran baru (new consiusness).
Pandangan ini datang karena anggapan bahwa film ada cermin dan jendela keadaan dunia. Film adalah representasi budaya dan peristiwa yang ada di sekitar kita.
Saya sendiri merasa yakin bahwa pandangan seperti itulah yang membuat orang lebih banyak menentukan baik atau buruknya sebuah film. Karena tidak sesuai realitaslah maka banyak orang di sinemaindonesia mengatakan bahwa film 9 Naga garapan Rudy Soedjarwo sangat buruk.
Contohnya kutipan komentar seorang yang mengatakan; “anak menteng coba-coba bikin film tentang anak priuk”. Keluhan itu terjadi karena ketiga tokoh dalam film 9 Naga justru lebih asyik berfilsafat ketimbang memikirkan target korban kejahatan mereka nanti.
Namun, tidak selamanya pandangan seperti tersebut bisa dijadikan pandangan yang paling utama untuk menentukan baik atau tidaknya sebuah film.
Pandangan yang paling sering saya lihat terjadi pada banyak review film adalah dari sudut pandang kreativitas ide. Dalam pandangan ini sutradara film diharuskan untuk menghadirkan film yang benar-benar baru.
Meski kita ketahui bahwa banyak sutradara yang tidak bisa lepas dari pengaruh film-film sebelumnya. Misal film Bad Education garapan sutradara Paolo Almodovar yang memang tidak bisa lepas dari pengaruh Alfred Hitchkok.
Walau gayanya sama, tapi film yang diperani Gael Garcia Bernal ini justru banyak mendapat pujian.
Nah, dari banyak pandangan inilah seharusnya kita tahu bahwa perbedaan atau komentar-komentar tentang film tentu tidak akan seragam. Semua orang mempunyai kebebasan untuk berkomentar tentang film-film yang mereka tonton.
Perdebatan akan film pun sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan baru-baru ini Roger Ebert kritikus film dari Chichago Sun Times beradu pendapat soal film Crash dengan Scott Faundas. Faundas mengatakan bahwa Crash adalah film yang sangat berbahaya dan terburuk di tahun 2005. Namun, Ebert punya pandangan yang berbeda dan mengatakan bahwa film garapan sutradara Paul Haggis ini adalah film yang benar-benar baik sepanjang tahun 2005.
Meski berbeda pendapat, saling adu silang tidak pernah menjurus pada direct insult. Hal yang berbeda justru terjadi di Indonesia, perbedaan pendapat dan kritikan justru memacu pada penghinaan.
Selain tingkat kritis yang sangt tinggi saya sendiri beranggapan bahwa hal ini terjadi karena terjadinya fanatisme penonton terhadap karya film. Fanatisme memang sering terjadi pada agama, namun di Indonesia fanatisme justru bisa masuk pada ruang-ruang film.
Sunday, January 22, 2006
The Best Thing Of Our Life
Kapan kamu pernah mengalami saat-saat yang istimewa dalam hidup?
Saturday, January 21, 2006
Lets Playboy
Akhir-akhir ini masyarakat tengah dikejutkan dengan rencana penerbitan majalah Playboy
Wednesday, January 18, 2006
Judul : Realita, Cinta dan Rock N Roll
Pemain : Herjunot Ali, Vino G Bastian, Nadine Chandrawinata, Barry Prima
Sutradara : Upi Avianto
Produksi : Virgo Putra Film
Tuesday, January 10, 2006
9 Naga Mengejar Matahari
9 Naga
Skenario : Monty Tiwa
Produser : Leo Sutanto
Pemeran : Lukman Sardi, Fauzi Baadila, Marcell Anthony, Donny
Bermain air basah, bermain api terbakar. Siapa yang hidup dengan pedang maka akan mati dengan pedang. Setiap permasalahan dalam hidup selalu ada titik baliknya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya dengan baik.
Jadi sangat wajar jika kita merasa Marwan yang diperankan oleh Lukman Sardi benar-benar terasa bukan orang asing dalam kehidupan kita.
Siapa sangka, Leny ternyata seorang pria yang memang benar-benar mempunyai masalah dengan keberanian. Pria asal Solo ini justru adalah pria yang sangat lugu dan mempunyai kesulitan-kesulitan mengungkapkan perasaan cintanya kepada seorang wanita penjaga lapo tuak.
Thursday, January 05, 2006
Indahnya Kebersamaan
Kebersamaan memang bukanlah suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Kebersamaan memang mudah untuk diucapkan namun biasanya sangat sulit untuk dilakukan.
Seperti kata dasarnya, kebersamaan datang dari beberapa faktor yang sama. Misalnya, sama-sama menderita, sama-sama bergaji rendah, dan sama-sama belum diakui sebagai karyawan.
Sempatkan diri Anda untuk berjalan-jalan di
Setahu saya spanduk itu sengaja dibuat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seperti terorisme, tawuran antar warga hingga tindakan criminal yang sering terjadi di masyarakat beberapa waktu lalu.
Kebersamaan memang indah. Dengan kebersamaan kita jadi bisa mengerti perasaan orang lain. Dengan adanya kebersamaan kita bisa menghormati, menghargai pendapat dan perbedaan yang terjadi di antara kita.
Yang paling utama, dari sebuah kebersamaan tercipta sebuah kekuatan. Yakni, suatu kesatuan dan persatuan (kayak TVRI aja).
Di tempat kerja saya sendiri, kebersamaan itu sudah dimulai dari sekarang. Terhitung ketika pihak kantor ternyata tidak menaikkan gaji kita dan terhitung ketika status karyawan malah menjadi sebuah bayangan bukannya sebuah dasar legalitas untuk terus berkerja.
Kebersamaan yang terjadi secara instant ini bermula ketika beberapa orang wartawan di kantor mengadakan rencana untuk berkaraoke bersama. Rencana yang semulanya saya duga akan gagal terlaksana itu akhirnya bisa terjadi juga.
Saya akui saya sendiri awalnya agak angin-anginan untuk ikut berkaraoke bersama. Namun, karena ada teman baik yang terus-terusan mendesak akhirnya saya ikut juga.
Dan akhirnya saya benar-benar tidak menyesal mengorbankan jatah tidur malam saya untuk bernyanyi bersama mereka. Banyak pengalaman menarik yang saya dapat selama 2 jam bernyanyi. (ternyata saya benar-benar bisa menyanyi lho)
Gara-gara karaoke lah kita akhirnya menemukan sebuah lagu kebangsaan kita. Ini penting, karena kebersamaan butuh sebuah alat yang bisa diandalkan untuk meningkatkan empati dan kepedulian.
Uniknya lagu yang dipilih adalah lagu Rocker Juga Manusia yang dibawakan Seurieus. Soalnya, lagu ini adalah lagu yang benar-benar mewakilkan perasaan kita.
Ternyata, karaoke ini bukanlah karaoke yang pertama dan terakhir. Teman-teman saya yang rata-rata banci nyanyi ini justru langsung mendesak untuk segera membuat karaoke bersama lagi.
Sekali lagi saya memang jadi orang yang memang masih pesimis karaoke ini bisa kembali terlaksana. Soalnya, banyak member karaoke pertama yang menyatakan tidak bisa hadir.
Hebatnya, kekhawatiran saya justru malah hapus ketika mengetahui justru banyak orang yang mau ikut dalam kesempatan tersebut.
Seperti halnya kesempatan yang pertama, karaoke kedua ini juga sangat berkesan bagi saya dan teman-teman. Di kesempatan kedua ini kita juga memperbaharui lagu kebangsaan kita Reporter Juga Manusia (aka Rocker Juga Manusia).
Lagu yang hanya diubah di bagian reffnya itu justru semakin mewakilkan perasaan kita. Berikut gubahannya;
Kadang ku rasa lelah
Mengetik Seharian
Dikejar-kejar deadline
Reporte juga manusia punya rasa punya hati
Jangan samakan dengan kerja rodi.
Sepulang dari
Wednesday, January 04, 2006
Bahasa Cinta Yang Sederhana
Sayang, setelah lama mengaduk-aduk puluhan DVD, film yang dicari tidak kunjung ditemukan juga. Uniknya, saya justru mendapatkan berkah ketika tertarik dengan dua film berjudul The Beat That My Heart Skipped garapan sutradara Jacques Audiard dan Me and You and Everyone We Know garapan sutradara Miranda July.
Awalnya saya tidak terlalu peduli dengan kedua film tersebut. Tapi rasa penasaran saya semakin memuncak ketika saya melihat daftar film terbaik sebuah situs film yang saya lupa namanya, kedua judul film tersebut ikut nangkring dalam daftar tersebut.
Alhasil begitu sampai di rumah saya langsung memutar DVD tersebut di rumah. Untuk film The Beat That My Heart Skipped saya memang tidak terlalu begitu menikmati.
Saya hanya terkesan dengan akting Romain Duris yang bisa menampilkan seorang pria yang tengah gundah gulana menghadapi pilihan hidup. Menjadi seorang begundal untuk meneruskan tradisi sang ayah atau menjadi seorang maestro piano meneruskan bakat yang diturunkan ibunya.
Namun khusus untuk Me and You and Everyone We Know saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan saya usai menonton film ini. Di film ini saya benar-benar terkesan dengan sosok Miranda July yang menjalankan tiga peran sekaligus, penulis scenario, sutradara dan pemeran film tersebut.
Me and You and Everyone We Know adalah sebuah film yang bertutur tentang cinta dengan cara yang sangat-sangat sederhana. Baik cinta kepada sesama manusia hingga cinta kepada mahluk lainnya. Semua dituturkan dengan bahasa yang indah.
Film ini mengambil plot cerita yang benar-benar sering terjadi dalam kehidupan normal kita. Kisah seorang seniman wanita eksentrik dan penyendiri jatuh cinta kepada seorang pria putus asa mencari jati diri karena gagal membangun rumah tangga.
Bukan hanya itu saja film ini juga menggambarkan dengan sangat jelas betapa setiap manusia butuh untuk diperdulikan, dihargai serta disayangi. Perasaan itu diwakili oleh semua tokoh yang hadir dalam film ini.
Contohnya, Hal ini tergambar dengan jelas ketika sosok perempuan membutuhkan sebuah chat room agar bisa mencari kebutuhannya akan seks, kasih sayang dan cinta.
Perempuan itu tidak menyangka kalau teman yang membangkitkan rasa cinta dan kasih sayang dari chat room itu adalah seorang anak kecil. Bahkan ketika mereka bertemu rasa cinta itu tak perlu dihilangkan meskipun terhalang usia. Kecupan manis Christine pada anak kecil tersebut membuat saya sangat tersenyum baik di mulut maupun di hati.Cinta terjadi tanpa batas.
Selain sangat sederhana film ini juga benar-benar memberikan makna filosofi yang sangat dalam. Hebatnya, July tidak menghadirkan makna filosofi tersebut dengan cara yang sangat berat membuat kita harus mengernyitkan kening ketika menonton film tersebut. LIhat saja;
Bayangkan sebuah jalan persimpangan dimana kita masih bisa bergandengan tangan. Kita masing-masing akan berbelok dengan arah yang kita inginkan. Namun, kita masih bisa memutar balik ke arah sebaliknya hingga tetap bersama.
Sebuah makna yang sangat dalam. Sebuah pemaknaan akan hidup yang benar-benar datang dari kejujuran hati manusia yang lemah menghadapi ketika menghadapi hidup.
Karena kesederhanaan-kesederhanaan itulah tidak heran jika film ini dianugerahi Special Jury Prize di Sundance, Best Film di Festival Film
Tuesday, January 03, 2006
Memoirs of a Geisha
Directed : Rob Marshall
Produced : Steven Spielberg
Cinta bisa terjadi kapan saja. Cinta bisa datang di saat ketika menderita atau pun bahagia. Dan dengan cinta kita juga belajar untuk menggapai semua cita-cita.
Tersebutlah Chiyo, seorang gadis kecil berumur belasan tahun yang terpaksa dijual oleh kedua orang tuanya bersama sang kakak karena terlilit hutang. Penderitaan Chiyo tak sampai di situ.
Cerita yang dihadirkan dalam Memoir of a Geisha memang sangatlah sederhana. Cerita yang disadur dari buku berjudul sama karangan Sir Arthur Golden ini hanya bercerita bahwa betapa kuatnya sebuah cinta dan betapa indahnya hidup jika kita bisa mencintai seseorang yang benar-benar kita cintai.
Kita benar-benar tidak tahu, bahkan hingga film berakhir darimana dan kemana Hatsumoto pergi setelah Jepang kalah takluk dalam Perang Dunia II. (Tentu saja akan sangat jauh berbeda dengan versi bukunya).