Saturday, March 25, 2006

Starbucks Gratis…? Pasti


Image hosting by Photobucket

Minum Starbukcs itu mahal. Makanya, saya enggak pernah membayangkan bisa minum-minum kopi impor dari negeri Abang Sam tersebut. Apalagi menjejakkan kaki di gerai-gerai Starbucks yang sudah mulai ramai.

Sebenarnya sih dari segi uang, harga Starbucks masih terhitung ramah dengan dompet. Hanya, saja saya masih enggak punya kepikiran untuk mengeluarkan uang Rp 15 ribu hanya untuk satu gelas kopi.

Namun, sebenarnya yang paling bikin saya enggan untuk menapakkan kaki ke Starbucks tidak lain karena imej Starbucks itu sendiri. Bagi saya masuk ke Starbucks itu sama aja bunuh diri.

Soalnya, badan saya sering keringetan dan bau matahari akibat berpanas-panasan mencari berita di lapangan. Jadi, kayaknya enggak cocok deh masuk ke Starbucks yang dikelilingi orang berbau wangi dan sibuk menghabiskan waktu ngomongin bisnis, politik, chit-chat, atau browsing internet.

Sekali-kali memang ada teman yang ngajakin nongkrong di Starbukcs. Namun, bukannya antusias, saya dan beberapa teman lainnya justru malah tertawa. Soalnya, ajakan itu sepertinya salah tempat.

Alhasil, saya memang tidak pernah bermimpi mencicipi kopi Abang Sam tersebut. Tapi, saya lupa, saya adalah seorang wartawan. Apa sih yang enggak bisa didapatin wartawan dengan gratis. Mulai dari nonton konser gratis, masuk ke Ancol gratis, hingga kena tilang polisi juga bisa gratis. (Yang terakhir jangan sering dilakukan).

Image hosting by Photobucket Image hosting by Photobucket


Nah, untuk urusan Starbucks, ternyata bisa gratis juga. Ceritanya, saya hendak meliput berita peluncuran buku scenario Berbagi Suami di toko buku Kinokuniya, Plaza Senayan.

Waktu itu liputan memang garing banget. Soalnya, sudah enggak ada hidangan buat ngemil, saya juga enggak dapat buku yang biasanya diberikan gratis bagi wartawan.

Entah kenapa si pengurus acara sepertinya bisa membaca wajah gue yang tengah kelaparan. Tiba-tiba saja mereka langsung memerintahkan pelayan-pelayan yang ada Starbukcs (sebenarnya ada sebutan khusus buat mereka, Cuma gue lupa apa namanya) agar secepat menghidangkan kue-kue dan kopi-kopi yang mereka punya.

Ketika hidangan itu datang, astaga, gue bener-bener tidak menahan tangan gue barang sedetik untuk meraih gelas-gelas kecil yang mereka bawa. Bahkan saking seringnya gue meminta, ada satu pelayan yang kayaknya sebel banget sama gue.

Soalnya, gue dan temen-temen gue yang lain termasuk rombongan yang paling rajin nyerobot tuh minuman. Total kalau enggak salah gue menghabiskan 7-10 gelas kecil Starbucks. Minumannya mulai dari kopi, green tea hingga minuman yang sulit gue sebutin. Soalnya, panjang banget nama minumannya.

Selain minuman, saya juga dipersilahkan untuk mengambil makanan-makanan kecil yang ada di Starbucks. Mulai dari cheese cake hingga enggak tahu lagi apa deh namanya. Pokoknya sulit banget nyebutinnya.

Belum cukup disitu, ternyata waktu pulang kita dikasih kejutan dengan diberikan satu gelas besar Starbucks yang bisa dibawa pulang. Nah, di sini nih letak lucunya.

Secara gue baru pertama kali minum Starbucks gue langsung keheranan melihat gelas plastic Starbucks yang diberi tutupan dan sebuah lubang kecil. Otomatis gue langsung nanya.

“Sedotannya mana nih?”

Serentak teman-teman langsung ngetawain gue. Mereka ketawa karena heran dengan pertanyaan gue, soalnya mana ada sih orang yang minum Starbucks pake sedotan.

Namun, rasa malu gue udah tertutupi dengan kenikmatan minum Starbucks dengan gratis.

Uniknya, ternyata perut gue itu masih belum terbiasa minum kopi-kopi impor ala Starbucks. Buktinya, setelah pulang dari lokasi acara, perut gue malah sakit. Memang, yang namanya gratis itu selalu makan korban atau butuh pengorbanan.

2 comments:

Yovan A.S said...

Selamat ya La...
hehehehe...
emang yg namanya gratisan itu sedap bin nikmat...
biarpun malu, gak kerasa...
hehehehe...

dahlia said...

WUAHAHAHAHAHAH

gw ngak komen ah soal gretongan
abis gw Miss Gretong juga seh...

tapi apa ngak kurang tuh gelas kecil geto
wat elo , Yu.