Judul : Berbagi Suami
Sutradara : Nia Dinata
Pemain : Elmanik, Jajang C Noer, Shanty, Rieke Diah Pitaloka, Ria Irawan, Lukman Sardi, Tio Pakusadewo dan Dominique
Setelah menonton film Berbagi Suami hanya ada satu kata dalam benak saya, Puas. Selama lebih dari 1,5 jam di dalam bioskop saya benar-benar terhibur menonton film garapan sutradara Nia Dinata ini.
Saking puasnya, usai menonton saya berbicara kepada teman saya bahwa saya ingin menangis nonton film ini. Sebab, saya benar-benar kebingungan mencari cela film ini.
Padahal awalnya sebelum menonton film di benak saya sudah timbul banyak dugaan tentang Berbagi Suami. Saya sempat mengira bahwa film ini benar-benar berat dan akan sangat susah dicerna bagi penonton Indonesia.
Kedua, saya menyangka bahwa film ini akan secara langsung mendiskreditkan paham poligami yang memang sedang jadi bahan perbincangan paling hangat akhir-akhir ini. Bahkan saya sempat berpikir, apakah Nia Dinata hendak menjadikan dirinya pemilik kebenaran seutuhnya dengan mengatakan bahwa poligami itu benar-benar merugikan perempuan.
Ketiga, saya sempat menduga bahwa film ini akan sangat membosankan karena ada tiga buah cerita dalam satu film. Satu film drama saja sudah membuat saya bosan, apalagi jika ada tiga buah cerita.
Namun, begitu film ini dimulai, semua dugaan tersebut benar-benar luntur. Film Berbagi Suami adalah film yang sangat-sangat santai dan benar-benar menyenangkan. Tidak ada dialog yang bertele-tele dalam film ini yang bisa menyebabkan kita memicingkan mata dan berkerut dahi kepala. Tidak ada akting kaku yang kadang membuat kita sering tertawa saking lucunya.
Di film ini justru saya merasa seolah-olah tidak berjarak dengan mereka. Alur cerita berjalan dengan lancar dan tidak terbata-bata. Saya tidak pernah merasa ngantuk menonton film ini.Setiap bagian cerita mulai, rasa penasaran saya justru makin memuncak. Memang, ada bagian cerita Ming, menurut saya agak-agak di over dramatisir dan kurang penting.
Tapi bagi saya kelebihan utama film ini adalah karena Nia Dinata adalah orang yang benar-benar adil dan sangat berimbang. Meski film ini adalah film miliknya, privilidge Nia untuk mengatakan bahwa poligami itu salah benar-benar tidak terasa.
Ketiga cerita yang ada di film itu memang semuanya menjadikan lelaki sebagai pelaku utama dan penyebab terjadinya poligami. Namun, kesemua tokoh wanita yang ada di film tersebut mempunyai pandangan sendiri-sendiri mengenai poligami.Poligami terjadi bukan karena kehendak pria saja tapi juga karena wanita memang tidak mau untuk menolaknya dengan berbagai alasan. Hal ini mengingatkan saya pada prinsip hukum the victim guilty as the offender.
Salma (Jajang C Noer), seorang dokter wanita dan taat beribadah, menyikapi poligami sebagai suatu takdir. Dirinya beranggapan bahwa menerima poligami adalah suatu jaminan ke surga. Sebagai istri yang baik dan sholehah, Salma selalu berusaha membagi hatinya bagi anaknya, Nadim dan kedua orang istrinya yang lain. Salma yakin bahwa yang paling penting bagi dirinya adalah membahagiakan suami dan sang anak. Apapun yang ia hadapi dalam rumah tangga harus dihadapi dengan baik demi keutuhan keluarga.
Siti (Shanty), seorang gadis Ambarawa, tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menikah dengan Pak Lik-nya sendiri. Cita-citanya untuk menjadi seorang ahli kecantikan justru luluh lantak karena jadi istri ketiga Pak Liknya.
Hidup pada tradisi jawa yang mengedepankan unggah-ungguh, Siti tidak bisa menolak ketika dipinang jadi istri ketiga. Meski batinnya menangis, layaknya orang Jawa, Siti menyimpan luka itu dalam-dalam.
Namun, luka itu justru jadi api dalam sekam, bahkan membawanya pada cinta yang telah ia cari sebelumnya. Meski cinta itu bukan cinta yang normal, cinta itu justru membuat Siti jadi berani untuk melawan poligami. Dicintai seseorang memang membuat kamu kuat, namun mencintai seseorang membuat kamu berani.
Lain lagi dengan Ming, seorang pelayan seksi di restoran bebek bakar milik Koh Abun. Ming, justru beranggapan bahwa poligami adalah salah satu cara untuk mendapatkan semua cita-citanya. Poligami adalah jembatan bagi Ming untuk lepas dari kemiskinan, hidup akan kekayaan dan menggapai cita-citanya menjadi seorang artis terkenal.
Tidak seperti kedua wanita sebelumnya yang batinnya menolak untuk dipoligami, Ming justru merasa senang dan ikhlas dipoligami. Meski ikhlas, Ming ternyata tidak dapat status yang sama seperti halnya kedua tokoh sebelumnya. Koh Abun menutup-nutupi pernikahan mereka, dan membuat seperti pasangan yang tengah berselingkuh.
Dari ketiga tokoh di atas, poligami dari sudut pandang apa pun memang akan selalu merugikan wanita. Namun, wanita memang mempunyai kekuatan untuk menolak poligami. Hanya saja latar belakang, kebudayaan dan desakan-desakan agama membuat mereka sulit untuk menolak poligami.
Pesan akhir yang saya terima sendiri akan film ini adalah kita perlu merubah cara pandang kita akan budaya dan agama, agar kita bisa melihat poligami pada sisi yang sebenarnya.
4 comments:
Hidup POLIGAMI !!!!!!
wah.. kmrn klewatan film ini.pdhl ada premiere`nya di tby.. hu3..
> Tapi bagi saya kelebihan utama film ini
> adalah karena Nia Dinata adalah orang
> yang benar-benar adil dan sangat
> berimbang. Meski film ini adalah film
> miliknya, privilidge Nia untuk
> mengatakan bahwa poligami itu salah
> benar-benar tidak terasa.
Sepakat.. Film ini tidak menghakimi poligami secara langsung. Tapi lumayan untuk bikin pemuda-pemuda yang niat poligami untuk berpikir dua kali.
Aku pribadi, walau tidak setuju pengharaman poligami dalam bentuk apapun, tidak setuju dengan poligami yang mayoritas dilakukan, termasuk yang dilakukan tokoh-tokoh di filmnya Nia ini.
Pandangan lengkapku tentang poligami:
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2006/03/little-though-about-polygamy-verse.html
Poligami = nafsu sex. munafik jika di bilang karena alasan A, B atau C kunjungi blog gw di http://wearefreethinks.blogspot.com/ kalau mau debat mengenai poligami. Tks
Post a Comment