Dulu pertamakali aku bertemu dengan dia, di Gedung ICMI, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Saat itu ia tengah sibuk menyiapkan makalah, yang judulnya tentang kegiatan terorisme di Indonesia. Tidak lebih kurang membahas tentang keterlibatan orang-orang di Indonesia dalam aksi terorisme.
Karena merasa perlu untuk mencari berita, aku berpikir kalau ia adalah orang yang tepat untuk dijadikan narasumber. Soalnya, jabatan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (KABAKIN), menunjukkan bahwa lelaki yang pernah memelihara jenggot putih itu mempunyai segudang informasi penting tentang aksi terorisme.
“Selamat siang pak, Wahyu dari Rakyat Merdeka, saya mau wawancara ada waktu sedikit,” Tanyaku kala itu.
Awalnya, aku berharap akan ada sedikit sambutan hangat darinya. Sayang, saat itu matanya justru terbelalak, seakan-akan terganggu dengan kehadiranku. Tak lama kemudian ia langsung bertanya. “Kamu mau Tanya apa?”
Mendengar pertanyaan tersebut, mulutku langsung sigap meluncurkan pertanyaan. “Begini pak. Sebenarnya Jamaah Islamiah itu ada gak sih?”
Lagi-lagi setelah pertanyaan itu keluar, aku berharap akan ada proses Tanya jawab yang hangat. Sayang, lagi-lagi khayalan itu buyar. Ia malah membentakku dan berkata. “Kamu ini wartawan apa bukan. Kamu sudah baca makalah saya. Kalau kamu mau tahu jawabannya baca dulu makalah saya baru Tanya. Ini belum baca apa-apa kamu sudah Tanya-tanya. Dasar wartawan sekarang semuanya pada sok tahu.”
Mendengar perkataan tersebut aku langsung terhenyak. Karena jujur aku belum pernah mengalami hal seperti itu. Karena tidak mendapatkan respon yang positif, akhirnya aku langsung pergi. Saat itu aku beranggapan, aku tidak terlalu butuh banget dia. “Emangnya dia aja apa yang bisa dibikin jadi berita,” dongkolku dalam hati.
Akhirnya, aku menyudahi pertanyaan tersebut dengan sedikit kalimat diplomatis. “Ok deh pak, saya baca dulu makalahnya nanti saya Tanya lagi,” kata saya.
Sejak saat itu, aku memang tetap mengingat peristiwa tersebut. Bahkan sejak saat itu aku merasa kesal jika bertemu dengannya. Bahkan kalau bertemu muka dalam suatu acara, aku tidak pernah mau sedikitpun mewawancarai dirinya. Pikirku, dasar kakek tua maunya dihormatin aja.
Terakhir, aku bertemu dengannya di depan Rutan Salemba. Kala itu ia bersama beberapa petinggi Partai Bulan Bintang seperti MS Kaban dan Hamdan Zoelva mengunjungi Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Kala itu banyak orang yang mewawancarai dirinya. Tapi aku tidak. Aku sudah mati hati bertemu dengan orang tersebut.
Saat itu memang selintas aku melihat ia dalam kondisi yang sangat berbeda ketika pertamakali bertemu. Ia sudah mencukur habis jenggot putihnya. Ia menggunakan tongkat. Kacamata hitam, menyembunyikan tatapan matanya yang dulu tegar bagai elang.
Sayang, saat itu aku khilaf tidak menangkap kekurangan tersebut. Ternyata, pria tua yang kemana-mana naik angkutan kota itu, (aku tahu ini karena pernah melihat ia berjalan dari Jalan Dipenogoro ke Kantor Kahmi di Jalan Sunda dekat Masjid Sunda Kelapa), sudah digerogoti banyak penyakit.
Kini, berita itu datang secara tiba-tiba, berita dari situs detikcom mengabarkan bahwa ia telah meninggal dunia. Pria gagah itu tidak bertahan lagi karena banyaknya penyakit yang ia derita. Sontak, aku langsung memberitahukan hal tersebut kepada teman-temanku. “Zik, mana Shomad, ZA Maulani meninggal dunia,” kataku kepada Zik.
Aku ingin memberitahu Shomad berita tersebut, karena ia pernah mengalami hal yang sama seperti aku rasakan.
Namun, saat itu lebih dari itu yang ingin aku sampaikan. Aku hanya ingin mengingatkan kepada teman-teman, saat ini biarlah Bapak kita ini pergi dengan tenang. Hapuskanlah semua kebencian yang pernah kita rasakan, dan ingatlah betapa gagahnya ia membela kaum sekawan, seperti yang pernah ia lakukan kepada Ustad Baasyir dan lain-lainnya.
Selamat jalan pejuang, maafkan saya yang pernah salah pikiran….
In Memoriam ZA Maulani (5 April 2005)…
No comments:
Post a Comment