Wednesday, February 16, 2005

We Need a Real Kick Once Again.

Jargon kick rasicm out of football sudah menggema hampir sembilan tahun. Pertama kali slogan itu dikenal menjelang perhelatan akbar piala dunia 1998 di Perancis. Perancis yang merupakan salah satu negara multi etnis mengampanyekan kalimat suci tersebut dalam setiap pertandingan akbar piala dunia.

Sayangnya, jargon tetaplah jargon. It's nothing but only a silent platform. Sudah sembilan tahun berlalu, rasisme di dunia sepakbola tetap terjadi. Simak perkataan Samuel Eto'o, Pemain Terbaik Afrika 2004, ketika menerima penghargaan tersebut. "Orang-orang membeli tiket untuk menonton monyet. Saya adalah aktornya dan mereka membeli untuk menonton saya."

Sebuah pernyataan satir yang membuat banyak orang terhenyak. Sepakbola yang katanya merupakan ajang olahraga tanpa batas itu ternyata menyimpan banyak pengalaman pahit bagi setiap kulit berwarna.

Kita tidak pernah lupa, bagaimana perasaan Ashley Cole, Sol Campbell, dan pemain hitam lainnya asal Inggris ketika bertanding melawan Spanyol di Spanyol. Suara-suara suporter Spanyol yang menirukan suara monyet sangatlah menusuk hati.

Kita juga teringat, bagaimana nasib Ahn Jung Hwan, ketika ia membela Perugia. Hanya karena golnya di Piala Dunia 2002, ia harus mengalami siksaan batin saat kembali ke negara Spaghetti tersebut. Masih banyak lagi pengalaman-pengalaman rasialis yang membuat nama sepakbola tercemar.

Yang jadi pertanyaan adalah, apakah slogan Kick Out Racism From Football masih relevan lagi? Nyatanya, rasialisme justru makin berkembang. Bahkan itu terjadi bukan hanya disengaja, tanpa disengaja pun rasisme telah terjadi. Contoh, tanpa sengaja Fotball Association (FA) Inggris, mengeluarkan sebuah DVD 20 Best England Player yang ternyata tidak satu pun ada orang berkulit hitam.

Yang kita perlukan saat ini adalah Tendangan yang benar-benar sebuah tendangan. Bukan tendangan slogan, tapi sebuah tendangan asli dari pemain sepakbola. Hal itu pernah dilakukan oleh seorang pemain Manchester United asal Perancis, Eric Cantona.

Eric Cantona memang menendang. Tapi ia tidak menendang bola, ia menendang suporter pemain lawan. Peristiwa yang terjadi tanggal 25 Januari 1995 itu pun langsung menghentakkan dunia. Korbannya, Matthew Simmons, suporter Chrystal Palace, dan seorang rasis.

Banyak orang yang menyayangkan peristiwa tersebut. Bagaimana mungkin, seorang pemain sepakbola sekelas Cantona melakukan sebuah tindakan yang sangat brutal kepada penonton. Kenapa Cantona menjadi buas dan tidak menjunjung tinggi sebuah etika bagi pemain sepakbola. Bahkan, karena ulahnya tersebut banyak orang yang menganggap Cantona bukanlah seorang pemain kelas dunia, ia pantasnya adalah seorang pemain tinju kelas berat.

Sayangnya, banyak orang tidak mengerti bahwa tendangan tersebut adalah sebuah tendangan yang berhasil merubah watak sepakbola dunia. Tendangan Kung Fu Cantona kepada Simmons bukanlah sebuah serangan melainkan sebuah statement nyata dari seorang pemain sepakbola. "Jangan ada lagi tindakan rasis yang dilakukan oleh seorang penonton sepakbola."

Cantona memang wajar tersinggung, Simmons telah merusak harga dirinya hanya karena dia merasa berhak. Hanya karena membayar uang 10 Poundsterling, bukan berarti setiap pemain sepakbola di lapangan adalah mainan dan milik mereka. Pemain sepakbola adalah manusia juga. Jadi begitu Simmons mengatakan "Fuck off back to France, you French motherfucker", Cantona pun terbang menendang.

Tak ada penyesalan di raut muka Cantona. Mukanya biasa, kerah leher bajunya pun tetap tegak berdiri. Yang pasti, ia tahu, jangan pernah sekali-kali merendahkan bangsa kami, mungkin pikirnya.

Setelah tendangan itu, adakah simpati bagi Cantona? Tidak, tidak ada seorang pun yang setuju dengan aksi pemain bernomor punggung 7 itu. Ia dihujat, bahkan seorang wartawan senior dari Guardian mengatakan bahwa tindakan Cantona adalah tidakan yang paling mengerikan dalam sejarah sepakbola Inggris.

Mereka lupa, bahwa Cantona jadi garang karena tindakan rasis Simmons. Dan ketika FA menyadari hal tersebut, mereka pun langsung bertanya-tanya, apakah tindakan Cantona ini memalukan. Memalukan bagi Cantona, FA, atau memalukan bagi suporter Ing gris?

Setelah mengetahui penyebab tendangan tersebut FA pun berbenah, masyarakat Inggris pun sadar, bahwa rasisme adalah penyakit bagi sepakbola. Rasisme membuat sepakbola menjadi tak berharga seolah-olah menjadikan pertandingan sepakbola adalah pertandingan puluhan binatang yang berebutan bola.

Sejak saat itu publik Inggris pun mulai meninggalkan jauh-jauh sikap rasis tersebut. Hal itu memang diakui oleh mantan Kapten Liverpool, John Barnes. Ia mengatakan bahwa 'It's very ironic that it took a white Frenchman to bring home to the nation the issue of racism in football.'

No comments: