Friday, November 25, 2005

Alexandria

Judul : Alexandria
Produksi : Rexinema
Sutradara : Ody C Harahap
Skrip : Salman Aristo
Pemain : Marcell Chandrawinata, Fachry Albar, Julie Estelle, Kinaryosih

Film ini menurut sang empunya skrip-Salman Aristo, berisi pesan moral bahwa jika kamu mencintai seseorang lebih baik diungkapkan daripada dipendem jadi sakit hati.

Anehnya, secara keseluruhan film yang disutradarai oleh Ody C Harahap ini justru menurut gue lebih banyak bercerita tentang seorang anak mami, Bagas-yang dimainkan oleh Marcel Chandrawintara, yang tengah jatuh cinta.

Film ini memang menggambarkan dengan baik, bagaimana seorang anak mami gagal dalam bercinta. Dia suka teriak-teriak, ngurung sendiri di kamar, enggak mau makan, dan nyaris bunuh diri.

Bagas yang pemalu jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis tetangga rumah bernama Alexandra (Julie Estelle). Sayang, Bagas si anak mami tidak punya keberanian untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Alexandra.

Sementara itu teman dekat Bagas, Rafi (Fachry Albar) seorang natural born playboy justru berhasil menggaet hati Alexandra. Caranya, melalui buku antropologi yang Bagas titipkan pada Rafi agar dikirim ke Alexandra. (peringatan nih kalau naksir cewek jangan pernah suruh temen lu ngirimin buku atau barang lainnya ke cewek yang elu taksir).

Dari buku itulah, cinta mulai bersemi di antara Rafi dan Alexandra. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah, tiba-tiba saja teror demi teror pun tiba-tiba datang.

Bukan itu saja sosok masa lalu dari hidup Rafi yang gelap, wanita yang pernah digrepe-grepe Rafi, Dira (Kinaryosih) hadir kembali minta tanggung jawab pria yang katanya mau S2 ilmu HUkum di Belanda. (Bayangin, siapa bilang playboy kelas kakap dan suka grepe cewek enggak punya masa depan?).

Dari cerita di atas, memang tidak ada hal baru yang ditawarkan dari film ini. Menonton Alexandria seperti kita melihat film-film lain yang pernah ada. Just another love story.

Film ini sama sekali tidak menghadirkan adegan-adegan baru yang lebih orisinil. Hampir semua adegan bisa kita tebak ke mana arahnya. Misal, ketika Alexandra sakit tiba-tiba dia menyebut nama Rafi, padahal yang ada di sampingnya adalah Bagas.

Dialog juga berjalan secara lucu, mungkin sang sutradara hendak memberikan kesan ringan pada film ini. Sayang, saking ringannya dia tidak memikirkan dialog-dialog yang justru tidak bisa diterima nalar. Misal, ketika Alexandra jatuh di bangsal dan palanya terantuk lantai. Si Rafi justru mengatakan bahwa yang luka bisa jadi lambungnya.

Film ini justru menurut gue tertolong atas kehadiran, Julie Estelle, wajahnya cukup enak untuk dinikmati selama film berlangsung. Ini mungkin selling point selain lagu-lagu Peterpan yang ada di setiap scene.

Tidak seperti film REXINEMA lainnya seperti Cinta Silver, atau Tusuk Jelangkung yang menghadirkan gambar-gambar indah. Film Alexandria justru gagal mengangkat ciri khas REXINEMA tersebut. Sang sutradara sendiri sering kali melakukan kesalahan. Yang paling sering terlihat adalah pengambilan gambar dari posisi yang selalu sama.

Kekurangan yang paling fatal adalah masalah sponsor. Ok deh kita tahu bahwa A Mild dan PRo XL adalah sponsor film ini. Tapi, Alexandria secara brutal mengubah film layar lebar jadi layaknya iklan berjalan. Hampir di semua bagian film ditemukan pesan-pesan sponsor. Mulai dari A Mild, hingga Pro XL. Menyebalkan, kita bayar Rp 25 ribu bukan untuk menikmati iklan rokok kan?

Terlebih dari semua itu, Alexandria memang tidak perlu membuat kita terlalu serius untuk menikmati film ini. Cukup duduk, tonton dan pulang. Lagian, this is just another love story.

PS: Sang sutradara mungkin mengibaratkan dirinya bak Martin Scorsese yang biasa nongol dalam setiap filmnya. Nah, kali ini Ody C Harahap juga ikut-ikutan nongol dalam film ini. Ibarat mau bikin tanda tangan di sebuah karya masterpiece, Ody tampil di bagian ujung film. (Tebak saja yang mana dia?)

1 comment:

Anonymous said...

MaRceL cHandRawiNata RoX oMg i coLLecT neaRLy aLL maGaziNes daT has HiM iN iT !!!