Tuesday, November 29, 2005
The Garage Days VS GARASI
Hari ini Miles Production, baru saja menggelar konferensi pers launching film berjudul GARASI. Seperti film-film Miles lainnya, gema GARASI sudah terasa di mana-mana jauh sebelum film itu premiere.
Spanduk besar GARASI memang membuat banyak orang jadi penasaran. Apalagi, Miles mempunyai nama yang cukup baik soal film. Tak heran, seperti film GIE banyak orang yang sudah berharap tinggi pada film ini.
Tapi, bukan itu yang jadi pembicaraan. Pemberian judul GARASI justru sangat menggelitik pikiran saya. Saya teringat dengan film yang saya tonton lama sekali berjudul The Garage Days.
Banyak faktor yang membuat saya tergelitik membandingkan GARASI dengan The Garage Days garapan Alex Proyas (The Crow dan I, Robot) itu. Pertama adalah plot cerita, grup band lokal yang berusaha menggapai mimipinya menjadi Rockstar. Kedua, faktor permasalahan pribadi yang melanda di antara personel band yang lebih mendominasi film tersebut.
Mungkin terlalu dini bagi saya menuduh Garasi tak lain dan tak kurang adalah proyek Miles mencontoh film The Garage Days. Apalagi, saya belum juga menonton secara keseluruhan film garapan Agung Sentausa itu.
Entah dengan GARASI, bagi saya film The Garage Days adalah salah satu film yang sangat berkesan. Alex Proyas dengan baik menggambarkan bahwa Rocker Juga Manusia.
Rocker bukanlah seorang manusia yang selalu akrab dengan gaya hidup sex, smoke and rock n roll. Rocker juga manusia yang punya masalah pribadi. Mereka bisa gagal bercinta, gagal dalam berkarir hingga sering dikekang orang tua.
Tersebutlah, empat orang anak muda Sydney yang membentuk sebuah band. Mereka adalah Freddy (Kick Gurry), Tanya (Pia Miranda), Drummer Lucy (Chris Sadrinna) dan Joe (Brett Stiller). Keempat anak muda ini bercita-cita menjadi rocker terkenal seperti AC/DC yang memang asalnya dari Australia.
Jangan berharap bahwa di film ini kita akan melihat lagu-lagu indah yang dihasilkan oleh keempat anak muda tersebut. Atau berharap betapa indahnya hidup mereka ketika akhirnya benar-benar menjadi terkenal.
Di film ini justru diperlihatkan bahwa menjadi seorang rocker itu tidak mudah. Proyas berhasil mengembangkan semua karakter yang ada dalam film tersebut. Di sini, Freddy terlihat frustasi dengan mimpinya menjadi terkenal, Tanya yang terjebak di tengah keinginan orang tuanya yang kaya raya agar meninggalkan dunia musik, Lucy yang terobsesi dengan self made narkoba, dan Joe yang mengalami gangguan psikis karena gangguan seksual.
Bukan itu saja, perselisihan di antara mereka pun kerap terjadi. Dalam film ini Freddy juga digambarkan jatuh cinta dengan pacar Joe, Kate. Yang uniknya, percintaan itu justru menyebabkan efek berantai dalam tubuh band. Tanya yang juga pacar Freddy kesal dan malah memilih berpacaran dengan Lucy, Joe yang merasa dikhianati Freddy dan Kate akhirnya gila dan masuk rumah sakit jiwa.
Dari atas kita lihat betapa jeniusnya Proyas mengolah jalan cerita. Meski banyak karakter, Proyas justru berhasil me-mixed mereka menjadi satu bangunan cerita.
Di lihat dari cerita di atas dan british style talking, saya memang langsung terbayang dengan sebuah film Danny Boyle berjudul Trainspotting. Oh my god, film ini memang sangat mirip dengan Trainspotting. But hey, this film is hell awesome anyway. Nggak papa sedikit mirip, yang penting hasilnya kreatif dan memuaskan.
Nah, sekarang mari kita lihat bagaimana ceritanya GARASI nanti? Sinemaindonesia sendiri mengatakan bahwa film ini adalah film yang layak ditunggu. Alasannya, skripnya ditulis oleh Prima Rusdi, penulis skrip Eliana, Eliana dan Ada Apa Dengan Cinta?
Monday, November 28, 2005
Dream Theater Batal Datang
Penggemar musik Indonesia kembali dibuat kecewa. Grup musik progressif metal, Dream Theater membatalkan rencana kunjungannya ke Jakarta tahun 2006 nanti. Alasannya, keamanan di Indonesia tidak kondusif karena maraknya aksi terror di Indonesia.
Berikut petikan beritanya dari ANTARA:
Dream Theater (DT) membatalkan rencanakonsernya di Indonesia lantaran adanya peringatan dari Kedutaan Besar AS di Jakarta, yang menyatakan kelompok teroris masih berencana menyerang sasaran dan kepentingan AS dan Eropa.
"Sampai situasi kembali normal, Dream Theatre tidak akan melakukan tur konser di Indonesia," demikian kutipan pernyataan dari manajemen kelompok musik metal progresif tersebut, Minggu.
Pernyataan itu juga merujuk pesan tertulis Kedubes AS di Jakarta dan Konsulat Jenderal AS di Surabaya, tertanggal 18 Nopember 2005, bahwa pemerintah Amerika Serikat mengingatkan kepada setiap warganya tentang masih berlanjutannya ancaman serius terhadap orang Amerika dan Eropa diIndonesia.
Pesan itu menyatakan peristiwa tewasnya Azahari Bin Husin pada 9 Nopember 2005 akibat penyerbuan oleh polisi memperlihatkan bahwa kelompok Jamaah Islamiyah (JI) sedang dalam rencana cukup matang untuk menyerang orang asing di Indonesia.
Ancaman serius itu antara lain terlihat dari ditemukannya 35 bom, baik yang masih disiapkan maupun yang siap digunakan, selain video tape seseorang yang wajahnya tertutup mengancam orang Amerika, Australia,Inggris dan Italia.
Kedubes AS dan pemerintah Indonesia memandang ancaman tersebut sebagai sangat serius.
Berdasarkan jadwal konser keliling dunianya, Dream Theatre direncanakan tampil di Istora Senayan Jakarta tanggal 29 Januari 2006.
Sebagai Die Hard fans Dream Theater, gue memang sangat kecewa dengan berita tersebut. Ini sudah kesekian kalinya konser-konser musik artis luar negeri di Indonesia batal secara tiba-tiba.
Sebelum Dream Theater, konser Michael Buble juga dibatalkan begitu saja. Yang paling kacau ketika penyanyi RNB, Missy Elliot berencana tampil di Jakarta.
Awalnya, memang ada keraguan bahwa Missy mau datang ke Jakarta, apalagi saat itu travel warning baru saja keluar. Namun, kala itu pihak manajemen Missy Elliot memastikan tetap akan datang. Sayang, janji tinggallah janji. Tiga hari menjelang konser, Missy membatalkan konser tersebut. Payah…
Kali ini Dream Theater yang batal datang. Gue enggak bisa membayangkan gimana muka para fans Dream Theater yang berencana tampil habis-habisan di konser tersebut. Sebab kesempatan ini termasuk kesempatan langka.
Gue enggak berlebihan, kesempatan kedua enggak akan datang dengan mudah. Apalagi, untuk band sekelas Dream Theater. Bisa jadi dalam sepuluh tahun ke depan mereka enggak akan punya rencana lagi untuk main di Jakarta.
Bayangan untuk hadir dalam konser tersebut memang sempat membayang di kepala gue. Gue sudah jadi fans Dream Theater sejak gue SMA, sejak album Images and Word keluar. Dari dulu ke dulu gue sudah membayangkan jika Dream Theater hadir gue akan yang paling depan. (apalagi sekarang, karena gue wartawan hiburan bisa jadi gue bakal dapat kesempatan meet and greet kalau mereka benar-benar datang)
Tidak heran penungguan gue selama ini bakal terjawab ketika mendengar berita Dream Theater bakal datang. Bayang-bayang itu semakin menguat ketika gue meliput acara di Manchester United Kafe.
Ternyata, The Miracle (band spesialis lagu-lagu Dream Theater) main di sana. Gue langsung kebayang, gimana rasanya yah kalau Dream Theater asli yang langsung main.
Dan bayangan itu ternyata hanya sekedar bayangan. Sama dengan ribuan penggemar Dream Theater lainnya yang ada di Indonesia, gue cuma bisa menghayal James Labrie, John Petrucci, Mike Portnoy, John Myung dan Jordan Rudess benar-benar datang ke Jakarta.
Sunday, November 27, 2005
Penghargaan Bagi Poster Designer
Piala Citra Buat Film Poster Designer?
Saturday, November 26, 2005
Semalam Dengan Sakurai
Universalitas Dewa dan Tetsuo Sakurai
Menurut Dhani lagu Down Up Beat adalah lagu yang sering ia bawakan bersama Dewa. “Makanya saya senang banget bisa tampil bareng lagi,” ucap Dhani.
Friday, November 25, 2005
Alexandria
Produksi : Rexinema
Sutradara : Ody C Harahap
Skrip : Salman Aristo
Pemain : Marcell Chandrawinata, Fachry Albar, Julie Estelle, Kinaryosih
Film ini menurut sang empunya skrip-Salman Aristo, berisi pesan moral bahwa jika kamu mencintai seseorang lebih baik diungkapkan daripada dipendem jadi sakit hati.
Anehnya, secara keseluruhan film yang disutradarai oleh Ody C Harahap ini justru menurut gue lebih banyak bercerita tentang seorang anak mami, Bagas-yang dimainkan oleh Marcel Chandrawintara, yang tengah jatuh cinta.
Film ini memang menggambarkan dengan baik, bagaimana seorang anak mami gagal dalam bercinta. Dia suka teriak-teriak, ngurung sendiri di kamar, enggak mau makan, dan nyaris bunuh diri.
Bagas yang pemalu jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis tetangga rumah bernama Alexandra (Julie Estelle). Sayang, Bagas si anak mami tidak punya keberanian untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Alexandra.
Sementara itu teman dekat Bagas, Rafi (Fachry Albar) seorang natural born playboy justru berhasil menggaet hati Alexandra. Caranya, melalui buku antropologi yang Bagas titipkan pada Rafi agar dikirim ke Alexandra. (peringatan nih kalau naksir cewek jangan pernah suruh temen lu ngirimin buku atau barang lainnya ke cewek yang elu taksir).
Dari buku itulah, cinta mulai bersemi di antara Rafi dan Alexandra. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah, tiba-tiba saja teror demi teror pun tiba-tiba datang.
Bukan itu saja sosok masa lalu dari hidup Rafi yang gelap, wanita yang pernah digrepe-grepe Rafi, Dira (Kinaryosih) hadir kembali minta tanggung jawab pria yang katanya mau S2 ilmu HUkum di Belanda. (Bayangin, siapa bilang playboy kelas kakap dan suka grepe cewek enggak punya masa depan?).
Dari cerita di atas, memang tidak ada hal baru yang ditawarkan dari film ini. Menonton Alexandria seperti kita melihat film-film lain yang pernah ada. Just another love story.
Film ini sama sekali tidak menghadirkan adegan-adegan baru yang lebih orisinil. Hampir semua adegan bisa kita tebak ke mana arahnya. Misal, ketika Alexandra sakit tiba-tiba dia menyebut nama Rafi, padahal yang ada di sampingnya adalah Bagas.
Dialog juga berjalan secara lucu, mungkin sang sutradara hendak memberikan kesan ringan pada film ini. Sayang, saking ringannya dia tidak memikirkan dialog-dialog yang justru tidak bisa diterima nalar. Misal, ketika Alexandra jatuh di bangsal dan palanya terantuk lantai. Si Rafi justru mengatakan bahwa yang luka bisa jadi lambungnya.
Film ini justru menurut gue tertolong atas kehadiran, Julie Estelle, wajahnya cukup enak untuk dinikmati selama film berlangsung. Ini mungkin selling point selain lagu-lagu Peterpan yang ada di setiap scene.
Tidak seperti film REXINEMA lainnya seperti Cinta Silver, atau Tusuk Jelangkung yang menghadirkan gambar-gambar indah. Film Alexandria justru gagal mengangkat ciri khas REXINEMA tersebut. Sang sutradara sendiri sering kali melakukan kesalahan. Yang paling sering terlihat adalah pengambilan gambar dari posisi yang selalu sama.
Kekurangan yang paling fatal adalah masalah sponsor. Ok deh kita tahu bahwa A Mild dan PRo XL adalah sponsor film ini. Tapi, Alexandria secara brutal mengubah film layar lebar jadi layaknya iklan berjalan. Hampir di semua bagian film ditemukan pesan-pesan sponsor. Mulai dari A Mild, hingga Pro XL. Menyebalkan, kita bayar Rp 25 ribu bukan untuk menikmati iklan rokok kan?
Terlebih dari semua itu, Alexandria memang tidak perlu membuat kita terlalu serius untuk menikmati film ini. Cukup duduk, tonton dan pulang. Lagian, this is just another love story.
PS: Sang sutradara mungkin mengibaratkan dirinya bak Martin Scorsese yang biasa nongol dalam setiap filmnya. Nah, kali ini Ody C Harahap juga ikut-ikutan nongol dalam film ini. Ibarat mau bikin tanda tangan di sebuah karya masterpiece, Ody tampil di bagian ujung film. (Tebak saja yang mana dia?)