Wednesday, June 01, 2005

Biarkan Kita Berjoget

Image hosted by Photobucket.com


Dulu, ketika zamannya Bang Haji Rhoma Irama pertama kali berjaya, musik dangdut dan joget sama-sama dianggap berbahaya. Musik dangdut dianggap berbahaya karena mampu menggeser popularitas musik pop yang kala itu sangat digandrungi oleh masyarakat.

Mereka takut tersaingi dengan popularitas dangdut yang menurut mereka lahir dari pinggiran kota. Musik dangdut dianggap haram, dan gaya berjoget mereka dianggap lahir dari gerakan setan.

Anggapan ini datang karena setiap ada panggung dangdut mentas, semua orang pada mabuk joget. Saking mabuknya, setiap acara dangdut biasa diakhiri dengan adu jotos antara sesama penonton. Makanya ada istilah yang berkembang di masyarakat, “Senggol dikit gaplok,”

Sampai sekarang fenomena joget dan adu jotos ini masih sering terjadi. Apalagi, kalau di desa-desa atau minimal di kampung-kampung Jakarta. Kalau mau bukti, datang saja ke stasiun televisi TVRI, Senin malam. Disitu seluruh warga Jakarta tumpah ruah menonton aksi joget penyanyi dangdut kesayangan mereka. Dan seperti biasa, ada adu jotos di sana.

Namun, derasnya kapitalisasi dunia musik juga terpaksa mengimbas ke musik dangdut. Demi kepentingan bisnis, musik dangdut yang dulunya lahir di jalanan langsung dianggap kumuh.

Menurut selera penanam modal, musik dangdut yang benar menurut kepentingan bisnis, adalah musik dangdut yang diselenggarakan di kafe-kafe. Yang nonton pada berdasi, dan berbaju seksi.

Goyang yang benar bukan lagi goyang dombret, goyang Karawang atau goyang mesra. Kini, gara-gara bisnis, goyang dangdut tak ubahnya jadi seperti nama barang di toko material, dapur dan lain sebagainya . Ada yang namanya goyang ngocok, goyang ngebor, goyang ngecor, goyang hula-hula, goyang heboh, dan entah nama apalagi.

Dan kita pun makin lama makin sulit untuk mendapatkan panggung dangdut yang benar. Stasiun televisi memang setiap minggu menyelenggarakan acara-acara dangdut. Namun, itu jauh berbeda dengan apa yang kita dapatkan dulu. Panggungnya kebesaran, artisnya bernyanyi terlalu jauh yang menyebabkan kita terpaksa menelan ludah karena melihat pantat bukan karena lagu.

Hijrahnya musik dangdut ke kafe-kafe, membuat kita sulit untuk menonton panggung dangdut. Akibatnya, begitu ada panggung dangdut di televisi, kita pun berebutan menonton. Kita pun semakin sulit untuk berjoget. Tak ada lagi senggolan karena keasyikan berjoget. Yang ada kita bersenggolan karena tak bisa memandang bodi seksi si penyanyi dangdut.

Kita butuh musik dangdut kita kembali pulang. Kita ingin semuanya bisa berdangdut dengan asyik, bukan karena body si penyanyi dangdut. Maka, izinkanlah kami berjoget seperti dua anak di dalam foto ini. Sebab, kita hanya tahu kalau dangdut itu adalah joget.

No comments: