Peringatan, Ngebut di Jalan Tidak Baik Buat Kesehatan. Asap ngepul bikin jelek muka dan nyenggol dikit bisa bikin orang celaka.
Setidak-tidaknya tulisan di atas ini pengen banget gue tulis gede-gede di jalan. Soalnya, gue sudah mulai merasa was-was jika berada di jalan-jalan Jakarta. Gila, jalanan bukan lagi tempat nyaman dan aman buat berkendara. Lengah sedikit bisa bikin kita celaka. Parahnya hal itu terjadi bkan hanya karena dari factor kita sendiri saja melainkan juga dari factor orang lain.
Entah kenapa, orang-orang di Jakarta sepertinya memang tergila-gila dengan kecepatan. Untuk membuktikan, coba sekali lihat pemberhentian lampu lalulintas. Begitu lampu warna hijau menyala semua kendaraan mulai dari motor dan mobil saling berpacu paling cepat.
Bukan hanya itu saja, di jalanan kosong mereka tidak segan-segan memacu kendaraan sampai batas maksimal. Ironisnya, di jalanan macet pun, banyak kendaraan khususnya sepeda motor gila-gilaan memacu gas mereka melibas setiap celah yang ada. Bukti nyata, hampir setiap hari gue mengalami senggolan dengan pengendara motor lainnya ketika melewati kawasan Jl Jendral Sudirman-Thamrin.
Oke, bisa saja orang lain mengatakan gue sendiri yang salah dalam mengendarai motor karena terlalu lambat atau lembek. Tapi, hello guys, kecepatan 50 kilometer apakah kurang cepat buat orang yang mengendarai motor di jalur sebelah kiri? (Sebagai bukti, gue udah pernah diserempet sebuah motor Mega Pro di depan Chase Plaza. Kala itu gue yang sedang jalan di sisi kiri tiba-tiba saja disodok karena ada celah sedikit antara gue dengan bahu jalan. Untuk diketahui, saat itu gue tidak jalan terlalu pelan karena 30 cm di depan gue ada motor gue juga)
Iseng-iseng gue pernah nanya sama teman gue, Indra mengenai kecepatan mengendarai motor. Gue nanya kepada dia, Dra lu naik motor paling normal berapa. Dia bilang kalau naik motor paling lambat 40 kilometer dan paling cepet 80 hingga 90 kilometer (ini hitungannya motor Supra Fit lho). Begitu gue bilang gue naik motor 50 kilometer dan paling cepat 60 kilometer dia justru ngakak. “Itu mah lambat amat,” kata dia yang langsung membuat gue terheran-heran.
Keisengan gue berlanjut di hari kemudian, gue nanya teman sekantor gue, Yanto, tentang kecepatannya mengendarai motor. Kali ini akhirnya ada yang setuju sama gue. Dia bilang 50 kilometer rata-rata kecepatan motornya dalam sehari. Setali tiga uang, dia juga mengeluhkan situasi jalan yang serba cepat dan membuat dia sering merasa khawatir jika naik motor.
Gue tidak pernah mengetahui apakah yang menjadi ketakutan gue ketika mengendarai motor di jalan-jalan Jakarta juga dirasakan oleh orang-orang lainnya. Apakah mereka merasa terancam dan khawatir jika tidak bisa pulang dengan badan mulus tanpa lecet satu pun.
Gue sadar tidaklah mungkin melarang seseorang untuk mengendarai motor/mobilnya dengan kencang. Mengendarai motor dengan kencang bisa jadi adalah hak individual manusia yang paling asasi (menurut mereka lho-bukan saya). Bahkan untuk meminta agar mereka mengkonsider keberadaan saya dan orang-orang lainnya yang merasa terancam, saya pun tidak berhak.
Sempat terlinta berbagai pikiran, agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan atau membangun jalur khusus bagi pengendara motor. Atau mungkin, meluaskan jalanan yang semakin lama semakin sempit karena jumlah kendaraan motor setiap tahun makin naik drastis.
Gue rasa itu solusi yang bisa menjawab semua keluhan gue diatas. Sebab, memilih untuk memacu kendaraan gue dengan cepat bukanlah pilihan yang baik. Atau mungkin gue harus naik angkutan umum saja? Yah, jika memang terus-terusan tidak nyaman mungkin ini pilihan terakhir yang memungkinkan.
No comments:
Post a Comment