Beginilah resiko kalau badan dan muka sudah lebih tua dibandingkan dengan umur. Ceritanya begini, Senin kemarin gue mendapatkan info bahwa Ketua PAMMI dan Raja Dangdut H. Rhoma Irama akan melakukan aksi demonstrasi. Kalau H. Rhoma demo itu sih biasa, tapi yang bikin luar biasa itu H. Rhoma akan berdemo di depan istana negara.
Wooow, dalam pikiran gue ini baru berita. Minimal masuk halaman 16 Berita Utama lah pikir gue.
Akhirnya, dengan semangat 45 gue langsung berangkat menuju istana. Satu dua tiga, gue sudah langsung menggas motor gue menuju istana.
Begitu sampai di istana, suasana masih kosong melompong. Tapi, penjagaan di sekitar Istana terlihat ketat. Menunjukkan bahwa ada aktivitas demo di sana. Tanpa pikir panjang gue langsung memarkirkan motor di depan halaman kosong samping papan gambar Presiden SBY.
Karena belum datang juga, akhirnya gue harus sabar menunggu. Untuk mengisi waktu gue makan lontong dan mencoba ngobrol-ngobrol dengan polisi yang ada di lokasi.
Nah disinilah letak kelucuannya, tiba-tiba saja seorang intel menyapa gue menanyakan kabar. “Mas, udah lama nggak muncul kemana aja,” katanya.
Gue yang memang nggak pernah ngelihat muka tuh orang Cuma bisa kebingungan. Tapi, nggak mau ngecewakan keramahannya, gue pun mencoba membalas. “Baik aja. Saya sudah pindah nih,” jawaban bloon itu pun meluncur dari mulut gue. Soalnya, pertama kali gue pikir dia itu wartawan karena memakai tali id card yang dililitkan ke lehernya.
Dapat jawaban yang aneh membuat dia juga tidak habis pikir. Dia sendiri mengatakan sering melihat muka gue di setiap demo yang ada di bundaran HI. Uniknya, dia malah tetap menyangka gue ini seorang intel.
Dugaannya makin menguat, karena gue bertegur sapa dengan seorang intel senior yang memang sering gue temuin di setiap demo. Kebetulan gue pernah akrab dengan dia karena dia sering nongkrong sama gue di KOmnas Ham.
Alhasil dia pun makin yakin kalau gue ini intel. Parahnya, lagi intel-intel yang nyebar di Istana pun pada berdatangan ke arah gue bertiga. Mau enggak mau akhirnya semua intel ngumpul di situ semua. Aduh mak pikir gue, semuanya pada salaman lagi sama gue. Nanya-nanya dikit gue dari mana.
Untungnya, ketika gue udah cengo tiba-tiba saja peserta demonstrasi berdatangan. Mau nggak mau para intel itu pun langsung bertugas kembali. Sementara gue Cuma bengong dan diem sambil mikir.
“Astaga gue ini apa benar-benar intel kali yah?”….
Monday, September 26, 2005
Tuesday, September 13, 2005
Ariel dan Detikcom
Akibat Ariel dan Detikcom
Tadi malam benar-benar gue dikerjain habis-habisan sama yang namanya Ariel Peterpan dan Detikcom. Begini ceritanya…
Jam 20.30 Gue masih lagi asyik nongkrong di warung Indomie depan kantor lama Graha Pena. Lagi asyik-asyiknya ngobrol dan ngerencanain mau kemana cari berita, tiba-tiba handphone Fren gue berbunyi. Gila, bos gue nelpon malam-malam pikir gue, pasti mendesak nih. Dan… terbuktilah dia memerintahkan gue untuk meluncur ke RS Haji Pondok Gede untuk memeriksa seorang pasien namanya. Tebak, namanya siapa? Yah pasti lah si mister sok tampan itu, Ariel Peterpan.
Konon (jangan dibalik jadi jorok soalnya), tabrakan di jalan tol Pondok Gede. Nah, karena perlu perawatan menurut situs detikhot yang ada detikcom, Ariel menurut sang sumber dirawat di RS Haji Pondok Gede.
20.45 Karena ini orderan dari bos, alhasil gue nggak bisa menolak. Apalagi, asisten redpel juga nelpon gue minta data selengkap-lengkapnya tentang kondisi terakhir sang pelantun lagu Ada Apa Denganmu ini. Akhirnya, bermodalkan supra fit yang masih ngredit ini akhirnya gue meluncur tanpa babibu. Nggak sempat ngejelasin semuanya kepada teman-teman nongkrong di warung indomie.
21.00 Perjalanan dari Kebayoran Lama-Pondok Gede hujan gerimis. Dalam hati, kalau bukan buat halaman satu udah gue lepas dari tadi nih berita. Gue juga sempat kepikiran untuk pura-pura keujanan agar perjalanan gue ke RS Haji Pondok Gede dibatalkan. Tapi semua pikiran itu langsung gue hilangkan, gila apa bisa-bisa gue kena SP nih kalau nggak dapat berita. (biasa SP itu ancaman dari atas buat bawahan yang nggak tahu diri dan nggak percaya diri)
21.30 Sampai juga ke RS Haji Pondok Gede, karena gue menduga Ariel berada dalam keadaan gawat darurat gue berpikir untuk melihat kondisi ruangan ICU. Setelah nanya sama tukang parkir dimana ruang ICU akhirnya gue menuju lantai dua tempat ruangan tersebut berada. Gila, ruangannya sepi amat. Dalam hati gue berpikir, kalau si Ariel nih udah gawat kok gak ada wartawan sih minimal infotainment lah yang kupingnya lebar-lebar itu. Namun, gue positif thinking, soalnya informasi dari detikcom, yah pasti valid lah.
21.37 Akhirnya gue sampai juga di ruang ICU. Pintu ternyata gak dikunci. Gue masuk slonong boy, pura-pura ada keluarga yang sakit (gue yakin kalau ngaku-ngaku cari Ariel Peterpan pasti bakal dihalang-halangi. Biasa birokrasi brur). Nah, karena gue lihat ruangan kosong semua akhirnya gue terpaksa nanya sama salah satu petugas yang menjaga ruangan tersebut. Eh, dianya malah kaget begitu pas gue ngomong nama Ariel. Dia bilang kagak ada, nah yang bikin gue curiga pas gue keluar pintu ruangan langsung dikunci sama dia. Dalam hati wah ada yang disimpen-simpen nih. (curigation ala wartawan mode on)
21.45 Karena gak ada akhirnya gue nanya bagian informasi. Dan belagak sok mendesak gue nanya. “Mas,maaf saya buru-buru saudara saya yang namanya Ariel dirawat di sini yah?” Penjaga dengan keluguannya. “Ariel, wah saya cari di daftarb dulu yah mas. (Sambil ketak-ketik di layar computer). Wah, ada Mas, di ruang Syifa Lantai 3 nomor 8,” katanya tersenyum. Nah, ini dia kan… bener juga.
22.00 Udah ngos-ngosan akhirnya gue nyampai juga di lantai 3. Begitu nyampai di ruangan aduh ada lagi bagian pendaftaran dan penerimaan. Lagi-lagi wajah sok butuh dan sok mendadakan gue pasang dan slonong boy masuk lagi. Baru mau masuk gue langsung ditanya satpam. “Mas mau kemana? Gue jawab aja “Mau jaga saudara pak.” Karena kemakan gaya bicara dan mungkin badan gue yang kayak bapak-bapak tuh satpam percaya aja. “Oh, ya udah nanti isi daftar yah mas kalau mau nginap. Nggak keluar-keluar lagi kan,” Tanya. Gue jawab aja iya dan nanti daftarnya gue isi.
22.15 Begitu masuk ruangan akhirnya gue pun nelongok tuh kamar 8. Beratnya semua kamar itu pintunya pada ditutup semua. Gila gimana cara gue ngelihat Ariel yah pikir gue. Masa gue langsung buka pintu dan bilang “Hi Ariel apa kabar lu men. Baik-baik aja kan.”
22.20 Karena mendesak dan gue nggak mau kena SP akhirnya gue langsung nekat. Gue buka tuh pelan-pelan pintu kamar. Gue kaget karena ruangan sepi banget, sementara itu ruangan dipenuhi dengan tirai. Mau nggak mau akhirnya gue sibak aja tuh tirai dan astaga naga. “Tidak……Tidak…..” Lha kok Ariel mukanya jadi kayak begini…. Bukannya ada pria yang kerap bau ketek karena pake kaos tanpa lengan eh di ruangan itu malah ada seorang pria yang gendutnya minta ampun.
22.30 Shock dengan penglihatan gue (no offence buat yang gendut) gue langsung turun ke lantai ke 1 bagian informasi. Dan langsung gue konfirmasi. “Mas, Ariel gimana nih. Kok bukan Ariel Peterpan..” . Si pemberi informasi malah kagak kalah kagetnya sama gue. “Lho bener kok mas di sini namanya Ariel. Tapi nama lengkapnya itu Ariel Tarigan pasien demam berdarah.” Gue malah langsung kaget dengan nama tersebut, gak salah dengar nih namanya, Ariel Tarigan. Kebodohan gue malah bertambah, karena gue sempat berpikir jangan-jangan si Ariel itu memang orang Batak. Lha kan dia penyanyi. (bodoh mode on Penyanyi = Batak = Ariel).
“Jangan-jangan nama lengkapnya Ariel Tarigan kali yah mas.” Si pemberi informasi malah ketawa. “Yah enggak lah mas, dia kan orang Bandung.”
22.45. Sial, akhirnya gue pulang setelah melaporkan semua peristiwa tersebut ke kantor. Dan akhirnya, setengah kesal gue Cuma bisa bengong. Sialan tuh Ariel bikin berita aja mulu. Dasar orang jelek…(cemburu mode on)
Tadi malam benar-benar gue dikerjain habis-habisan sama yang namanya Ariel Peterpan dan Detikcom. Begini ceritanya…
Jam 20.30 Gue masih lagi asyik nongkrong di warung Indomie depan kantor lama Graha Pena. Lagi asyik-asyiknya ngobrol dan ngerencanain mau kemana cari berita, tiba-tiba handphone Fren gue berbunyi. Gila, bos gue nelpon malam-malam pikir gue, pasti mendesak nih. Dan… terbuktilah dia memerintahkan gue untuk meluncur ke RS Haji Pondok Gede untuk memeriksa seorang pasien namanya. Tebak, namanya siapa? Yah pasti lah si mister sok tampan itu, Ariel Peterpan.
Konon (jangan dibalik jadi jorok soalnya), tabrakan di jalan tol Pondok Gede. Nah, karena perlu perawatan menurut situs detikhot yang ada detikcom, Ariel menurut sang sumber dirawat di RS Haji Pondok Gede.
20.45 Karena ini orderan dari bos, alhasil gue nggak bisa menolak. Apalagi, asisten redpel juga nelpon gue minta data selengkap-lengkapnya tentang kondisi terakhir sang pelantun lagu Ada Apa Denganmu ini. Akhirnya, bermodalkan supra fit yang masih ngredit ini akhirnya gue meluncur tanpa babibu. Nggak sempat ngejelasin semuanya kepada teman-teman nongkrong di warung indomie.
21.00 Perjalanan dari Kebayoran Lama-Pondok Gede hujan gerimis. Dalam hati, kalau bukan buat halaman satu udah gue lepas dari tadi nih berita. Gue juga sempat kepikiran untuk pura-pura keujanan agar perjalanan gue ke RS Haji Pondok Gede dibatalkan. Tapi semua pikiran itu langsung gue hilangkan, gila apa bisa-bisa gue kena SP nih kalau nggak dapat berita. (biasa SP itu ancaman dari atas buat bawahan yang nggak tahu diri dan nggak percaya diri)
21.30 Sampai juga ke RS Haji Pondok Gede, karena gue menduga Ariel berada dalam keadaan gawat darurat gue berpikir untuk melihat kondisi ruangan ICU. Setelah nanya sama tukang parkir dimana ruang ICU akhirnya gue menuju lantai dua tempat ruangan tersebut berada. Gila, ruangannya sepi amat. Dalam hati gue berpikir, kalau si Ariel nih udah gawat kok gak ada wartawan sih minimal infotainment lah yang kupingnya lebar-lebar itu. Namun, gue positif thinking, soalnya informasi dari detikcom, yah pasti valid lah.
21.37 Akhirnya gue sampai juga di ruang ICU. Pintu ternyata gak dikunci. Gue masuk slonong boy, pura-pura ada keluarga yang sakit (gue yakin kalau ngaku-ngaku cari Ariel Peterpan pasti bakal dihalang-halangi. Biasa birokrasi brur). Nah, karena gue lihat ruangan kosong semua akhirnya gue terpaksa nanya sama salah satu petugas yang menjaga ruangan tersebut. Eh, dianya malah kaget begitu pas gue ngomong nama Ariel. Dia bilang kagak ada, nah yang bikin gue curiga pas gue keluar pintu ruangan langsung dikunci sama dia. Dalam hati wah ada yang disimpen-simpen nih. (curigation ala wartawan mode on)
21.45 Karena gak ada akhirnya gue nanya bagian informasi. Dan belagak sok mendesak gue nanya. “Mas,maaf saya buru-buru saudara saya yang namanya Ariel dirawat di sini yah?” Penjaga dengan keluguannya. “Ariel, wah saya cari di daftarb dulu yah mas. (Sambil ketak-ketik di layar computer). Wah, ada Mas, di ruang Syifa Lantai 3 nomor 8,” katanya tersenyum. Nah, ini dia kan… bener juga.
22.00 Udah ngos-ngosan akhirnya gue nyampai juga di lantai 3. Begitu nyampai di ruangan aduh ada lagi bagian pendaftaran dan penerimaan. Lagi-lagi wajah sok butuh dan sok mendadakan gue pasang dan slonong boy masuk lagi. Baru mau masuk gue langsung ditanya satpam. “Mas mau kemana? Gue jawab aja “Mau jaga saudara pak.” Karena kemakan gaya bicara dan mungkin badan gue yang kayak bapak-bapak tuh satpam percaya aja. “Oh, ya udah nanti isi daftar yah mas kalau mau nginap. Nggak keluar-keluar lagi kan,” Tanya. Gue jawab aja iya dan nanti daftarnya gue isi.
22.15 Begitu masuk ruangan akhirnya gue pun nelongok tuh kamar 8. Beratnya semua kamar itu pintunya pada ditutup semua. Gila gimana cara gue ngelihat Ariel yah pikir gue. Masa gue langsung buka pintu dan bilang “Hi Ariel apa kabar lu men. Baik-baik aja kan.”
22.20 Karena mendesak dan gue nggak mau kena SP akhirnya gue langsung nekat. Gue buka tuh pelan-pelan pintu kamar. Gue kaget karena ruangan sepi banget, sementara itu ruangan dipenuhi dengan tirai. Mau nggak mau akhirnya gue sibak aja tuh tirai dan astaga naga. “Tidak……Tidak…..” Lha kok Ariel mukanya jadi kayak begini…. Bukannya ada pria yang kerap bau ketek karena pake kaos tanpa lengan eh di ruangan itu malah ada seorang pria yang gendutnya minta ampun.
22.30 Shock dengan penglihatan gue (no offence buat yang gendut) gue langsung turun ke lantai ke 1 bagian informasi. Dan langsung gue konfirmasi. “Mas, Ariel gimana nih. Kok bukan Ariel Peterpan..” . Si pemberi informasi malah kagak kalah kagetnya sama gue. “Lho bener kok mas di sini namanya Ariel. Tapi nama lengkapnya itu Ariel Tarigan pasien demam berdarah.” Gue malah langsung kaget dengan nama tersebut, gak salah dengar nih namanya, Ariel Tarigan. Kebodohan gue malah bertambah, karena gue sempat berpikir jangan-jangan si Ariel itu memang orang Batak. Lha kan dia penyanyi. (bodoh mode on Penyanyi = Batak = Ariel).
“Jangan-jangan nama lengkapnya Ariel Tarigan kali yah mas.” Si pemberi informasi malah ketawa. “Yah enggak lah mas, dia kan orang Bandung.”
22.45. Sial, akhirnya gue pulang setelah melaporkan semua peristiwa tersebut ke kantor. Dan akhirnya, setengah kesal gue Cuma bisa bengong. Sialan tuh Ariel bikin berita aja mulu. Dasar orang jelek…(cemburu mode on)
Wednesday, September 07, 2005
Getting Hit (2)
Peringatan, Ngebut di Jalan Tidak Baik Buat Kesehatan. Asap ngepul bikin jelek muka dan nyenggol dikit bisa bikin orang celaka.
Setidak-tidaknya tulisan di atas ini pengen banget gue tulis gede-gede di jalan. Soalnya, gue sudah mulai merasa was-was jika berada di jalan-jalan Jakarta. Gila, jalanan bukan lagi tempat nyaman dan aman buat berkendara. Lengah sedikit bisa bikin kita celaka. Parahnya hal itu terjadi bkan hanya karena dari factor kita sendiri saja melainkan juga dari factor orang lain.
Entah kenapa, orang-orang di Jakarta sepertinya memang tergila-gila dengan kecepatan. Untuk membuktikan, coba sekali lihat pemberhentian lampu lalulintas. Begitu lampu warna hijau menyala semua kendaraan mulai dari motor dan mobil saling berpacu paling cepat.
Bukan hanya itu saja, di jalanan kosong mereka tidak segan-segan memacu kendaraan sampai batas maksimal. Ironisnya, di jalanan macet pun, banyak kendaraan khususnya sepeda motor gila-gilaan memacu gas mereka melibas setiap celah yang ada. Bukti nyata, hampir setiap hari gue mengalami senggolan dengan pengendara motor lainnya ketika melewati kawasan Jl Jendral Sudirman-Thamrin.
Oke, bisa saja orang lain mengatakan gue sendiri yang salah dalam mengendarai motor karena terlalu lambat atau lembek. Tapi, hello guys, kecepatan 50 kilometer apakah kurang cepat buat orang yang mengendarai motor di jalur sebelah kiri? (Sebagai bukti, gue udah pernah diserempet sebuah motor Mega Pro di depan Chase Plaza. Kala itu gue yang sedang jalan di sisi kiri tiba-tiba saja disodok karena ada celah sedikit antara gue dengan bahu jalan. Untuk diketahui, saat itu gue tidak jalan terlalu pelan karena 30 cm di depan gue ada motor gue juga)
Iseng-iseng gue pernah nanya sama teman gue, Indra mengenai kecepatan mengendarai motor. Gue nanya kepada dia, Dra lu naik motor paling normal berapa. Dia bilang kalau naik motor paling lambat 40 kilometer dan paling cepet 80 hingga 90 kilometer (ini hitungannya motor Supra Fit lho). Begitu gue bilang gue naik motor 50 kilometer dan paling cepat 60 kilometer dia justru ngakak. “Itu mah lambat amat,” kata dia yang langsung membuat gue terheran-heran.
Keisengan gue berlanjut di hari kemudian, gue nanya teman sekantor gue, Yanto, tentang kecepatannya mengendarai motor. Kali ini akhirnya ada yang setuju sama gue. Dia bilang 50 kilometer rata-rata kecepatan motornya dalam sehari. Setali tiga uang, dia juga mengeluhkan situasi jalan yang serba cepat dan membuat dia sering merasa khawatir jika naik motor.
Gue tidak pernah mengetahui apakah yang menjadi ketakutan gue ketika mengendarai motor di jalan-jalan Jakarta juga dirasakan oleh orang-orang lainnya. Apakah mereka merasa terancam dan khawatir jika tidak bisa pulang dengan badan mulus tanpa lecet satu pun.
Gue sadar tidaklah mungkin melarang seseorang untuk mengendarai motor/mobilnya dengan kencang. Mengendarai motor dengan kencang bisa jadi adalah hak individual manusia yang paling asasi (menurut mereka lho-bukan saya). Bahkan untuk meminta agar mereka mengkonsider keberadaan saya dan orang-orang lainnya yang merasa terancam, saya pun tidak berhak.
Sempat terlinta berbagai pikiran, agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan atau membangun jalur khusus bagi pengendara motor. Atau mungkin, meluaskan jalanan yang semakin lama semakin sempit karena jumlah kendaraan motor setiap tahun makin naik drastis.
Gue rasa itu solusi yang bisa menjawab semua keluhan gue diatas. Sebab, memilih untuk memacu kendaraan gue dengan cepat bukanlah pilihan yang baik. Atau mungkin gue harus naik angkutan umum saja? Yah, jika memang terus-terusan tidak nyaman mungkin ini pilihan terakhir yang memungkinkan.
Setidak-tidaknya tulisan di atas ini pengen banget gue tulis gede-gede di jalan. Soalnya, gue sudah mulai merasa was-was jika berada di jalan-jalan Jakarta. Gila, jalanan bukan lagi tempat nyaman dan aman buat berkendara. Lengah sedikit bisa bikin kita celaka. Parahnya hal itu terjadi bkan hanya karena dari factor kita sendiri saja melainkan juga dari factor orang lain.
Entah kenapa, orang-orang di Jakarta sepertinya memang tergila-gila dengan kecepatan. Untuk membuktikan, coba sekali lihat pemberhentian lampu lalulintas. Begitu lampu warna hijau menyala semua kendaraan mulai dari motor dan mobil saling berpacu paling cepat.
Bukan hanya itu saja, di jalanan kosong mereka tidak segan-segan memacu kendaraan sampai batas maksimal. Ironisnya, di jalanan macet pun, banyak kendaraan khususnya sepeda motor gila-gilaan memacu gas mereka melibas setiap celah yang ada. Bukti nyata, hampir setiap hari gue mengalami senggolan dengan pengendara motor lainnya ketika melewati kawasan Jl Jendral Sudirman-Thamrin.
Oke, bisa saja orang lain mengatakan gue sendiri yang salah dalam mengendarai motor karena terlalu lambat atau lembek. Tapi, hello guys, kecepatan 50 kilometer apakah kurang cepat buat orang yang mengendarai motor di jalur sebelah kiri? (Sebagai bukti, gue udah pernah diserempet sebuah motor Mega Pro di depan Chase Plaza. Kala itu gue yang sedang jalan di sisi kiri tiba-tiba saja disodok karena ada celah sedikit antara gue dengan bahu jalan. Untuk diketahui, saat itu gue tidak jalan terlalu pelan karena 30 cm di depan gue ada motor gue juga)
Iseng-iseng gue pernah nanya sama teman gue, Indra mengenai kecepatan mengendarai motor. Gue nanya kepada dia, Dra lu naik motor paling normal berapa. Dia bilang kalau naik motor paling lambat 40 kilometer dan paling cepet 80 hingga 90 kilometer (ini hitungannya motor Supra Fit lho). Begitu gue bilang gue naik motor 50 kilometer dan paling cepat 60 kilometer dia justru ngakak. “Itu mah lambat amat,” kata dia yang langsung membuat gue terheran-heran.
Keisengan gue berlanjut di hari kemudian, gue nanya teman sekantor gue, Yanto, tentang kecepatannya mengendarai motor. Kali ini akhirnya ada yang setuju sama gue. Dia bilang 50 kilometer rata-rata kecepatan motornya dalam sehari. Setali tiga uang, dia juga mengeluhkan situasi jalan yang serba cepat dan membuat dia sering merasa khawatir jika naik motor.
Gue tidak pernah mengetahui apakah yang menjadi ketakutan gue ketika mengendarai motor di jalan-jalan Jakarta juga dirasakan oleh orang-orang lainnya. Apakah mereka merasa terancam dan khawatir jika tidak bisa pulang dengan badan mulus tanpa lecet satu pun.
Gue sadar tidaklah mungkin melarang seseorang untuk mengendarai motor/mobilnya dengan kencang. Mengendarai motor dengan kencang bisa jadi adalah hak individual manusia yang paling asasi (menurut mereka lho-bukan saya). Bahkan untuk meminta agar mereka mengkonsider keberadaan saya dan orang-orang lainnya yang merasa terancam, saya pun tidak berhak.
Sempat terlinta berbagai pikiran, agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan atau membangun jalur khusus bagi pengendara motor. Atau mungkin, meluaskan jalanan yang semakin lama semakin sempit karena jumlah kendaraan motor setiap tahun makin naik drastis.
Gue rasa itu solusi yang bisa menjawab semua keluhan gue diatas. Sebab, memilih untuk memacu kendaraan gue dengan cepat bukanlah pilihan yang baik. Atau mungkin gue harus naik angkutan umum saja? Yah, jika memang terus-terusan tidak nyaman mungkin ini pilihan terakhir yang memungkinkan.
Tuesday, September 06, 2005
Getting Hit
Pernah merasakan bagaimana rasanya ketabrak motor? Gue pernah, dan hal ini baru saja terjadi. Di depan kantor, sehabis makan siang gue ditabrak motor. Kejadiannya sangat cepat, dan tiba-tiba saja.
Begini ceritanya….
Dari dulu gue was-was dengan jalan yang ada di depan kantor gue. Jalan yang dua arah ini sering banget dilewati kendaraan dengan kecepatan tinggi. Apalagi jarak ruang pandang yang sempit karena terhalang pohon-pohon membuat pandangan mata jadi susah melihat motor atau mobil yang lewat.
Dan itulah hal yang persis terjadi sama gue. Gue menunggu mobil dari arah kiri untuk lewat, karena begitu yakin tadi gue sudah melihat arah kanan yang masih kosong melompong.
Begitu mau melangkah, tiba-tiba saja sebuah motor Honda supra berwarna hitam dari arah kanan langsung membunyikan klaksonnya. Belum sempat gue melihat, (tak bisa menghindar lagi) motor itu akhirnya menabrak gue.
Gue sempat limbung, badan motor mengenai sisi kanan badan gue. Uniknya, tangan kanan gue sempat memegang badan pengemudi motor yang menabrak gue.
Karena tahu sama-sama salah, gue cuma terdiam melihat dirinya. Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi, karena gue tahu gue dan dia juga salah. Gue sama sekali hilang konsentrasi saat menyeberang dan dia salah karena mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah gue enggak mengalami apa-apa. Nggak ada satu bagian badan pun yang mengalami luka parah. Alhamdulillah. Tak mau berpanjang-panjang akhirnya gue membiarkan dia pergi dan gue langsung masuk ke kantor.
Begitu di dalam lift kantor gue berpikir sepertinya hari ini memang bukan hari yang indah buat gue. Gue sudah merasa bakal terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada gue.
Begitu datang di kantor gue udah merasa malas dan bosan. Ketidaknyamanan ini berlanjut pada hilangnya konsentrasi gue. Tapi gue gak menyangka ketidaknyamanan gue bisa berujung seperti ini, hit by the motorcycle.
Begini ceritanya….
Dari dulu gue was-was dengan jalan yang ada di depan kantor gue. Jalan yang dua arah ini sering banget dilewati kendaraan dengan kecepatan tinggi. Apalagi jarak ruang pandang yang sempit karena terhalang pohon-pohon membuat pandangan mata jadi susah melihat motor atau mobil yang lewat.
Dan itulah hal yang persis terjadi sama gue. Gue menunggu mobil dari arah kiri untuk lewat, karena begitu yakin tadi gue sudah melihat arah kanan yang masih kosong melompong.
Begitu mau melangkah, tiba-tiba saja sebuah motor Honda supra berwarna hitam dari arah kanan langsung membunyikan klaksonnya. Belum sempat gue melihat, (tak bisa menghindar lagi) motor itu akhirnya menabrak gue.
Gue sempat limbung, badan motor mengenai sisi kanan badan gue. Uniknya, tangan kanan gue sempat memegang badan pengemudi motor yang menabrak gue.
Karena tahu sama-sama salah, gue cuma terdiam melihat dirinya. Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi, karena gue tahu gue dan dia juga salah. Gue sama sekali hilang konsentrasi saat menyeberang dan dia salah karena mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah gue enggak mengalami apa-apa. Nggak ada satu bagian badan pun yang mengalami luka parah. Alhamdulillah. Tak mau berpanjang-panjang akhirnya gue membiarkan dia pergi dan gue langsung masuk ke kantor.
Begitu di dalam lift kantor gue berpikir sepertinya hari ini memang bukan hari yang indah buat gue. Gue sudah merasa bakal terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada gue.
Begitu datang di kantor gue udah merasa malas dan bosan. Ketidaknyamanan ini berlanjut pada hilangnya konsentrasi gue. Tapi gue gak menyangka ketidaknyamanan gue bisa berujung seperti ini, hit by the motorcycle.
Subscribe to:
Posts (Atom)