Monday, June 27, 2005
Seperempat Abad
Aku memikirkan apa-apa saja yang pernah aku lakukan sebagai seorang Wahyu di dunia ini. Aku bertanya dan ingin mengetahui apakah jalan yang aku tempuh selama 25 tahun ini adalah jalan yang tepat menuju suatu tempat yang aku cita-citakan?
Saat ini aku cuma berharap, ke depan nanti aku harus bisa melakukan hal yang lebih baik lagi. Aku merasa sudah terlalu tua untuk berjalan di dunia ini.
Aku berdoa seperempat abad ini adalah langkah awal yang tepat agar aku bisa menjalani semua ini dengan baik. Aku memerlukan sebuah ikhtiar dalam hidup ini agar aku bisa menuju suatu tempat yang aku rasakan sebagai tempat kebahagiaan.
Sedikit banyak 25 tahun ini, aku sudah mengenal kebahagiaan yang telah diberikan keluargaku. Kini saatnya aku berusaha memberikan kebahagiaan yang harus aku berikan kepada mereka.
Wednesday, June 22, 2005
Berjuang?
Orang bijak banyak berkata, hidup adalah perjuangan. Sedikit banyak aku menangkap, bahwa tidak ada yang mudah di dalam hidup ini. Semuanya, harus diraih dengan cucuran keringat. Tidak ada makanan gratis di dunia fana ini, dan kita membayarnya dengan perjuangan kita.
Dimulai ketika kita lahir, kita belajar untuk bernapas dengan benar, kita berjuang dengan menangis keras agar kita tetap hidup. Begitu juga ketika kita dewasa, kita terus berjuang agar kita mapan, nyaman dan aman.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tak pernah berjuang? Atau kata lainnya sulit untuk berjuang? Jika memang sulit untuk itu, ada baiknya kita jangan pernah berhenti untuk mencoba berjuang.
Sunday, June 19, 2005
Bismillahirahmanirrahim
Gue telah meninggalkan satu bagian penting dalam sejarah hidup gue, dimana gue juga pernah mengenal satu kata yaitu kesuksesan.
Kali ini gue juga telah melangkah ke kantor baru gue di Menara Kebon Sirih. Satu minggu ini gue juga kembali melakukannya dari awal. Dan disinilah gue juga berusaha mengenal satu kata yaitu perjuangan.
Tak akan pernah ku lupakan semua yang pernah terjadi dalam kehidupan ini. Semua orang yang menyesal ketika aku pergi (ZHM, Kichan, Yanuar, Wawan, Etty, Yuni dkk), semua yang mendukung aku ketika aku berjuang kembali (Bapak, Mama, Vera dan seluruh keluargaku) dan semua orang yang berusaha mengenal aku untuk ada di sini.
Izinkan aku berucap , Bismillahirrahmanirrahim.
Wednesday, June 08, 2005
Mereka Yang Berseragam Coklat
Mobil dan motor kalian yang melintas justru membuat kami merasa ketakutan.
Jangan pernah hilang ingatan. Seragam kalian bukan hadir untuk kekuasaan.
Sial banget hari ini, lagi asyik-asyiknya naik motor tiba-tiba kok bisa aja mau nabrak mobil polisi. Bagaimana enggak mau nabrak, tiba-tiba saja Mobil KIA itu muncul dari belokan dengan kecepatan tinggi. Untung, gue masih sempat ngerem, kalau enggak bisa-bisa gue nabrak mobil itu. Kan lucu, ada wartawan yang nabrak mobil polisi.
Uniknya, bukannya minta maaf, tuh empat orang polisi malah langsung ngasih tampang teror ke gue. Si polisi berkumis, gemuk dan berkulit hitam langsung ngebuka kaca dan ngomong. "Ini bukan jalan lu Bego."
Ngelihat muka tuh polisi gue cuma senyum-senyum terpaksa aja. Dalam hati, gue cuma pikir, lah dia yang salah kok gue yang dibilang bego.
Ogah berpanjang-panjang masalah, gue langsung tancap gas. Ngapain ngurusin tuh polisi. Paling ujung-ujungnya dia nanya SIM, STNK, Pasal (504) dan Pasal (105).
Pasal 504 dan Pasal 105 itu kata temen gue adalah hal yang biasa dilakukan polisi kalau minta duit, Pasal 504 artinya Rp 50.000 sedangkan Pasal 105 itu artinya Rp 100.000. Jadi siapa saja yang kena tilang langsung saja ngomong, "Pasal 504 aja yah Pak."
Melihat pak polisi itu selintasan gue berpikir, kenapa sih mereka gak pernah membikin hati kita merasa nyaman. Bukankah tugas mereka sebagai polisi adalah membuat kita merasa aman dan nyaman. Kok gak jauh beda ama orang yang ia kejar-kejar tiap hari.
Jujur aja, waktu kecil dulu figur yang sangat gue suka adalah polisi. Baju coklat dan topi segi lima yang mereka kenakan membuat mereka terlihat sangat gagah. Bahkan pernah ketika gue pulang sekolah ada mobil polisi lewat, spontan gue langsung memberikan hormat. Dan gue ingat saat itu, polisi yang ada di dalam mobil itu juga memberikan hormatnya kepada gue. Mungkin, dia satu-satunya polisi yang menjawab mimpi gue. Polisi yang gagah, menghormati, memberikan rasa aman dan bertanggungjawab.
Monday, June 06, 2005
Kisah Sedih di Hari Minggu
Seandainya tidak ada hari Minggu, mungkin cerita Supriyono (38) tidak pernah menjadi Headline sebuah koran ibukota. Seandainya, biaya rumah sakit bisa gratis seperti yang dikatakan seorang SBY, cerita Supriyono dan anak bungsunya, Khairunnisa (3), tidak akan pernah terjadi.
Ah, seandainya biaya pemakaman dan harga kain kafan, semurah kita membeli kerupuk, tidak akan ada Khairunnisa-Khairunnisa lainnya disini. Seandainya, dan seandainya Supriyono tahu ini hanyalah mimpi tidur semalam, ia masih bisa mengajak Khairunnisa dan kakaknya, Muriski Saleh (6), jalan-jalan ke sebuah taman.
Minggu pagi (5/6) memang bukan hari yang indah bagi Supriyono. Setelah lelah mencari sampah seharian, di bawah kolong rel kereta api Cikini, Supriyono terbangun. Ada yang beda di pagi itu, Khairunnisa terlihat nyaman tidur di dalam gerobaknya. Namun, wajahnya yang memutih membuat Supriyono curiga. Ia pun berusaha membangunkan anak bungsunya itu.
Melihat anaknya terbujur kaku. Pikiran, Supriyono melayang, beberapa waktu lalu ia tak jadi membawa Khairunnisa ke rumah sakit. Padahal, saat itu Khairunnisa demam tinggi. Karena uang yang tersisa di kantong cuma Rp 5 ribu, Supriyono cuma berdoa agar anaknya sembuh sendiri. "Saya cuma sekali bawa Khairunnisa ke puskemas, Saya tak punya uang untuk berobat lagi. Saya memilung karud, gelas dan botol plastik. Penghasilan saya hanya Rp 10 ribu sehari. Saat itu uang saya tinggal Rp 5 ribu. Jika saya berobat, anak saya satu lagi mungkin tidak akan makan," pikir Supriyono.
Belum selesai pikirannya melayang. Supriyono kembali menangis. Duit di saku cuma Rp 6 ribu. Tak mungkin untu membeli kain kafan, menyewa ambulans dan biaya pemakaman. Sementara itu
Khaerunisa masih terbaring di gerobak.
Namun, kali ini ia tak mau mengecewakan anak gadisnya itu. "Bapak akan buat pemakaman seperti orang lainnya buatmu nak," ucap Supriyono dalam hati.
Ia pun langsung mengajak Muriski berjalan membawa gerobok berisi jenazah Khairunnisa ke Stasiun Tebet. Naik kereta api, Supriyono berniat menguburkan Khairunnisa di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.
Dengan bermodalkan sarung lusuh, Supriyono membungkus jenazah Khairunnisa. Dengan kaus warna putih yang biasa ia pakai, Supri menutupi kepala Khaerunnisa.
Namun, Kisah sedih Supriyono belum selesai disini. Begitu Supriyono masuk ke stasiun, orang-orang yang ada di stasiun langsung mengerubunginya. Ia dicurigai telah berbuat yang tidak-tidak pada Khairunnisa. Akhirnya, ia pun digelandang ke Polsek Tebet bersama anaknya Muriski.
Terpaksa Supriyono meladeni pertanyaan-pertanyaan aneh yang dilayangkan polisi. Ia tidak mengerti, kenapa polisi tidak ada yang bertanya apa yang dapat mereka bantu kepadanya. Seandainya mereka semua itu semua bisa membantu. Bukannya mengirimkan Supriyono ke RSCM.
Di RSCM cerita Supriyono dan Khairunnisa terus berlanjut. Dengan alasan otopsi, pihak RSCM mau menahan Khairunnisa. Mendengar itu, Supriyono marah, ia tidak mau anaknya dibelah-belah hanya untuk kepentingan medis. Ia pun ngotot membawa Khairunnisa keluar.
Hingga Pukul 16.00 WIB, Supriyono baru bisa mengeluarkan Khairunnisa. Lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans. Supri dan Muriski dan terpaksa berjalan kaki sambil menggendong jenazah Khairunnisa.
Sepanjang jalan, warga yang iba memberikan uang sekedarnya untuk ongkos perjalan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum dan makanan sebagai bekal Supri dan Muriski ke Bogor.
Hingga kini aku tidak pernah tahu, apakah Supri dan Muriski berhasil memakamkan ke Khairunnisa ke Bogor. Masih berlanjutkah kisah sedih ini? Jujur, aku tak mau cerita ini bersambung , baik bagi Supri atau ribuan orang-orang miskin lainnya yang ada di sini. Cukup sudah Khairunnisa, jangan ada yang lainnya.
Wednesday, June 01, 2005
Biarkan Kita Berjoget
Dulu, ketika zamannya Bang Haji Rhoma Irama pertama kali berjaya, musik dangdut dan joget sama-sama dianggap berbahaya. Musik dangdut dianggap berbahaya karena mampu menggeser popularitas musik pop yang kala itu sangat digandrungi oleh masyarakat.
Mereka takut tersaingi dengan popularitas dangdut yang menurut mereka lahir dari pinggiran kota. Musik dangdut dianggap haram, dan gaya berjoget mereka dianggap lahir dari gerakan setan.
Anggapan ini datang karena setiap ada panggung dangdut mentas, semua orang pada mabuk joget. Saking mabuknya, setiap acara dangdut biasa diakhiri dengan adu jotos antara sesama penonton. Makanya ada istilah yang berkembang di masyarakat, “Senggol dikit gaplok,”
Sampai sekarang fenomena joget dan adu jotos ini masih sering terjadi. Apalagi, kalau di desa-desa atau minimal di kampung-kampung Jakarta. Kalau mau bukti, datang saja ke stasiun televisi TVRI, Senin malam. Disitu seluruh warga Jakarta tumpah ruah menonton aksi joget penyanyi dangdut kesayangan mereka. Dan seperti biasa, ada adu jotos di sana.
Namun, derasnya kapitalisasi dunia musik juga terpaksa mengimbas ke musik dangdut. Demi kepentingan bisnis, musik dangdut yang dulunya lahir di jalanan langsung dianggap kumuh.
Menurut selera penanam modal, musik dangdut yang benar menurut kepentingan bisnis, adalah musik dangdut yang diselenggarakan di kafe-kafe. Yang nonton pada berdasi, dan berbaju seksi.
Goyang yang benar bukan lagi goyang dombret, goyang Karawang atau goyang mesra. Kini, gara-gara bisnis, goyang dangdut tak ubahnya jadi seperti nama barang di toko material, dapur dan lain sebagainya . Ada yang namanya goyang ngocok, goyang ngebor, goyang ngecor, goyang hula-hula, goyang heboh, dan entah nama apalagi.
Dan kita pun makin lama makin sulit untuk mendapatkan panggung dangdut yang benar. Stasiun televisi memang setiap minggu menyelenggarakan acara-acara dangdut. Namun, itu jauh berbeda dengan apa yang kita dapatkan dulu. Panggungnya kebesaran, artisnya bernyanyi terlalu jauh yang menyebabkan kita terpaksa menelan ludah karena melihat pantat bukan karena lagu.
Hijrahnya musik dangdut ke kafe-kafe, membuat kita sulit untuk menonton panggung dangdut. Akibatnya, begitu ada panggung dangdut di televisi, kita pun berebutan menonton. Kita pun semakin sulit untuk berjoget. Tak ada lagi senggolan karena keasyikan berjoget. Yang ada kita bersenggolan karena tak bisa memandang bodi seksi si penyanyi dangdut.