Tragedi gempa dan tsunami di Aceh menjadi headline setiap koran hari ini. Aceh kembali menjadi pusat perhatian nasional. Sekali lagi masalah tidak pernah pergi dari Aceh. Mulai dari masa pengoperasian DOM di era Soeharto, darurat militer melawan GAM, kini gempa jadi senjata pamungkas memporak-porandakan Aceh.
Derita itu mungkin memang tidak akan berakhir. Di depan mata masyarakat Aceh sudah terbentang tugas-tugas besar. Membangun kembali kampung halaman mereka yang tercinta.
Semua teman-teman wartawan hari ini juga berangkat ke Aceh. Daerah di ujung Sumatera itu memang selalu memberikan kesan yang sangat romantis bagi siapa saja. Temanku dari Detikcom, Rizal Maslan malah mengakui dia sangat ingin kembali ke Aceh. Kali ini dia memang tidak dapat giliran ke Aceh, tapi dia mungkin beruntung. Sebab kondisi kali ini sangat jauh lebih parah dibandingkan masa darurat militer.
Wartawan koran gue, Ahmad Yani juga berangkat ke sana. Dia berangkat hari ini bersama rombongan Pemda DKI Jakarta. Dijadwalkan, dia akan tinggal selama tiga hari di Aceh. Sesaat mendengar keinginannya untuk pergi, aku terbayangkan suasana yang kacau balau di Aceh. Listrik yang padam, air minum yang terbatas, dan sarana transportasi yang terbatas. Bahkan tidak ada hotel di Aceh. Dipastikan Yani akan mengalami lingkungan baru yang sangat keras disana.
Tapi aku sangat mendukungnya. Pergi ke Aceh adalah salah satu pengalaman dalam hidupku yang aku inginkan. Walaupun aku belum pernah menjejakkan kaki di tanah Rencong itu, pikiranku selalu ada disana.
No comments:
Post a Comment