Sunday, May 28, 2006

They Cut Da Vinci

Photobucket - Video and Image Hosting

M:i:III The Da Vinci Code dan X Men The Last Stand

Tiga buah blockbuster movie Hollywood, X Men, MI3 dan The Da Vinci Code sepertinya jadi virus yang sangat ganas di bulan ini. Lihat saja, di setiap blog yang ada semuanya membicarakan ketiga film tersebut.

Kalau tidak bicara MI3, tentu orang akan bicara tentang heboh kontroversi The Da Vinci Code. Belum selesai gegap gempita The Da Vinci Code, kini kita sudah langsung disuapi dengan hebatnya ketajaman kuku Wolverine dalam film X-Men The Last Stand.

Jujur, saya sudah menonton ketiga film tersebut. Ini sangat jarang saya lakukan. Biasanya saya cukup selektif untuk menonton film-film Hollywood. Paling banter saya sering menonton film-film produk impor itu melalui DVD.

Hanya saja, bulan ini sepertinya berbeda. Didukung teman-teman seperti Ono dan Udin, saya lebih banyak menghabiskan uang untuk menonton ketiga film tersebut.

Setelah cukup lama tidak nonton film Hollywood, saya memang sepertinya sangat terkesima dengan ketiga film tersebut. Tapi kalau disuruh untuk menentukan list siapa yang terbaik, berikut urutannya;

  1. X Men The Last Stand
  2. M:i:III
  3. The Da Vinci Code


Kenapa saya menaruh X Men dalam posisi yang pertama, sebenarnya simple saja. The Last Stand adalah film X Men yang pertama kalinya saya tonton. Saya enggak bohong, dua film X Men, sebelumnya saya sama sekali enggak pernah menyentuhnya.Kalau pun nonton, itu hanya sekedar curi-curi pandang ketika teman menontonnya lewat VCD di rumahnya.

Banyak hal yang membuat saya merasa film The Last Stand sangat spesial. Film yang disutradarai Bret Rattner ini mampu mencuri perhatian saya dengan formula yang sangat unik.

Berbeda dengan film-film superhero lainnya, The Last Stand justru membolak-balikkan semua konsep superhero yang telah mapan yakni apakah kejahatan itu selalu hitam atau sebaliknya, Hero always Win, Hero always Good, and Hero Always Last Forever.

Di film ini premis tersebut sama sekali tidak ada. Penulis scenario Zak Penn dan Simon Kinberg sepertinya tahu penonton tidak butuh pahlawan yang benar-benar pahlawan, anti peluru dan tak pernah berdarah. Dan siapa kah yang berhak menentukan putih atau hitamnya seseorang.

Hasil kolaborasi mereka berdua memang berhasil membuat tokoh superhero X Men adalah rekaan semata. Kerja keras mereka membuat tokoh-tokoh yang ada di film tersebut seperti sangat dekat dalam kehidupan kita.

Mereka bisa saling cemburu karena mencintai orang yang sama. Mereka bisa berbalik arah dan salah membuat pilihan.

Permainan efek dan action memang tidak terlalu membuat saya berdecak kagum. Kekurangan itu justru berhasil ditutupi oleh Bret Rattner dengan permainan emosi yang ada dalam setiap adegan action tersebut. Siapa yang tidak menangis ketika Wolverine harus memutuskan untuk membunuh orang yang sangat ia cintai, atau ketika Mystigue merasakan keputusasaan yang sangat dalam ketika ia menjadi orang biasa.

Sayang, Zak Penn, Kinbeg dan Ratnner sepertinya terburu-buru dalam menghadirkan semua tokoh baru dalam film ini. Kehadiran sosok-sosok X Men newbie sangat terasa bahwa mereka adalah penerus X Men selanjutnya. Entah yah, bisa jadi benar atau tidak mengingat saya belum pernah menonton apalagi membaca komik X Men.

Lalu bagaimana dengan The Da Vinci Code? Kok bisa saya menempatkan film yang diadaptasi dari novel terheboh di dunia itu di bawah proyek narsis Mr. Tom Cruise.

Mudah saja, saya benar-benar terhibur dengan breath tacking action Mr. Cruise, ketimbang mati penasaran karena tidak berhasil menemukan sensasi yang sama seperti ketika saya membaca The Da Vinci Code.

Kelebihan dari JJ Abrams, ketimbang Ron Howard adalah kemampuannya dalam memberikan jiwa dalam film tersebut. Tidak heran kalau JJ Abrams justru menyuruh Ethan Hunt menikah agar film tersebut bisa jadi menarik.

Lalu, apakah The Da Vinci Code sama sekali tidak berjiwa? Sepertinya iya, saya sama sekali tidak merasakan bagaimana Robert Langdon itu. Semua tokoh yang ada dalam film Ron Howard itu tidak ubahnya seperti wayang kulit yang tengah beraksi.

Kelebihan buku The Da Vinci Code menurut saya terletak pada tiga faktor, yakni kontroversi, adventure, dan detil. Dalam bukunya Dan Brown berhasil mengemas ketiga faktor tersebut menjadi sebuah buku yang sangat menarik di baca.

Ketika membaca buku kita seolah diajak berjalan-jalan dalam setiap petualangan Langdong memecahkan kode-kode yang diberikan Saunierre. Dalam setiap aksinya, Dan Brown selalu menjelaskan kontroversi yang tersembunyi dalam setiap misteri. Dan semua itu dijelaskan secara detil oleh Ron Howard.

Nah ini yang sama sekali tidak tersentuh dalam tayangan berdurasi 149 menit itu. Ketiga faktor itu justru baru saya rasakan ketika Leig Teabing, Langdon dan Sophie berdiskusi soal lukisan The Last Supper. Sisanya, sama sekali tidak ada yang membuat saya berdecak penuh kekaguman.

Jujur, waktu itu saya sebenarnya ketika Da Vinci Code diputar saya diserang oleh Hasrat Ingin Vivis yang sangat kencang. Namun, saya enggan untuk pergi ke belakang karena takut akan kehilangan momen-momen ajaib yang pernah diberikan oleh Dan Brown. Sayang, pengorbanan itu sepertinya tidak setimpal buat saya. Saya pulang dalam keadaan hampa.

Berbeda dengan saya, teman saya Ono justru merasa terhibur dengan film ini. Saya memang tidak bisa menyalahkan, toh ini juga masalah selera.

Yang pasti saya sendiri benar-benar kaget luar biasa ketika membaca kabar Sony Entertainment berencana mengajak Ron Howard untuk menggarap buku lain Dan Brown,Angels and Demons. Wah, saya enggak tahu apa lagi yang saya lakukan nanti jika film ini keluar.

1 comment:

Bunda RaRa said...

mirip kekecewaan g wkt nonton LOTR, beda banget ama khayalan g pas baca buku ..jadinya yah rada kuciwa deh