Tuesday, May 30, 2006

Senjata Api

Mampang pukul 13.00 WIB terasa sangat panas. Hujaman terik matahari bahkan membuat beberapa anak Punk yang terbiasa nongkrong di pinggir jalan justru lebih memilih untuk meneduh di bawah halte depan Wisma Mampang.

Siang itu semua orang memang lebih memilih berteduh ketimbang harus berpanas-panasan di jalan Mampang yang terkenal akan kemacetannya itu. Namun, hal itu tidak berlaku bagi seorang pria berbadan tegap berkumis tipis dan mengendarai mobil Xenia berwarna hitam.

Entah apa yang terjadi, pria itu sepertinya tengah berdebat dengan seorang anak SMA. Dari raut mukanya, pria itu seakan menahan kesal yang sangat dalam. Sementara itu sang anak SMA justru seakan-akan tidak peduli dengan kekesalan yang tengah diidap pria tersebut.

Ketika kegusarannya memuncak, dalam hitungan detik, bak gunung meletus tiba-tiba, pria itu langsung membungkukkan badannya. Bukan karena lelah, ternyata pria tersebut membungkuk karena ingin mengambil sebuah pistol yang ia sembunyikan dalam kaos kakinya.

Tanpa ragu pria tersebut langsung menodongkan pistol tersebut ke arah mukanya. Sontak, anak SMA yang tadinya pongah itu langsung kehilangan nyali. Moncong pistol ternyata berhasil membuat si anak tak perlu berpikir panjang lagi untuk meladeni kemarahan sang pria.

Daripada mati berkalang tanah, si Anak SMA langsung melarikan diri. Entah sadar atau tidak, pria berpistol itu justru tidak mengurungkan niatnya untuk menyudahi pertikaian tersebut.

Entah karena bersemangat punya pistol, atau karena kemarahannya sudah di ubun-ubun pria tersebut justru langsung mengejar si anak. Hanya saja untuk mencegah perhatian orang yang berlalu lalang, pria tersebut membalikkan moncong pistolnya.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika saja tukang-tukang parkir yang ada di samping Wisma Mampang tidak berusaha menghentikan langkah kaki si pria berpistol tersebut.

Saya yang hanya kebetulan lewat hanya bisa melihat muka si pria tersebut. Dari mukanya saya yakin, dia memang benar-benar kesal. Tapi, punya pistol bukan berarti dia punya hak untuk berkuasa di atas orang lain.

Peristiwa itu memang membuat saya semakin yakin bahwa jalan-jalan di Jakarta adalah jalan-jalan yang paling kejam yang pernah saya jalani. Selain terjangan pelaku kriminalitas, saya sadar bahwa saya juga harus waspada dengan pengguna jalan lainnya. Khususnya yang mempunyai senjata.

Saya memang takut, dan sebenarnya saya pantas takut. Sebab, saya yakin bukan pria berbadan tegap mengendarai Xenia itu saja yang punya pistol. Saya yakin hampir setengah pengendara mobil di Jakarta mempunyai senjata api.

Senjata api di Jakarta memang bukan barang aneh lagi. Beberapa waktu lalu koran saya sempat memunculkan berita yang mengatakan saat ini jumlah senjata api yang beredar di Jakarta sudah sampai pada tingkat yang memrihatinkan. Bahkan menurut berita tersebut, dikatakan banyak senjata api yang justru dimiliki secara illegal.

Melihat tingginya kriminalitas di jalan, memang sangat wajar jika banyak orang melengkapi dirinya dengan senjata api. Hanya saja yang harusnya bisa dihindari adalah timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang ada karena kepemilikan senjata tersebut. Misalkan, sewenang-wenang terhadap orang lain dengan menggunakan senjata.

Secara psikologis memegang senjata api memang memberikan rasa aman. Hanya saja pada di saat yang bersamaan mempunyai senjata api justru akan membuat seseorang merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. Contoh kasus apa yang saya lihat kemarin.

Saya sendiri tidak tahu apakah memiliki senjata api itu sangat mudah atau tidak? Hanya saja mengingat latar belakang masyarakat Indonesia apalagi Jakarta yang demen show off, sepertinya memang perlu ada aturan khusus yang sangat ketat untuk mengatur masalah pemilikan senjata api.

Atau mungkin yang lebih tepat dilakukan adalah menghindari untuk berseteru dengan seorang yang bersenjata api. Sedangkan bagi yang sudah mempunyai senjata api, sebaiknya sadar untuk tidak menggunakan senjata api dengan sewenang-wenang.

No comments: