Tuesday, December 17, 2013

Selamat Tidur, Kawan


Pernahkah anda datang ke Rumah Sakit Dharmais? Setahun yang lalu, saya mengantar ibu saya ke rumah sakit yang ada di kawasan Slipi tersebut.

Ibu saya terkena penyakit kanker rahim stadium 4 dan perlu segera dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun hari itu saya tidak berhasil mendapatkan satu ruang pun buat ibu saya.

Di antara setiap tingkat yang ada di gedung rumah sakit tersebur tidak satu pun tersisa ruangan yang bisa dibagi untuk ibu saya. Berkali-kali saya bertanya kepada perawat yang menjaga ruangan pendaftaran apakah masih ada ruangan buat ibu saya. Di antara ratusan tumpukan map-map di depan mukanya, perawat tersebut cuma terdiam terpaku.

Ya, saya tahu sepertinya tumpukan map yang dia pegang seperti sudah dapat banyak  berbicara. Rumah sakit ini sudah banjir dengan pasien kanker. 


Dan itu  saya buktikan ketika hendak pergi mencari rumah sakit lain buat ibu saya, para pasien tersebut datang silih berganti. Dengan berbagai penyakit kanker yang tidak sama mereka menatap dunia dengan cara yang sama, kosong dan hampa.

Setahun setelah dari Dharmais, Mama saya meninggal dunia tak lama kemudian. Mama tak bisa bertahan dari kanker rahim stadium 4. Kami sekeluarga pun menjadi yatim piatu, karena setahun sebelumnya Papah juga meninggal dunia.

Saya semakin terbiasa dengan rumah sakit Dharmais, setelah teman baik saya menderita kanker serviks. Ketika datang ke Dharmais, dokter memvonis kankernya masih stadium 3. Dia menyayangkan teman saya yang tidak tanggap ketika sering mengalami keputihan dan pendarahan.

"Seandainya masih stadium 1 dan rahimnya diangkat, mungkin keadaannya akan jauh lebih baik," terang dokter tersebut waktu itu.

Nasi sudah menjadi bubur. Teman saya waktu itu memang lebih memilih menjalani terapi alternatif. Dia tidak ingin rahimnya diangkat dan kehilangan kesempatan mendapatkan anak.

Sayangnya, terapi alternatif tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Kanker terus-terusan menggerogoti tubuhnya. Kondisi kanker yang semulai berada di stadium 3 pun meningkat menjadi stadium 4. Tubuhnya pun habis dimakan kanker yang tersisa tinggal tulang.

Seperti ibu saya, dia pun sudah sulit berjalan. Sakit yang memakan tubuhnya membuat dia sulit tidur. Bahkan untuk memejamkan mata dengan lelap barang 5 menit sulit dilakukan. Setiap detik seluruh badannya terasa panas dan seperti ditusuk-tusuk jarum.

Saya memang tidak bisa merasakan rasa sakitnya. Tapi selama satu tahun saya menemani Mama, saya bisa merasakan betapa rasa sakit tersebut tidak hanya mampu menggerogoti tubuh tapi juga semangat hidup.

Setiap hari dia harus melawan rasa sakit yang disebabkan kanker. Di saat kita mengeluh akan hari yang tiba-tiba  menyebalkan, dia setiap hari harus berusaha tersenyum dengan penderitaan.

Malam ini, kanker akhirnya berhasil menaklukkan teman saya. Dia meninggal tepat setelah adzan maghrib. Entahlah, apakah ini sebuah tanda yang baik atau tidak, saya tidak ingin berspekulasi. Yang saya tahu dia banyak berbuat baik untuk saya dan istri saya. Dan Yang Maha Kuasa menganugerahi segala kebaikan tersebut dengan sebuah penyakit yang dinamakan kanker.

Di malam ini, teman saya meninggal karena kanker di usia 35. Sangat muda memang. Sangat muda ketika dia masih memiliki cita-cita yang jauh terbentang. Namun hidup seseorang bukanlah diukur dari panjang pendek usia.

Apalah arti hari esok, jika tidak mampu memberikan manfaat bagi sesama. Terima kasih kawan, terima kasih atas segala kenangan dan kebaikan yang kita ukir bersama. Selamat jalan, lelaplah dalam pelukan Yang Maha Kuasa.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

1 comment:

enhas note said...

semoga amal dan ibadahnya diterima oleh yang Maha Kuasa. Aamiin.