Friday, July 15, 2016

Cinta Itu Tidak Mau Menunggu

Karena cinta sebagian orang bisa bercerita. Sebagian dari mereka ada yang mencoba melukiskannya. Ada juga yang mencoba menuangkannya dalam nada. Dari nada-nada tersebut terciptalah sebuah lagu. Ada yang menyenandungkannya seorang diri, ada juga yang mencoba menyanyikannya bersama-sama.

Setelah menonton film Sing Street, saya tiba-tiba saja  terkenang masa-masa saya di sebuah SMA di kawasan Jakarta Barat. Saat masa-masa sekolah menengah atas dulu, saya memiliki seorang teman yang sangat mirip dengan tokoh utama di film ini Cosmo.

Jika di Sing Street, Cosmo banyak menciptakan lagu untuk seorang gadis yang lebih dewasa dari dia, teman saya justru sebaliknya. Dia begitu mencintai seorang adik kelas perempuan yang ada di bawahnya.Seperti Cosmo, dia begitu mencintai gadis itu. Sampai sampai tiada waktu yang terlewat hanya membicarakan perempuan tersebut.

Sayang dia begitu malu untuk mengungkapkan rasa sukanya itu. Dia lebih banyak menatap dan kemudian menuangkan segala perasaannya lewat sebuah lagu. Saya sangat yakin rasa cintanya kepada perempuan itu sangat kuat. Itu terlihat dari jumlah lagu yang dia ciptakan.

Seperti Cosmo, setiap hari ada saja lagu-lagu baru yang dia tunjukkan kepada kami. Seolah-seolah setiap detik waktu yang dia jalani dia habiskan hanya untuk mengagumi perempuan tersebut.Sayang dia tidak mampu menyanyikannya sendiri. Dia mengajak kami untuk mencoba merapihkan lagu-lagu yang tercecer itu dengan kemasan yang lebih baik. Ya akhirnya kami membentuk sebuah grup musik.

Perlahan-lahan kami hanya memainkannya untuk mengisi waktu senggang. Lama kelamaan kami mencoba untuk merekamnya. Tanpa kami sadari kami melakukan berbagai hal yang sebelumnya tidak kami pikirkan. Mencoba menjadi grup musik yang benar. Memang selanjutnya kami tidak pernah mampu mewujudkan mimpi kami menjadi grup music yang besar. Toh setidaknya kami pernah merasakan, betapa kekuatan cinta ternyata mampu menggerakkan segala hal.

Cinta memang tidak mau menunggu hanya untuk dibayangkan dan dirasakan. Cinta sangat menanti untuk diungkapkan. Selanjutnya, cinta akan memberikan keajaiban ke semua hal yang dia sentuh. Tidak terkecuali masa depan.









Thursday, June 30, 2016

Kakakku, Jendela Hidupku

Kakak, mungkin kakak tidak akan pernah tahu, kakak adalah tempat bagi ku melihat dan membaca dunia. Kakak adalah jendela hidupku. Karena kakak lah aku mampu menjalani hidup ini. Percayalah, setapak demi setapak jalan yang aku jalani mengikuti langkah kaki yang pernah kamu gerakkan.

Kakak, kaset yan berisi kumpulan lagu Queen yang engkau berikan saat aku berulang tahun di usia ke-7 tidak akan pernah aku lupakan. Aku sangat bahagia dengan pemberian itu. Waktu demi waktu aku memutarnya setiap saat. Hingga saat kaset itu rusak, karena terus diputar, aku begitu sedih karena merasa telah merusak pemberianmu.

Kakak, aku selalu ingat dengan ruangan kamar mu dimana engkau berbagi dengan kedua kakakku yang lainnya. Ruangan itu begitu sempit namun kamu buat menarik dengan memasang berbagai poster laki-laki yang tidak aku kenal.  Di antara pose mereka, terdapat tulisan besar-besar, Duran Duran. Aku baru tahu siapa mereka ketika menonton film James Bond A View to Kill yang diperani James Bond.

Kakak, aku pernah merasa malu dengan diriku ketika engkau menegurku karena pernah mengirim surat cinta kepada seorang perempuan di kelasku saat waktu SMP dulu. Aku tidak tahu kenapa mama dan bapak menyuruh kakak untuk menegurku.

Jujur kak, aku menangis karena bukan hanya membuat mama dan bapak marah karena aku terlalu berani untuk ingin berpacaran. Tapi juga karena aku telah mengecewakan kakak yang selalu aku jadi anggap panutan.

Kakak, kamu memang panutan bagi semua. Kamu adalah contoh bagi kami semua betapa kegigihan adalah jalan bagi kesuksesan. Aku sangat bangga ketika kakak memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Sebuah profesi yang akhirnya kini aku jalani juga.

Tahukah Kak, ketika kamu bepergian keluar kota dengan pesawat terbang, aku ingin ikut bukan karena ingin melihat bandara Soekarno Hatta yang dulunya cuma bisa diucapkan bukan didatangi. Aku ingin ikut karena aku ingin melihat Kakak berangkat ke kota-kota yang tidak pernah bisa aku bayangkan. Dan setiap kakak pulang, aku selalu ingin menunggu cerita-cerita yang kamu berikan.

Kini setiap aku pergi kemana pun, selain mengingat kedua orang tua dan istriku, aku selalu mengingat dirimu Kak. Betapa kakak telah memberikan sebuah pelajaran dan kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.

Kakak, aku menangis ketika sebelum meninggal mama memutuskan untuk tinggal di rumah kamu. Bagi mama, kakak memang selalu istimewa. Kakak lah anak pertama yang membuatnya menjadi sempurna, ibu bagi seorang anak dan istri bagi suami yang dicintai.

Kakak memang istimewa, karena tanpa kakak sadari, kakak telah memberika kami, adik-adikmu, bagaimana menjalani hidup ini. Berbahagialah kak hingga akhir nanti. Selamat ulang tahun di hari ini, hanya itu yang bisa saya ucapkan buat kakak.




Tuesday, June 28, 2016

Setiap Pagi di 28 Juni


"Haloo, lagi ngapain kamu? Selamat ulang tahun ya. Semoga kamu baik-baik saja bersama keluarga," suara serak dari seorang pria berusia senja terdengar di balik telepon pintar saya. Suara itu tetap terdengar bahagia, walau pembicaraan antara dia dan saya hanya berlangsung beberapa menit saja. 

Suara itu memang tidak asing bagi saya. Suara yang terbang dari sinyal-sinyal udara itu selalu  tidak lupa hadir  di setiap pagi tanggal 28 Juni. Suara itu hadir guna menyapa saya yang tidak lagi dekat dengannya. 

Sang pemilik suara, ayah saya, dengan ajaibnya di usia yang sudah berkepala tujuh  tidak pernah lupa dengan hari lahir saya. Dan itu selalu dia lakukan kepada kelima anaknya. Entah karena kewajiban atau kerinduan yang sangat mendalam. 

Kini, lima tahun sudah telepon dari dia tidak berdering lagi. Dan saya begitu merindu akan kehadirannya lagi. Suara yang begitu tulus memanjatkan doa bagi anak-anaknya yang tengah berulang tahun. Kini suara itu tidak datang lagi lewat telepon. 

Ayah pergi dengan cara yang begitu tiba-tiba. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa yang membuat ayah meninggal dunia. Di hari meninggalnya, dua hari setelah Lebaran, ayah masih sempat menelpon saya dan bertanya tentang kesibukan saya. 

Di hari itu dia memang sempat meminta saya untuk datang ke rumahnya. "Bapak mau kamu nemenin bapak ke dokter. Kayaknya enggak enak badan," pinta dia. 

Permintaan itu tidak bisa saya amini karena kesibukan kantor sebuah koran nasional memaksa saya harus tetap berada di kantor. "Saya usahakan kalau cepat selesai, saya ke sana. Cuma kalau kemalaman, saya langsung pulang saja ya. Kan ada adik di sana," jawab saya. 

Adik saya memang kebetulan berada di rumah bersama-sama anak-anaknya. Tidak ada rasa sedih karena saya menolak permintaannya. Dia hanya menjawab dengan bahagia. "Jangan kalau begitu, kerjakanlah dengan baik. Jaga kesehatan kamu Amang," 

Sangat jarang Ayah memanggil saya Amang. Dalam Partuturan Batak Toba, kata-kata Amang diucapkan bagi para lelaki yang dianggap lebih tua dalam keluarga. Kata Amang juga diucapkan bagi pria yang bisa dihormati. Saya tidak mengerti kenapa Ayah memanggil saya dengan sebutan Amang waktu itu. 

Selepas bekerja saya melihat jam tangan saya. Waktu sudah terlalu malam untuk berangkat ke rumah Ayah. Saya memilih pulang karena rumah yang jauh di Bekasi membuat saya berpikir ulang ke rumah Ayah. 

Sesampainya di rumah, saat saya tertidur lelap, pikiran saya tiba-tiba terasa kalut. Tidur yang tidak tenang membuat saya terbangun dan langsung memeriksa telepon pintar saya. Sejenak saya merasa khawatir dengan keadaan Ayah. "Ada yang salah hari ini," pikir saya sambil mengambil telepon seluler tersebut. 

Begitu telepon seluler saya buka, terlihat 36 telepon tidak terjawab terpampang di layar ponsel. Jantung saya berdegup kencang, pikiran  berkelindan. "Jangan-jangan, jangan-jangan," pikir saya. 

Saya langsung menelpon adik saya yang ada di rumah Ayah mencari tahu apa yang sedang terjadi. Begitu panggilan terjawab, terdengar ucapan kekesalan dari adik saya karena saya yang sangat sulit dihubungi. Di tengah kemarahannya dia mengatakan, Ayah telah pergi. 

Mendengar itu saya langsung terdiam, dada saya sesak, tiba-tiba saja air mata tumpah begitu saja. Waktu seakan-akan bergerak mundur ke waktu dimana saya menerima telpon dari Ayah siang tadi. Saya menangis dan membuat istri saya terbangun. Sambil memeluk dia terus bertanya ada apa. "Ayah meninggal. Ayah sudah meninggal," kata saya sesunggukan. 

Lima tahun sudah Ayah pergi. Seperti banyak orang bilang, penyesalan selalu datang terlambat. Saya selalu tidak pernah bisa menyalahkan diri saya atas semua yang terjadi sebelumnya. Betapa saya kerap begitu mudah terlena dengan kesibukan dan melupakan kedua orang tua saya. 

Saya selalu bertanya-tanya, apakah saya telah menjadi anak yang baik bagi mereka. Saat ini saya tidak pernah terpikir untuk menjadi anak yang membanggakan, yang saya inginkan hanyalah menjadi anak yang baik buat keduanya. 

Tapi jawabannya tidak akan pernah saya ketahui. Saya sudah kehilangan waktu untuk melakukannya. Berbahagialah kalian yang masih mampu menyapa kedua orang tua, meskipun itu hanya lewat ujung jemari. 

Kemarin, 28 Juni di pagi hari saya tertegun kembali. Dering telepon itu tidak pernah berbunyi lagi. 










Wednesday, February 17, 2016

Dia Yang Meninggalkan Kantor Ini


Konon, suatu ketika Nabi Yunus pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, "Hai Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini !". Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok laki laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit kusta (al-judzam).

Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan bosan berucap: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu"

Kisah itu terngiang ketika saya mendengar kabar tentang teman saya tadi siang. Teman saya di kantor, seorang desain grafis tiba-tiba saja memutuskan resign dari kantor. “Kantor meminta dia mengundurkan diri karena dia menderita kusta,” ujar Mawar, sebut saja demikian.

Saya langsung terhenyak mendengarnya. Pertama karena dia memutuskan resign dan kedua karena dia menderita penyakit kusta. Sesaat memori saya terlempar enam tahun ke belakang. Teman saya ini adalah desain grafis baru bergabung dengan desk saya. Semangatnya yang luar biasa membuat saya senang bekerjasama dengannya.

Dia begitu telaten dalam menata halaman koran sesuai dengan keinginan saya. Sesaat saya melupakan sedikit kelainan fisik yang dia alami. Memang waktu itu saya sempat sedikit aneh melihat perawakan teman saya itu.

Beberapa bagian tubuhnya terlihat seperti membengkak. Mulai di bagian kelopak mata, tangan hingga cuping telinga yang sedikit memanjang dari ukuran normal. Tapi hal itu sama sekali tidak mengusik pikiran saya karena dia memang terlihat sangat antusias setiap kali bekerja.

Cukup lama kami bekerjasama menata halama demi halaman Lifestyle. Kami “berpisah” ketika dia diminta untuk menata halaman di bagian NEWS. Jam kerja yang tidak sama membuat saya jarang bertemu muka dengannya. Memang sesekali saya sempat mendapatinya di selasar kantor sore hari saat dia tiba dari kantor.

Kami memang masih berusaha saling menyapa dan menanyakan kabar satu sama lain. Seperti yang dulu-dulu dia masih bertanya kepada saya. “Ada film yang baru lagi enggak,” tanyanya.

Ya dia memang memerhatikan kalau saya senang sekali menonton film. Dia bahkan selalu meminta saya membagi berbagai film yang sudah saya unduh. Mungkin setelah dia berpindah desk dia langsung kehilangan penyuplai film baru. Alhasiil setiap kali bertemu dia selalu bertanya mengenai koleksi unduhan film yang saya miliki.

Seiring waktu saya perlahan-lahan mulai jarang bertemu dengannya. Saya tidak lagi bertemu dengannya setiap sore tiba. Dan baru tadi saya diberitahu kalau teman saya itu sudah lama menderita penyakit kusta. “Kustanya semakin parah dan dia sudah sering tidak masuk kantor,” terang Mawar lagi.

Mendengar penjelasan Mawar, saya terdiam membeku dan kelu. Saya jadi teringat akan jaket dan topi yang selalu dia kenakan setiap kali datang ke kantor. Jaket tersebut terlalu tebal untuk dia kenakan padahal Air Conditioner di kantor tidak terlalu dingin. Begitu juga topi yang dia benamkan begitu dalam hingga menyembunyikan sebagian wajahnya.

Pernah satu kali saya menyindir caranya berpakaian dan mengenakan topi. “Elo kayak mau ke Alaska aja,” ejek saya suatu waktu. Dia pun hanya tertawa dan mengatakan rumahnya di Bogor memang sama dinginnya di Alaska.

Kini saya tidak melihatnya lagi di kantor ini. Beberapa teman saya mengaku telah menerima SMS dari dia soal keputusan mengundurkan diri. Saya memang tidak menerima satu pun SMS dari dia soal keputusan itu.

Hanya saja saya bisa menggambarkan betapa beratnya cobaan yang dia alami saat ini. Kehilangan pekerjaan mungkin adalah hal yang lumrah. Namun terkucil dari pergaulan dan kehilangan rasa sayang adalah cobaan yang sangat luar biasa.

Semoga dia akan mampu menjalani cobaan ini dengan hati yang ikhlas dan senantiasa berucap "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu"

Selamat jalan kawan, terima kasih atas kenangan indah yang kita jalani bersama.