Wednesday, December 29, 2004

4 Tahun

Setelah empat tahun bersama dengannnya, entah kenapa mulai timbul jarak yang lebar. Sulit sekali berkomunikasi dengannya akhir-akhir ini. Entah, mungkin karena kesibukan kita atau mungkin karena memang ketidakpedulian kita berdua.

Terakhir bertemu dengannya dua minggu lalu. Kala itu dia sakit cacar. Aku sengaja datang ke rumahnya untuk melihat keadaannya sekaligus menunjukkan bahwa aku peduli. Sayangnya, harapan memang selalu jauh dari kenyataan. Mungkin karena sakit, ia tidak terlalu antusias melihat kedatanganku.

Padahal, saat itu bisa saja penyakit yang ia derita bisa menular kepadaku.

Setelah itu, aku berusaha mencoba untuk berkomunikasi dengannya. Namun, ternyata ia juga seakan tidak peduli. Ia terlihat cuek dan hanya menunggu pertanyaan dan menjawab seperlunya.

Setelah empat tahun, apakah ini semua akan berlalu. Masa-masa indah yang dulu pernah kualami bersamanya, apakah jadi tinggal kenangan.

--------

Sampai hari ini Aceh terus menangis. Sumbangan mengalir tapi masih sulit untuk sampai ke tangan-tangan korban bencana. Bayi-bayi yang kelaparan dan dihantui penyakit bisa jadi korban selanjutnya. Bukan karena keganasan alam, melainkan lambatnya bantuan datang.

Acara-acara kepedulian marak, semarak pesta perayaan tahun baru. Artis-artis berkumpul mengeluarkan air mata, semuanya bersedih. Elit politik berteriak sana-sini, semuanya minta masyarakat memperhatikan Aceh. Padahal tanpa disuruh pun kita pasti memperhatikan.

Sumbangan mengalir, ratusan miliar mungkin sudah ke Aceh. Sementara Sutinah, tetangga samping rumahku masih kelaparan. Aku terenyuh melihat karikatur Om Pasikom di Harian Kompas beberapa hari ini, Apakah dengan Penderitaan Seperti Ini kita merasa satu saudara?

Suatu hari kita akan lupa tanggal 26 Desember lalu adalah bencana nasional, begitu tahun baru menjelang Aceh pun dilupakan berganti dengan kesenangan.

Tuesday, December 28, 2004

Aceh

Tragedi gempa dan tsunami di Aceh menjadi headline setiap koran hari ini. Aceh kembali menjadi pusat perhatian nasional. Sekali lagi masalah tidak pernah pergi dari Aceh. Mulai dari masa pengoperasian DOM di era Soeharto, darurat militer melawan GAM, kini gempa jadi senjata pamungkas memporak-porandakan Aceh.
Derita itu mungkin memang tidak akan berakhir. Di depan mata masyarakat Aceh sudah terbentang tugas-tugas besar. Membangun kembali kampung halaman mereka yang tercinta.

Semua teman-teman wartawan hari ini juga berangkat ke Aceh. Daerah di ujung Sumatera itu memang selalu memberikan kesan yang sangat romantis bagi siapa saja. Temanku dari Detikcom, Rizal Maslan malah mengakui dia sangat ingin kembali ke Aceh. Kali ini dia memang tidak dapat giliran ke Aceh, tapi dia mungkin beruntung. Sebab kondisi kali ini sangat jauh lebih parah dibandingkan masa darurat militer.

Wartawan koran gue, Ahmad Yani juga berangkat ke sana. Dia berangkat hari ini bersama rombongan Pemda DKI Jakarta. Dijadwalkan, dia akan tinggal selama tiga hari di Aceh. Sesaat mendengar keinginannya untuk pergi, aku terbayangkan suasana yang kacau balau di Aceh. Listrik yang padam, air minum yang terbatas, dan sarana transportasi yang terbatas. Bahkan tidak ada hotel di Aceh. Dipastikan Yani akan mengalami lingkungan baru yang sangat keras disana.

Tapi aku sangat mendukungnya. Pergi ke Aceh adalah salah satu pengalaman dalam hidupku yang aku inginkan. Walaupun aku belum pernah menjejakkan kaki di tanah Rencong itu, pikiranku selalu ada disana.

Monday, December 27, 2004

Bisul di Kaki

Tuhan melarang kita untuk berlebih-lebihan. Hampir di segala bidang, Tuhan meminta kita untuk bersikap wajar dan selalu bersyukur terhadap apa yang kita punya. Peringatan itu memang benar adanya. Berlebih-lebihan membuat diri kita menjadi takabur, membuat kita lalai, bahkan berlebih-lebihan juga bisa membuat kita jadi orang yang rakus.

Memang tidak dilarang untuk mempunyai suatu kelebihan. Namun, tak selamanya mempunyai kelebihan itu mengenakkan. Bisa kita bayangkan perasaan seorang Spiderman yang hampir merasa bosan dengan kelebihannya. Ia merasa lepas dari jatidirinya sendiri.

Dua hari ini aku juga diberkati sebuah kelebihan, sebuah daging lebih nongol di kaki kananku. Bisul, tepatnya. Tiba-tiba saja bisul itu nongol dan membuat langkah kakiku jadi terasa berat. Semuanya serba tidak enak. Padahal bisul itu baru numbuh di kakiku? Bagaimana coba kalau bisul itu ada di tempat lain, misalnya pantatku. Pasti kerepotan kan?

Alhamdulillah, kelebihan yang satu ini tidak membuatku buta. Aku hanya berpikir, jika kelebihan bisa sesakit ini, maka tidak ada orang yang selalu berdoa untuk menjadi lebih bagi orang lainnya. Kecuali masalah keimanan mungkin.





Wednesday, December 22, 2004

Pernah kah kamu meragukan agama yang kamu anut. Sebagai manusia normal tentu kita pernah menanyakan apakah fungsi agama bagi hidup kita. Apakah agama itu dibuat hanya untuk membuat manusia jadi orang baik dan bermoral? Ataukah hanya menjadi sumber kehancuran dan pertikaian sesama manusia.

Pernah, di suatu saat ketika aku benar-benar tidak mengenal agama, aku hidup layaknya tidak punya arah tujuan. Hidup berjalan seperti biasa, namun tak pernah mempunyai nilai-nilai hidup. Saat itu aku tak pernah berpikir bahwa dalam setiap hidup kita, pasti ada nilai-nilai hidupnya. Dan disanalah kutemukan apa yang namanya Agama.

Agama membawa diriku untuk memahami bahwa apa yang kita lakukan benar-benar harus kita cermati dengan matang. Agama membawa ku pada pemahaman bahwa hidup manusia akan lebih bernilai dengan hal-hal yang bermanfaat.

Namun, sayang banyak pemuka agama sekarang melabeli konsep itu dengan jargon-jargon pahala dan siksa. Akhirnya semua orang yang beragama seperti main hitung-hitungan dengan Tuhannya. Mereka beribadah hanyalah untuk mengharapkan balasan dari Tuhannya.

Tadi malam aku merasa lucu dengan perkataan Hughes dalam acara Tali Kasih di RCTI. Dia mengatakan bahwa hidup adalah seperti menggendong ransel. Dalam setiap hidup kita harus beramal agar dapat mengisi ransel itu. Tujuannya kita merasa aman dan nyaman jika hidup di hari akhir nanti.

Tidak ada yang salah memang dengan kalimat-kalimat itu. Namun, aku tertawa dalam hati, kenapa hidup itu jadi seperti ransel yang harus kita isi dengan amalan ibadah. Yang nantinya akan digunakan oleh mereka sebagai deposito amal menuju surga.

Aku justru merasa hidup adalah ladang hidup kita. Kita menyemainya dengan seluruh amalan hidup kita. Baik atau buruk. Nantinya, kita sendiri yang akan memperoleh hasilnya. Bukan karena rasa hutang budi Tuhan kepada kita. Alangkah sombongnya manusia jika merasa seperti itu.

Tuesday, December 21, 2004

Masa Kecilku

Jalan hidupku memang tidak seindah dan semenarik jalan hidup orang lain. Jika diibaratkan dengan garis lurus, maka hidupku hanyalah sebuah garis horizontal. Datar, panjang dan melelahkan. Tak ada riak-riak kehidupan yang bisa membuat garis itu jadi gelombang atau jadi lembah yang curam.

Setiap manusia pasti mempunyai kenangan yang indah dalam hidupnya. Begitu juga aku, jika ditanyakan momen dimanakah yang paling teramat istimewa bagiku, mungkin aku akan mengatakan semuanya ada di masa-masa kecilku.

Masa-masa itu memang sangat istimewa bagiku. Semuanya selalu terlihat abu-abu dan terkesan lugu. Bahkan aku sulit untuk meraba jalan ceritanya. Masa-masa itu bagaikan malam yang kelam yang membuatku sulit untuk berjalan.

Aku hanya bisa mengetahui masa-masa kecilku melalui foto-foto album milik keluargaku. Ketika melihat foto-foto itu aku memang sulit untuk mengingatnya. Sulit untuk menerka dimana aku kala itu. Ataukah itu bukan aku dan orang lain yang menjadi aku. Tapi aku tahu kalau saat itu aku merasa bahagia.

Jiwaku saat itu bukanlah jiwa yang kupunya saat ini. Jiwa yang hanya melihat dunia dengan kacamata fantasi. Kacamata yang selalu membuatnya hanya mengenal tangis dan tawa. Tak ada rasa lain hanya itu. Kini dimanakah jiwa itu?

Aku mulai bisa meraba kenanganku ketika aku ada di sekolah dasar. Saat itu aku selalu menangis ketika ditinggal orang tua kala belajar. Disaat itu pula aku pertamakalinya mengenal rasa takut bagi seorang manusia normal. Bukan seorang anak-anak.

Aku merasa ketakutan karena jika tidak bisa menjadi rangking pertama di kelas. Jika gagal, aku merasa bahwa aku telah menggagalkan seluruh harapan orang tuaku. Oh, bisakah rasa itu kembali. Semuanya memang terasa ironis, dulu aku takut mengecewakan mereka kenapa kini aku malah membantahnya.

Aku tahu dari semua kenangan itu aku mulai mengerti. Manusia adalah bentuk dari proses panjang menuju kesempurnaan.

Ia selalu meninggalkan jiwa-jiwanya dalam setiap tahap kehidupan. Jiwa-jiwa itu terbang bebas menjadi kenangan. Serta menjadi sebuah jalan yang akan membawa kita pada kesempurnaan. Namun, terkadang jiwa itu selalu terbang dan tak pernah kembali jika kita tak pernah melihat ke belakang.

Jika aku melihat ke belakang saat ini. Di depan meja komputerku aku berpikir siapakah jiwa yang ada di tubuhku saat ini? Apakah aku sama dengan jiwa-jiwaku yang dulu?

Monday, December 20, 2004

Dongenganku

Tadi malam aku tidur dengan keponakanku, Batara. Aku sengaja untuk meminta ia untuk tidur denganku, karena memang aku ingin sekali berbicara dengan dia. Di umurnya yang baru 5 tahun ini, Batara memang jadi anak yang tergolong super nakal. Sebagai pamannya aku memang terusik, aku ingin sekali dia menjadi seorang anak yang baik dan patuh pada orang tua. Mungkin agak memaksakan, tapi memang setiap orang tua pasti ingin mempunyai anak yang patuh dan baik hati.

Sebelum ia tidur aku memang ingin memulai suatu kebiasaan baru yang tidak pernah dilakukan oleh orang tuanya. Aku ingin menceritakan kepadanya tentang dongeng sebelum tidur.

Aku percaya, bahwa budaya bertutur dan bercerita adalah cara yang paling baik untuk mempengaruhi seseorang. Cara ini lah yang aku coba untuk bisa mempengaruhi satu-satunya ponakan laki-laki ku itu.

Sebelum ia terlelap aku menceritakan sebuah kisah zaman dulu yang telah aku modifikasi. Saat aku bercerita ia memang tidak begitu memperhatikan, tapi ternyata dibalik ketidakpeduliannya ia sangat tertarik dengan ceritaku. Dengan seksama ia memperhatikan semua apa yang ku katakan. Bahkan setelah cerita itu selesai, ia meminta aku untuk bercerita lagi.

Kala itu ia meminta aku untuk bercerita tentang Dinosaurus. Ia memang sangat senang dengan Dinosaurus. Saat itu aku bingung apa yang aku ceritakan tentang Dinosaurus kepadanya. Menyadari kebingunganku, ia langsung mengeluarkan komiknya yang berjudul Dinosaurus. Ia memintaku untuk membacakannya. Saat aku membaca ia malah tampak lebih antusias mendengar daripada cerita yang pertama.

Akhirnya, ia memang tertidur. Tak terbayangkan, kalau aku bisa menceritakan sebuah cerita dongeng sebelum tidur untuk ponakanku. Mudah-mudahan aku bisa bercerita lagi untuknya di malam ini. Atau di malam-malam nanti.

Sedikit Mengenang

Dulu aku sering bertemu dengan Harry Roesli. Dalam setiap kesempatan liputan, aku selalu melihatnya berdiri tegak dengan baju hitam dan rok warna hitam. Mungkin itu kostum satu-satunya yang ia miliki.

Dia memang selalu berbeda dengan orang-orang lainnya. Posturnya yang tinggi besar membuat ia terlihat menonjol dibanding orang lainnya. Ia memang senang menjadi berbeda. Bahkan lagu-lagu yang ia hasilkan mencerminkan sifatnya yang mau berbeda itu.

Tapi bukan karena itu aku selalu senang melihat dirinya. Aku menyenanginya karena sifatnya yang blak-blak dan bebas. Ia mau berkata apa saja tanpa merasa terbatas. Bahkan jika ia bisa melawan gravitasi mungkin ia bisa terbang.

Ketika aku mendapati dirinya meninggal, jujur aku memang bahagia. Selain karena aku mendapat bahan untuk dijadikan berita, aku juga merasa bahagia karena dia telah abadi. Ya, seperti lagu-lagunya yang terus didendangkan, nama Harry Roesli selalu terekam dalam benak saya dan jutaan orang lainnya.

Aku teringat satu tahun yang lalu. Ketika ia manggung di News Café Kemang. Ia juga ada disitu bersama teman-teman Depot Kreasi Seni Bandung-nya. Dengan lagu masterpiece miliknya yang berjudul Politikus Busuk, ia terlihat sehat. Sama sekali tidak terlihat kalau ia menderita penyakit jantung kronis.

Kala itu aku mendapat kesempatan langsung untuk berbicara dengannya. Dengan teman-teman lain aku menanyakan kepada dirinya soal pemilu, calon presiden, bahkan soal KTP. Dari situ aku baru tahu kalau dia tidak ikut pemilu bukan karena tidak ada calon presiden. Ia tidak ikut pemilu karema ia memang tidak punya Kartu Tanda Penduduk.

Seusai wawancara aku dan teman-teman sengaja meminta untuk foto bersama. Padahal, jarang sekali aku mengajak seorang narasumber untuk foto bersama. Namun, kali ini lain aku memintanya. Mungkin karena ia istimewa, atau memang aku belum pernah punya foto orang terkenal.

Seperti foto yang merekam kejadian itu, tulisan ini aku tulis memang sengaja untuk mengingatnya. Aku ingin jadi bagian dari orang yang mengabadikan dirinya di dalam pikiranku. Salam kang Harry….

Sunday, December 19, 2004

Nama

Sabtu kemarin, ponakanku yang baru lahir. Saat lahir ia menangis, seperti jutaan bayi lainnya. Wajahnya putih dan rambutnya hitam. Kakakku amat bersyukur karena ia berhasil melewati proses yang amat menyakitkan itu.
Diantara semua kebahagiaan itu, saat ini semua keluargaku tengah sibuk-sibuknya mencari nama bagi ponakanku ini. Mama sibuk mencari nama-nama yang berbau batak. Sedangkan, kakak-kakakku yang lainnya juga kebingungan mencari nama. Bahkan mereka sudah merencanakan untuk membeli anting bagi bayi perempuan itu.
Saat mereka berdiskusi untuk memberikan sebuah nama. Aku justru merasa kebingungan. Nama itu sebenarnya harus cepat diberikan agar bisa dibawa pulang ke rumah kakakku.
Jujur, aku memang tidak terlalu memikirkan siapa nama ponakanku ini. Sama sekali tidak ada di pikiranku untuk memberikan sebuah nama kepada dia.
Aku hanya melihat bahwa nama hanyalah sekedar pemberian label kepada kita agar kita dengan manusia lainnya berbeda. Kamu bisa saja memanggil aku Brad Pitt tapi tetap saja orang mengetahui aku adalah aku.
Mudah-mudahan ponakanku baruku ini mepunyai hati yang seputih mukanya, dan mempunyai kekuatan semangat hidup sehitam warna rambutnya. AMin

Friday, December 17, 2004

Di Pagi Hari

Sudah tiga hari ini aku bisa mendisiplinkan diri untuk melakukan shalat subuh. Dan sehabis shalat biasanya aku langsung lari-lari pagi selama 30 menit. Lucunya, semakin hari kok semakin berkurang saja intensitasnya. Mungkin memang aku gak pernah terbiasa untuk itu. Aku terbiasa untuk menjalani hidup dengan santai, dan sulit untuk menghadapi hidup yang keras.

Hari pertama berlari mungkin adalah hari yang paling bagus. Sehabis, berlari aku menonton berita di televisi dan langsung membersihkan rumah. Setidak-tidaknya hari pertama berjalan seperti apa yang aku pikirkan. Esoknya, di hari kedua aku memang menambah jumlah putaran lari. Aku tetap menonton berita untuk menambah informasi, tapi setelah itu aku langsung tidur-tiduran. Aku lupa untuk membersihkan rumah dan mengepel lantai. Begitu terbangun, aku melihat Mamah sudah membersihkan rumah. Sedikit kecewa sih dengan tingkat disiplin yang gue punya.

Hari ini, jumlah lari berkurang. Sama seperti di hari pertama hanya dua putaran saja. Tapi masih bisa aku selingi dengan sekali-sekali melakukan tendangan-tendangan yang sempat aku pelajari di Tae Kwon Do. Namun, seperti biasa, aku ingin tidur di rumah. Tetap nonton televisi, tapi tetap tidur-tiduran. Untungnya, aku masih bisa bangun sebentar dan mencuci piring. Itu juga karena Bapak terus-terusan memanggil untuk membantunya memasukkan file di komputer.

Alhamdulillah, di hari ini aku sempat membaca buku, yang aku lupa siapa pengarangnya. Buku itu menceritakan tentang ibadah manusia dalam melunakkan hati. Tepatnya sih berperang melawan hati manusia yang punya segala macam praduga dan keinginan membabibuta.

Buku itu mengatakan bahwa segala amalan fisik yang dilakukan seribu kali tetap saja tidak berguna jika kita tidak bisa melunakkan hati kita terhadap Tuhan dan Manusia. Buku itu bahkan menjabarkan, bentuk-bentuk ketakaburan hati manusia terhadap Tuhan dan sesama manusia lainnya.

Berulangkali aku membaca ternyata ada bentuk-bentuk ketakaburan yang sesuai dengan hatiku. Sempat mengucap astaghfirullah, aku harus menyadari bahwa hati adalah gerbang pintu menuju Tuhan, maka ada baiknya aku menjaga itu semua dan memperbaikinya.

Oh iya, hari ini juga aku gagal untuk menjaga hawa nafsuku. Seperti biasa, aktivitas morning sickness kembali aku lakukan. Entah kenapa aku tiba-tiba saja teringat dengan Widia, anak IESP Unsoed Akt. 98. Mudah-mudahan aku bisa untuk mengendalikannya.



Sunday, December 12, 2004

Pollycarpus dan Lee Harvey Oswald

Banyak orang yang menduga bahwa salah satu pilot pesawat Garuda, Pollycarpus yang kebetulan berada satu pesawat dengan Munir, adalah pelaku pembunuhan aktivis pejuang HAM itu. Dugaan semakin kuat karena Pollycarpus lah yang mengajak Munir untuk bertukar kursi. Apalagi, saat ini berita terakhir mengatakan bahwa kaitan antara Pollycarpus dengan BIN, lembaga negara yang sering berseberangan dengan Munir, sangat erat.

Pollycarpus dikatakan mempunyai senpi yang memang khusus dikeluarkan oleh BIN. Apalagi Pollycarpus mempunyai latar belakang romantis bersama BIN. Ia kerap diperkerjakan oleh BIN, untuk mengevakuasi warga Indonesia dari Timor-Timur.

Keterlibatan Pollycapus dengan BIN serta tuduhan sebagai pembunuh Munir, sangat mirip dengan Lee Harvey Oswald. LHO, dituduh sebagai pembunuh Presiden Amerika, JFK. Padahal dari LHO, hanyalah bagian kecil dari suatu struktur besar yang membunuh JFK. Kita tahu ada tiga penembak ketika JFK tewas. Salah satunya bisa dibuktikan dalam film Interview With The Assasin, dimana David Ohlinger mengakui bahwa dia adalah the second shooter sedangkan LHO, sebagai penembak ketiga hanyalah jadi umpan.

Berdasarkan kejadian itu, mungkin Pollycarpus memang terlibat usaha pembunuhan Munir, namun pelaku sebenarnya dari pembunuhan itu bebas melenggang kemana saja. Pasti saja bisa berulang kan?